VOLUME perdagangan terus meningkat dalam beberapa periode ini. Peningkatan volume perdagangan tersebut kemudian berdampak pada meningkatnya tantangan pemajakan terhadap pajak atas konsumsi. Dalam konteks pajak atas konsumsi, mayoritas negara saat ini telah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN).
Terdapat dua prinsip pemajakan perdagangan lintas-yurisdiksi dalam PPN,yakni origin principle dan destination principle. Berdasarkan origin principle, barang dan/atau jasa akan dikenakan pajak di tempat di mana barang dan/atau jasa tersebut diproduksi.
Sementara itu, berdasarkan destination principle, barang dan/atau jasa akan dikenakan pajak di tempat di mana barang dan/atau jasa tersebut dikonsumsi. Produk yang diekspor akan dikenakan PPN dengan tarif 0%, sementara produk impor akan dikenakan PPN berdasarkan tarif yang sama dengan penjualan produk domestik (Brederode, 2009).
Dalam sistem dan tarif PPN yang bervariasi antarnegara, prinsip mana yang paling ideal atau memberikan distorsi ekonomi yang terkecil?
Debat Origin dan Destination Principle
Berdasarkan origin principle, ekspor diperlakukan serupa dengan transaksi domestik sehingga akan menghilangkan “batas” antarnegara. Oleh karena ekspor diperlakukan serupa dengan transaksi domestik dan impor tidak dikenakan PPN, terdapat klaim bahwa origin lebih unggul dibandingkan destination principle (Le, 2003). Pasalnya, prinsip ini akan mendorong lancarnya arus perdagangan lintas-yurisdiksi.
Selain itu, administrasi destination principle dirasa jauh lebih rumit daripada origin principle. Hal ini dikarenakan, dalam konteks ekspor, yurisdiksi yang memiliki keleluasaan untuk memungut pajak (jurisdiction to enforce tax) bukanlah yurisdiksi yang diberikan hak untuk mengenakan pajak (jurisdiction to impose tax).
Tidak mengherankan jika Uni Eropa pernah tergoda untuk mengimplementasikan origin principle dalam kawasan mereka. Hal ini dapat ditelusuri mulai dari Neumark report (1963) hingga rencana penerapan country of origin principle (COP) pada tahun 2004, khususnya atas jasa yang diperdagangkan dalam pasar internal. Namun demikian, usulan tersebut tidak direalisasikan. Selain karena bisa mendistorsi mobilitas faktor produksi dan fakta bahwa sebagian besar negara telah menerapkan destination principle, penerapan origin principle juga akan berdampak pada keseimbangan perdagangan global (Fichtner, 2006). Saat ini, Uni Eropa menerapkan destination principle sesuai dengan Pasal 44 EU VAT Directive 2016.
Selain belajar dari pengalaman yang ada di Uni Eropa tersebut, terdapat beberapa kelemahan lain dari origin principle.
Pertama, penerapan origin principle dalam konteks perbedaan tarif PPN antarnegara dianggap dapat mendistorsi kompetisi dalam perdagangan lintas-yurisdiksi (Georgakopoulos, 1992). Dalam origin principle, barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh negara dengan tarif pajak yang lebih rendah akan memiliki harga yang lebih rendah pula. Sebagai akibatnya, pasar domestik akan dibanjiri dengan produk impor, sehingga penerimaan PPN atas produk domestik akan terganggu (Le, 2003).
Kedua, penerapan origin principle dalam tarif PPN yang bervariasi akan menimbulkan masalah baru. Investor ataupun perusahaan multinasional cenderung akan meletakkan kegiatan memproduksi barang dan/atau jasa di tempat dengan tarif PPN yang lebih rendah. Dalam situasi ini, yang paling dirugikan adalah negara dengan jumlah konsumen yang banyak, namun dengan tarif PPN yang tinggi.
Ketiga, penerapan origin principle dalam konteks perbedaan tarif PPN antarnegara justru akan menimbulkan klaim pajak masukan yang lebih tinggi atau lebih rendah. Sebagaimana diketahui bahwa origin principle memberikan peluang untuk mengkreditkan pajak masukan sesuai dengan tarif domestik negara tujuan ekspor. Maka dari itu, apabila terjadi penjualan barang dan/atau jasa dari negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke tarif pajak yang lebih rendah akan menyebabkan adanya klaim pengkreditan pajak masukan yang lebih besar. Sebaliknya, apabila terjadi penjualan barang dan/atau jasa dari negara dengan tarif pajak yang lebih rendah ke tarif pajak yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan klaim pengkreditan pajak masukan yang lebih rendah (Shoup, 2009).
Keempat, origin principle akan menyebabkan kesulitan penentuan lokasi (yurisdiksi) di mana “nilai” tersebut benar-benar dibentuk atau ditambahkan. Berbeda dengan aktivitas konsumsi yang umumnya berkedudukan di satu yurisdiksi tertentu, aktivitas pengerjaan suatu barang dan/atau jasa dalam perekonomian bisa tersebar di yurisdiksi yang berbeda-beda (Mirrlees, 2011).
Melihat argumen-argumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa origin principle memiliki lebih banyak kelemahan dibandingkan destination principle. Dengan kata lain, walaupun keduanya sama-sama tidak ideal, setidaknya destination principle masih jauh lebih baik (second best solution).
Framework dan Tren Internasional
Destination principle juga telah menjadi konsensus dan kerangka sistem pemajakan PPN lintas-yurisdiksi, terutama atas kontribusi OECD. Pada awalnya, OECD memang cenderung kurang memberikan perhatian pada pajak tidak langsung seperti PPN. Hingga akhirnya pada tahun 1998, OECD mulai membahas PPN atas transaksi e-commerce yang tertuang dalam Ottawa Framework.
Ottawa Framework sendiri mendukung destination principle dengan menyatakan bahwa lokasi pemajakan (place of taxation) pajak atas konsumsi seperti halnya PPN adalah lokasi dilakukannya kegiatan konsumsi. Framework tersebut kemudian menjadi cikal bakal OECD International VAT/GST Guidelines (Guidelines). Sebagai informasi, konsep awal Guidelines dirilis pada tahun 2006 yang kemudian terus disempurnakan hingga terakhir pada versi tahun 2017.
OECD (2017) berpendapat bahwa penerapan destination principle selaras dengan prinsip netralitas PPN karena tidak akan mendistorsi kompetisi bisnis. Selain memberikan panduan secara umum, Guidelines 2017 memberikan penekanan penerapan destination principle pada pemungutan PPN atas ekspor jasa dan ekspor barang tidak berwujud. Guidelines 2017 tersebut juga dirancang untuk memastikan bahwa penyerahan dalam transaksi internasional hanya dikenakan pajak pada yurisdiksi tunggal, yaitu yurisdiksi di mana konsumsi dilakukan (OECD, 2011).
Saat ini, mayoritas negara di dunia juga menganut destination principle dengan menerapkan tarif 0% atas ekspor jasa. Survei yang dilakukan oleh Ernst & Young (2017) mengonfirmasi hal ini. Sebanyak 88 dari 122 negara/yurisdiksi/kawasan (72,95%) yang digunakan sebagai sampel studi menerapkan tarif PPN 0% atas ekspor jasa.
Lebih lanjut lagi, OECD International VAT/GST Guidelines telah didukung oleh lebih dari 100 negara (DLA Piper, 2016). Meski dokumen tersebut tidak mengikat, namun sifatnya berpengaruh pada desain ketentuan PPN di berbagai negara (soft law).
Relevansi Bagi Indonesia
Pada dasarnya, Indonesia telah menerapkan destination principle. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 7 ayat (2), Penjelasan Umum, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU PPN Tahun 2009. Namun demikian, aturan tersebut hanya berlaku secara konsisten untuk impor Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) serta ekspor BKP. Sementara itu, untuk ekspor JKP, Indonesia belum menerapkan destination principle secara penuh dan konsisten.
Berdasarkan PMK 70/2010 jo. PMK 30/2011, hanya terdapat tiga jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN dengan tarif 0%, yaitu: (i) jasa maklon; (ii) jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak; serta (iii) jasa konstruksi. Sementara itu, ekspor JKP selain ketiga jenis jasa tersebut tetap dikenakan PPN dengan tarif normal. Alasannya, jasa cenderung memiliki perbedaan karakteristik dengan barang berwujud yang memiliki fisik yang dapat dipantau secara langsung, sehingga penentuan proksi dan verifikasi atas place of taxation menjadi lebih sulit.
Pengenaan PPN dengan tarif normal atas ekspor JKP dikhawatirkan dapat menimbulkan pajak berganda (double taxation). Apalagi, destination principle telah diterapkan oleh sebagian besar negara. Jadi, apabila Indonesia tidak menerapkan destination principle sesuai dengan konsep dan best practice yang ada, maka bukan tidak mungkin akan menyebabkan adanya double taxation.
Hal tersebut kemudian menyebabkan daya saing eskpor JKP menjadi tidak kompetitif. Pengenaan PPN dengan tarif normal justru akan menciptakan halangan (barrier) dalammelakukan kegiatan ekspor JKP. Lebih lanjut, pengenaan PPN dengan tarif normal atas ekspor JKP juga membuat harga jasa yang berasal dari Indonesia lebih mahal sehingga akan mendistorsi pilihan konsumen di pasar global. Tidak mengherankan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekspor berperingkat buncit di kawasan ASEAN (World Bank, 2016).
Padahal, pemerintah Indonesia memiliki rencana strategis pengembangan sektor jasa yang diformulasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Berdasarkan RPJMN dan dokumen turunannya, upaya mengembangkan sektor jasa dan memperbaiki neraca perdagangan jasa adalah dua hal yang berkontribusi positif bagi perekonomian.
Keterlibatan sektor jasa guna mencapai sasaran yang tertuang dalam RPJMN menjadi penting karena kontribusi yang dapat diberikan tidak hanya terbatas dalam hal penyerapan tenaga kerja, tetapi juga dalam menciptakan sekelompok tenaga kerja yang lebih terdidik.
Dari sisi neraca perdagangan, ekspor merupakan salah satu komponen penggerak pertumbuhan ekonomi yang memperkuat posisi neraca perdagangan Indonesia. Ekspor juga sekaligus dapat memacu aktivitas ekonomi secara umum. Sayangnya, berdasarkan data Neraca Berjalan Sektor Jasa Tahun 2006-2015 dari Bank Indonesia, sektor jasa masih memiliki kontribusi yang negatif. Dengan kata lain, ekspor jasa kita masih lemah dan belum memiliki daya saing yang baik dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya upaya pemerintah untuk memperkuat sektor jasa turut mencakup kebijakan pengenaan PPN dengan tarif 0% terhadap ekspor jasa.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan destination principle atas PPN bagi ekspor jasa memberikan tantangan tersendiri bagi otoritas pajak. Tidak seperti barang berwujud yang dapat dipantau secara langsung sehingga penentuan proksi dan verifikasinya cukup mudah, ekspor jasa memang memerlukan prosedur verifikasi yang lebih rumit. Namun demikian, tidak seharusnya kesulitan dalam menentukan proksi dan verifikasi kemudian menjadi alasan untuk menggugurkan atau mencederai destination principle. Oleh karena itu, sudah selayaknya destination principle diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.