PADA 2019 Indonesia akan memasuki tahun politik, di mana akan terselenggara Pemilu Presiden 2019. Pada tahun ini seluruh elemen akan menganalisis kebijakan apa yang akan diimplementasikan serta bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, terutama di sektor perpajakan.
Pajak merupakan instrumen penting dalam penerimaan negara. Sebanyak 80% penerimaan berasal dari pajak. Kontribusi rakyat kepada negara melalui pajak digunakan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional dengan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada Pemilu 2019 ada dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang akan bersaing, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua paslon memiliki kebijakan yang diunggulkan di sektor perpajakan.
Dari sisi petahana, beberapa kebijakan yang akan diambil, pertama, melanjutkan reformasi kebijakan perpajakan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Kedua, mengoptimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketiga, memperkuat sinergi tiga pilar.
Pada dasarnya, reformasi perpajakan diciptakan guna memberi kemudahan dalam administrasi, efisiensi, dan menciptakan level for playing field yang berkeadilan sehingga dapat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat agar taat dalam membayar pajak.
Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga menjadi salah satu fokus dibuktikan dengan insentif pajak UMKM. Insentif diberikan dengan penurunan pajak penghasilan (PPh) dari 1% menjadi 0,5%. Penurunan tarif ini bertujuan meningkatkan kesadaran pelaku UMKM agar taat pajak.
Sejak 2016, petahana gencar membagikan sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat. Selain untuk menyelesaikan permasalahan sengketa lahan juga untuk memberikan kemudahan dalam mengajukan agunan ke bank.
Diharapkan dengan adanya sertfikat ini masyarakat dapat mengajukan pinjaman ke bank yang kemudian digunakan untuk modal usaha. Dengan demikian, perekonomian masyarakat akan meningkat dan akan berdampak baik pada sektor perpajakan.
Jika dilihat dari kebijakan yang dirumuskan oleh Jokowi, terlihat ada konsistensi terhadap kebijakan ini. Namun, hal tersebut tidak luput dari kekurangan karena masih banyaknya langkah-langkah yang belum membuahkan hasil.
Sedangkan dari kubu non-petahana, beberapa kebijakan fiskal yang dirumuskan, pertama, menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21. Kedua,memperbaiki tata kelola utang untuk sektor produktif. Ketiga, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.
PTKP merupakan batas untuk menentukan seseorang wajib membayar pajak atau tidak. Batas PTKP Indonesia sendiri saat ini berada pada Rp54.000.000/tahun. Itu berarti PPh 21 hanya dikenakan kepada seseorang yang berpenghasilan lebih dari Rp4.500.000/bulan.
Jika PTKP dinaikkan dan tarif PPh diturunkan, pendapatan pajak akan turun karena jumlah wajib pajak berkurang. Ketika tarif PPh turun, daya beli masyarakat akan meningkat, hingga pendapatan nasional juga meningkat. Namun, hal itu tidak serta-merta menunjukkan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Selanjutnya penghapusan PBB bagi rumah tinggal dan utama. Pada 2017 penerimaan perpajakan dari sektor PBB mencapai Rp16,8 triliun dari jumlah yang ditargetkan Rp7,7 triliun. Realisasi yang surplus menunjukkan kesadaran masyarakat dalam patuh membayar PBB meningkat.
Oleh karena itu, jika PBB dihapuskan akan memberikan dampak negatif terhadap pemerintah. Penghapusan PBB mungkin bisa diganti dengan kebijakan yang meningkatkan pendapatan pemerintah. Misalnya perbaikan sistem administrasi sehingga memberikan efiensi dan kemudahan.
Penghapusan PBB juga akan berdampak pada kebijakan yang telah dijalankan kubu petahana, karena perkiraan akan pendapatan pajak melalui PBB dengan sertifikat tanah yang telah dikeluarkan pemerintah akan menjadi sia-sia.
Dilihat dari program kedua pasangan terlihat mereka hanya fokus pada reformasi perpajakan, tetapi kurang memperhatikan bagaimana cara menghilangkan mafia perpajakan. Padahal, seperti yang kita tau, sektor perpajakan sangat menarik bagi para koruptor.
Seharusnya ada program khusus dari kedua paslon untuk memberantas mafia pajak, sehingga jumlah pajak yang masuk ke kas negara sesuai dengan yang semestinya. Inilah yang masih jadi permasalahan serius di Indonesia, yang menyebabkan sulitnya pemerintah menghilangkan kasus tersebut.
Selain pemerintah, perlu peran masyarakat dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Kita tahu pajak merupakan sumber terbesar APBN, maka dari itu sebagai warga negara sudah sepatutnya kita taat pajak, sehingga dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.