SEJAK diberlakukan hukuman sanksi, timbul wacana ketidaksetaraan pengenaan sanksi atas kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak (WP) ataupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketidaksetaraan yang paling menonjol adalah ketika WP melakukan kesalahan saat menjalankan kewajiban pajaknya.
WP tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda, kenaikan, atau bunga. Sementara itu, apabila kesalahan dilakukan DJP yang dapat mengakibatkan kerugian WP, DJP hanya memberikan imbalan berupa bunga kepada WP tanpa dikenakan sanksi serupa. Pertanyaannya, bagaimanakah desain yang seharusnya untuk sanksi pajak? Apakah desain sanksi di Indonesia sudah proporsional?
Desain Indonesia
SISTEM perpajakan Indonesia saat ini mengenal adanya dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Mengacu pada Pasal 37 UU Nomor 16 tahun 2009 (UU KUP), sanksi administrasi terbagi menjadi tiga berupa bunga, denda, dan kenaikan.
Dalam peraturan a quo sudah ditetapkan jenis sanksi administrasi apa saja yang dikenakan atas setiap pelanggaran atau kesalahan. Sanksi denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan. Sanksi bunga ditujukan kepada WP yang melakukan pelanggaran terkait dengan kewajiban membayar pajak.
Selanjutnya, sanksi kenaikan akan berlaku ketika WP melakukan pelanggaran atau kesalahan secara materiel. Salah satu contohnya adalah pemalsuan data dengan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya dituliskan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Selain itu, sistem pajak di Indonesia juga mengenal pemberian imbalan bunga kepada WP yang menang dalam tingkat keberatan dan banding. Pasal 27A ayat (1) UU KUP menyebutkan imbalan bunga yang diberikan sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.
Imbalan bunga ini muncul untuk menciptakan kesetaraan antara WP dan DJP (Mulyodiwarno, 2018). Kesetaraan terwujud dalam bentuk pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bila WP melakukan kesalahan dan pemberian imbalan kepada WP jika DJP melakukan kelalaian. Pertanyaan selanjutnya, apakah imbalan yang diberikan sama besarnya dengan risiko sanksi yang harus dibayarkan?
Pada UU KUP pun sudah ditentukan pengenaan sanksi kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak yang disengketakan saat keberatan ditolak. Begitu juga jika banding ditolak, sanksi kenaikan kembali diberikan sebesar 100% dari jumlah pajak yang disengketakan. Ketentuan seperti ini telah mencederai aspek proporsionalitas (Septriadi, 2016).
Desain Sanksi dan Denda
SETIDAKNYA terdapat empat hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendesain sanksi perpajakan. Pertama, adanya kesamaan kerangka sanksi atas tiap jenis pajak. Kesamaan kerangka sanksi penting ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, adanya konsistensi penerapan pemberian sanksi berdasarkan kesalahan yang diperbuat, terlepas dari jenis pajaknya.
Kedua, desain sanksi pajak sebaiknya terdiri dari dua macam, yakni sanksi administratif dan sanksi pidana. Banyak yurisdiksi yang menggunakan sanksi administrasi dan hukuman pidana sebagai sarana untuk penegakan permasalahan perpajakan (IMF, 2019).
Pemberian sanksi administrasi tepat untuk mengatasi kesalahan atau pelanggaran wajib pajak yang mudah dideteksi atau tergolong pelanggaran ringan. Pengenaan sanksi ini pada umumnya dapat ditegakkan secara konsisten (Waerzeggers et al, 2019).
Sementara itu, sanksi pidana hanya dikenakan pada pelanggaran lebih berat dan bersifat materiel. Adapun contohnya ialah apabila adanya penipuan, penyuapan, korupsi, ataupun penggelapan pajak serta menghalangi pegawai pajak yang hendak melaksanakan tugasnya.
Sanksi administratif umumnya lebih mudah diterapkan dan lebih murah daripada hukuman pidana. Penyelesaian pelanggaran pajak tertentu tanpa melalui jalur pidana akan lebih baik serta tidak akan menambah beban sistem peradilan. Meskipun demikian, pemberian sanksi pidana pun tetap menjadi elemen penting untuk dipergunakan pada pelanggaran perpajakan yang lebih berat.
Ketiga, sanksi yang dijatuhkan harus sesuai dengan asas keadilan secara proporsional. Proporsional memiliki definisi dan pemahaman yang beragam. Proporsional dapat diartikan adanya hubungan proporsional antara tujuan yang ingin dicapai dan cara yang digunakan legislator (Vanistendael, 1996).
Tingkat hukuman yang diberikan kepada WP harus sepadan dengan kesalahan yang dilakukan oleh pembayar pajak (Rowell, Flood, 2018). Hukuman yang diberikan tidak boleh terlalu rendah ataupun terlalu tinggi.
Sifat atas kesalahan atau pelanggaran WP juga penting untuk diklasifikasikan berdasarkan tingkatan dalam kaitannya dengan ketidakakuratan dalam dokumen WP. Tujuan klasifikasi ialah untuk menentukan perhitungan sanksi yang seharusnya dibayarkan.
Misalnya, klasifikasi tersebut dapat terbagi menjadi tiga, yakni kelalaian (careless), disengaja dan tidak disembunyikan (deliberate but not concealed), serta disengaja dan disembunyikan (deliberate and concealed) (Rowell, Flood, 2018).
Lebih lanjut, apabila belajar dari analogi hukum pidana, sebuah tindakan pidana dibangun atas dua unsur penting, yaitu actus reus (perbuatan yang melanggar hukum pidana) dan mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana).
Dengan demikian, ketika terjadi pelanggaran, terlebih dahulu melihat kesalahan yang dilakukan dan selanjutnya iktikad pelaku saat melaksanakan perbuatannya. Dalam konteks hukum pajak, dibutuhkan memahami pelanggaran yang dilakukan WP. Kemudian, pelanggaran tersebut disesuaikan dengan jenis sanksi perpajakan sehingga tercipta keadilan.
Keempat, adanya kompensasi yang diberikan kepada WP ketika kesalahan dilakukan otoritas pajak. Kompensasi tersebut menjadi bentuk tanggung jawab otoritas pajak atas kesalahan yang dilakukan. Dengan demikian, baik WP maupun otoritas pajak sama- sama bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan.
Desain sanksi pajak secara proporsional akan menciptakan kesetaraan dan keadilan antara WP dan otoritas pajak. Perbaikan ini perlu dijadikan agenda penting untuk menciptakan sistem pajak Indonesia yang lebih baik.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.