BENTUK usaha tetap (BUT) merupakan konsep yang dikenal dalam perpajakan internasional. Perusahaan dianggap memiliki BUT di negara sumber jika ada keterkaitan dengan negara sumber, misalnya melalui kehadiran fisik tempat ataupun kehadiran fisik dari pegawai.
Dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model dan United Nation (UN) Model, setidaknya terdapat 4 tipe BUT yang dikenal saat ini. Keempatnya adalah BUT bentuk dasar, BUT konstruksi, BUT keagenan, dan BUT asuransi (UN Model). Pahami juga konsep BUT di sini.
Konsep BUT ini memiliki peranan penting, terutama bagi negara sumber untuk dapat mengenakan pajak. Hal ini dikarenakan laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh (Darussalam, Septriadi, dan Asyir, 2023).
Adapun laba yang diatribusikan kepada BUT dan dikenakan pajak di negara sumber hanya terbatas. Cakupannya hanya keuntungan atau laba yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dilakukan BUT (Smith dalam Denis Weber, 2023). Dalam hal ini, OECD Model 2010 menerapkan prinsip attributable principle.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengatribusikan laba usaha BUT di negara sumber? Apa pendekatan yang tepat digunakan? Berkaitan dengan hal ini, pada 2010, OECD menerbitkan Report on the Atribution of Profits to Permanent Establishment.
Berdasarkan pada laporan tersebut, OECD memperkenalkan konsep atribusi laba usaha untuk BUT yang dinamakan Authorized OECD Approach atau AOA. BUT akan dianggap sebagai entitas terpisah. Kemudian, fungsi dari BUT akan dipertimbangkan dalam menentukan atribusi laba sesuai prinsip kewajaran (arm’s length basis).
Terkait dengan prinsip kewajaran, OECD menganut konsep significant people function dalam pengalokasian laba usaha kepada BUT. Singkatnya, significant people function adalah fungsi-fungsi yang melibatkan pengambilan keputusan aktif sehubungan dengan kepemilikan aset, manajemen, risiko, atau aktivitas dan tanggung jawab yang signifikan secara ekonomi.
Melalui pendekatan OECD tersebut, intervensi orang (people) cukup mendapatkan bobot yang besar dalam penentuan atribusi laba kepada BUT. Namun, perkembangan industri digital memungkinkan para pelaku bisnis untuk menggantikan fungsi manusia dengan teknologi lainnya, misalnya otomatisasi dengan robot dan artificial intelligence (AI).
Sebagai contoh, sebuah perusahaan Jepang bernama FANUC telah menjalankan sebuah pabrik yang dioperasikan sepenuhnya oleh robot. Secara umum, pabrik seperti ini dikenal sebagai lights-out factory. Dengan demikian, fungsi yang selama ini dijalankan oleh manusia dapat digantikan dengan teknologi.
Apabila bisnis terus berkembang, terutama ke arah digitalisasi atau automasi, peran manusia lama-kelamaan dapat tergantikan dengan robot. Dalam kondisi tersebut atribusi laba BUT dengan konsep significant people function perlu ditinjau ulang. Perlu ada usulan konsep baru dalam konteks perpajakan internasional.
Konsep Significant Robot Function
Sejauh ini, atas perkembangan bisnis yang makin terdigitalisasi, usulan yang terus digaungkan adalah pengenaan pajak dari sisa keuntungan melalui Pillar One OECD. Usulan tersebut diarahkan, terutama untuk sisa keuntungan bagi perusahaan-perusahaan multinasional terbesar di dunia.
Namun demikian, menurut Smit (2023), peralihan hak pemajakan dari negara sumber ke negara asal (resident country) sebagai akibat dari otomatisasi tidak dapat diatasi melalui usulan ini.
Oleh karena itu, timbul suatu usulan baru terkait pendekatan (nexus) agar negara sumber dapat mengenakan pajak atas laba usaha BUT, yaitu pendekatan berdasarkan significant robot function (Smit, 2023). Misal, penghitungan didasarkan pada jumlah produksi barang atau jasa yang dihasilkan dari robot tersebut.
Salah satu kelebihan dari significant robot function pada akhirnya adalah mendekatkan dengan realitas ekonomi terkini. Hal ini dikarenakan nilai ekonomi tidak hanya dihasilkan oleh tenaga kerja manusia, tetapi juga teknologi. Pergeseran skema penciptaan nilai ekonomi ini pada gilirannya menuntut penyesuaian kebijakan pajak.
Selain itu, negara dapat mengeklaim hak pemajakan atas keuntungan yang dihasilkan teknologi oleh perusahaan multinasional. Skema ini akan membantu pencegahan praktik base erosion and profit shifting (BEPS), yakni ketika perusahaan multinasional menggeser keuntungan ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah. Artinya, ada aspek keadilan.
Di sisi lain, implementasi significant robot function tetap akan memunculkan tantangan. Salah satu tantangannya adalah penentuan significant function. Bagaimanapun, robot dan AI dapat memiliki peran yang bervariasi dalam proses bisnis, dari fungsi operasional dasar hingga proses yang menghasilkan nilai tinggi. Menentukan fungsi yang signifikan untuk tujuan perpajakan bisa sangat subjektif dan memicu sengketa antarnegara.
Terkait dengan hal ini, ada juga potensi penghindaran pajak. Misal, perusahaan melakukan desain ulang fungsi robot sehingga tidak memenuhi kriteria significant function atau menempatkan teknologi pada yurisdiksi yang ramah pajak.
Pendekatan juga memerlukan revisi yang signifikan terhadap peraturan perpajakan internasional yang ada, termasuk konsep tradisional BUT yang selama ini didasarkan pada keberadaan fisik. Faktanya, hingga saat ini, belum muncul kesepakatan bulat terkait dengan Two Pillar Solution yang digodok OECD.
Oleh karena itu, perlu tinjauan dan eksplorasi lebih jauh mengenai dapat atau tidaknya pendekatan significant robot function menjawab tantangan-tantangan yang ada dalam pemajakan lintas batas. Ataukah justru terdapat pendekatan lain yang lebih sesuai untuk mengatribusikan laba usaha BUT.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.