PERAN PAJAK DALAM PEMBANGUNAN DARI MASA KE MASA (2)

Mendanai Republik yang Berusia Muda (1945-1966)

Selasa, 18 Agustus 2020 | 11:33 WIB
Mendanai Republik yang Berusia Muda (1945-1966)
,

ARTIKEL kali ini merupakan seri kedua dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa”. Artikel berseri ini dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam seri ini, akan diulas mengenai peran pajak pada era Presiden Soekarno (1945—1966).

Kepemimpinan pada era Presiden Soekarno dapat dikategorikan menjadi tiga zaman, yaitu revolusi fisik (1945—1949), demokrasi parlementer (1950—1958), dan demokrasi terpimpin (1959—1966). Untuk diketahui, analisis peran pajak pada era ini terhambat minimnya ketersediaan data terutama pada saat revolusi fisik. Informasi perkembangan ekonomi, fiskal, dan pajak baru terdokumentasi lebih baik setelah 1950.

Meskipun demikian, revolusi fisik dan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar 1949 memberikan dampak serius, yaitu terbelitnya anggaran negara atas utang sebesar 4,3 miliar gulden. Dalam umurnya yang masih belia, Indonesia membutuhkan dana besar untuk memulai proses pembangunannya.


Secara umum, meskipun terdapat instabilitas politik pada era Presiden Soekarno, perkembangan ekonomi tidak terlalu menunjukkan suatu permasalahan yang serius. Selama periode demokrasi parlementer, rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tercatat berada pada kisaran 5%.

Akan tetapi, keadaan makroekonomi semakin memburuk pada masa demokrasi terpimpin dengan pertumbuhan rata-rata PDB nasional hanya sebesar 1,4% per tahun. Pertumbuhan tersebut hanya ditopang oleh besarnya kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga kepada perekonomian.

Sebagai ilustrasi, pada 1960, komponen ini memiliki peranan 80% dari PDB dan meningkat hingga 90% pada 1966. Sementara investasi hanya tercatat sebesar 5% dari PDB. Pada periode tersebut, investasi tidak banyak dilakukan karena rendahnya tingkat tabungan domestik. Penduduk masih banyak yang mengakumulasikan simpanan mereka pada aset yang tidak produktif, seperti perhiasan, emas, dan batik. (van der Eng, 2002)

Dari sisi fiskal, pengeluaran pemerintah yang selalu melebihi penerimaan telah mengakibatkan persoalan defisit anggaran yang besar. Pengeluaran tersebut terutama diakibatkan oleh proporsi belanja anggaran pada sektor pertahanan/militer yang tinggi, yakni sekitar rata-rata 35%. Jauh di atas alokasi untuk sektor lain.


Selain itu, neraca perdagangan barang dan jasa dalam periode ini menunjukkan tren defisit yang semakin membesar, sedangkan utang luar negeri perlu untuk segera dibayar. Semua ini jelas mengerosi cadangan devisa dari US$326,4 juta pada 1960 turun secara drastis menjadi US$8,6 juta US$ pada 1965 (Salim, 2010).

Defisit anggaran pada era demokrasi terpimpin makin meningkat hingga puncaknya pada 1965. Pembiayaan defisit ini dilakukan dengan mencetak lebih banyak uang sehingga terjadi excess money supply dan hyperinflation.

Defisit yang tinggi sebenarnya tidak akan memberi efek krisis yang begitu dalam, jika alokasi anggaran diprioritaskan untuk sektor-sektor yang memberikan manfaat bagi publik dan efek pengganda bagi output perekonomian serta pembiayaan defisit anggaran harus berasal dari sumber-sumber yang memiliki risiko rendah. Sayangnya, kedua hal tersebut belum terlaksana dengan baik pada era ini.


Lalu bagaimana peran pajak dalam mengatasi defisit anggaran yang besar tersebut? Pada periode 1945-1966, pajak belum menjadi sumber utama penerimaan negara. Keuangan negara justru memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan sumber daya alam serta pajak perdagangan internasional. (Woo, Glassburner, dan Nasution,1994). Terdapat enam hal yang diduga menjadi penyebab dari rendahnya kontribusi pajak pada era ini.

Pertama, adanya faktor eksternal yaitu Korean Boom. Perang Korea pada awal dekade 1950-an telah memengaruhi tingginya permintaaan dan harga barang komoditas, seperti karet, timah, gula, hingga minyak bumi.

Hal tersebut jelas mendorong orientasi pemerintah untuk meraup dana dari penjualan komoditas, terlebih karena penerimaan sumber daya alam merupakan ‘uang cepat’ dan tidak membutuhkan kerumitan administrasi seperti halnya pengelolaan pajak.

Pada 1951—1958 sistem fiskal Indonesia sangat tergantung pada sumber penerimaan yang berasal dari perdagangan internasional. Pada akhir dekade 50-an, kontribusi sumber-sumber penerimaan itu mulai menurun karena memburuknya situasi pasar dunia yang berdampak pada komoditas utama Indonesia seperti karet. Selain itu, akibat ditetapkannya kurs devisa yang terlalu rendah, terjadi peningkatan kegiatan penyelundupan ke Singapura dan beberapa negara lain. (Corden dan Mackie, 1962)


Kedua, pengaruh dari struktur ekonomi yang masih tradisional. Berdasarkan data dalam tabel di atas, dapat dikatakan hampir tidak ada perubahan struktural sektor ekonomi selama dua puluh tahun setelah merdeka.

Perekonomian masih berbasis pada sektor pertanian dengan distribusi sebesar 56,9% pada 1953 dan hanya berkurang menjadi 52,4% pada 1965. Sektor industri yang bisa menjadi sektor yang menjadi tulang punggung transformasi ke ekonomi modern, hanya ‘jalan di tempat’, berkisar 8,5-8,7% antara periode 1953 dan 1965.

Padahal, distribusi sektor modern seperti manufaktur dan jasa-jasa sangat berpengaruh kepada kinerja penerimaan pajak karena sifatnya lebih mudah untuk dipajaki serta penghasilan tenaga kerja di sektor tersebut yang relatif lebih baik. Tidak mengherankan jika diperkirakan sebesar 91% dari masyarakat tidak terkena batas penghasilan kena pajak. (Mackie, 1971)

Ketiga, tidak adanya kesinambungan kebijakan fiskal Indonesia akibat faktor politik. Pada era demokrasi parlementer, pada umumnya, kabinet dipimpin dan diisi oleh representasi partai politik mayoritas. Pengecualian hanya untuk Kabinet Djuanda.

Seluruh kabinet tersebut tidak ada yang dapat bertahan selama lebih dari dua tahun. Hal ini tentu memberikan pengaruh pada tidak konsistennya kebijakan fiskal. Setiap kabinet memiliki program dan rencananya masing-masing, tapi kurang berkontribusi dalam desain kemandirian fiskal jangka panjang.

Krisis politik serta ketidakpastian kebijakan fiskal-moneter pada era demokrasi terpimpin juga berakibat negatif. Keputusan-keputusan yang diambil tidak berorientasi jangka panjang dan konsisten untuk dijalankan. Hal tersebut juga membuat aktivitas perekonomian masyarakat menjadi tidak teratur dan berada dalam ketidakpastian.

Meskipun demikian, bukan berarti pemerintah tidak menghasilkan suatu dokumen perencanaan ekonomi. Contohnya, Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang disusun Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Sayangnya, hal tersebut tidak terlaksana secara optimal karena berbagai peristiwa politik. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Paauw (1963), “...prasyarat utama bagi pembangunan ekonomi Indonesia, yang sampai sekarang belum terpenuhi, terletak di luar batas analisis ekonomi.

Keempat, kendala mereformasi kebijakan pajak dalam negeri. Akibat berbagai peristiwa politik, upaya untuk menyusun sistem pajak nasional sulit untuk dilakukan.

Selama era Orde Lama, sistem perpajakan dalam negeri masih mengikuti hukum pajak pada masa kolonial, mulai dari Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944, Pajak Upah 1935, dan sebagainya.

Adapun upaya untuk memperluas basis pemajakan dilakukan dengan adanya penerbitan UU Nomor 35 Tahun 1953 mengenai Penetapan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan. Tarifnya 5%. Sebelum disetujui, UU Darurat tersebut memberikan dampak politik yang besar di parlemen hingga sempat menciptakan mosi tidak percaya atas Kabinet Natsir.

Selain itu, terdapat pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pajak Dividen 1959 yang mengatur penghasilan bruto atas dividen akan dikenakan tarif sebesar 20%. Periode ini juga meletakkan tonggak desentralisasi pemungutan PBB melalui Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang dimulai 1965.

Satu hal yang pasti, di era ini perubahan kebijakan pajak lebih banyak diutamakan pada jenis pajak perdagangan internasional seperti bea masuk dan pajak impor. Sebagai ilustrasi, pada Kabinet Wilopo, terdapat upaya untuk mengendalikan neraca pembayaran yang defisit sekaligus meningkatkan penerimaan dengan memperkenalkan tambahan pembayaran impor.

Tambahan pembayaran impor tersebut dipatok dengan tarif tinggi atas barang-barang nonesensial, pembayaran di muka untuk aktivitas impor, serta penurunan tarif pajak ekspor agar komoditas Indonesia laku di pasaran dunia. (Mackie, 1971)


Kelima, belum adanya upaya khusus untuk meningkatkan kepatuhan melalui pembenahan sistem administrasi pajak. Padahal, menurut Kaldor (1963), jika saja pemerintah di negara-negara berkembang fokus pada hal tersebut, mereka dapat mengamankan penerimaan pajak.

Hal ini agaknya relevan mengingat mekanisme pemungutan pajak Indonesia saat itu diserahkan pada penilaian otoritas (official assessment system) dan rumitnya sistem pajak penghasilan.Upaya meningkatkan kepatuhan melalui amnesti pajak juga sempat dilakukan pada 1964-1965 dalam rangka menghimpun dana revolusi. Sayangnya, pecah Peristiwa G30S/PKI.

Keenam, minimnya basis pajak dari korporasi. Mayoritas pemodal asing menarik investasinya dari Indonesia, terutama karena ketidakpastian situasi politik dan ekonomi maupun program nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di bawah Kabinet Djuanda.

Sebagai catatan, industri minyak dan gas adalah sebuah pengecualian untuk kasus ini. Turunnya investasi asing tersebut jelas memberikan efek pengganda yang cukup signifikan bagi ekonomi dan basis pajak. Selain itu, masih bertahannya investor pada industri migas nantinya akan cukup berpengaruh pada ketergantungan Indonesia atas PNBP SDA pada era selanjutnya.

Sebagai informasi kembali, artikel analisis ini akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Setelah membahas peran pajak pada era Presiden Soekarno (1945—1966), artikel berikutnya akan membahas terkait dengan era Presiden Soeharto I (1967—1983). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:30 WIB KPP MADYA DUA BANDUNG

Ada Coretax, Pembayaran dan Pelaporan Pajak Bakal Jadi Satu Rangkaian

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

BERITA PILIHAN