Manager Research and Training DDTC Khisi Armaya Dhora berfoto di acara Global Tax Policy Conference 2019 pada 22-24 Mei 2019 di Dublin Castle, Dublin, Irlandia. (Foto: DDTCNews)
DUBLIN, DDTCNews – Salah satu topik yang dibahas dalam Global Tax Policy Conference yang dilaksanakan oleh Harvard Kennedy School bekerjasama dengan Irish Tax Institute pada 22-24 Mei 2019, di Dublin, Irlandia, adalah mengenai penerapan rezim pemajakan global minimum tax.
Sejak ‘digaungkan’ kembali dalam program reformasi pajak Amerika Serikat (AS) melalui skema Global Intangible Law Tax Income (GILTI), rezim pemajakan global minimum tax, atau disebut pula minimum tax, kian menarik perhatian bagi para pembuat kebijakan pajak di berbagai negara. Terlebih, ketika OECD memasukkan rezim ini ke dalam dokumen konsultasi publik yang berjudul “Addressing The Tax Challenges of The Digitalisation of The Economy” yang dirilis pada Februari 2019 lalu sebagai salah satu proposal kebijakan untuk pemajakan ekonomi digital (Marley, Heale, dan Gray, 2019).
Berbagai negara bereaksi atas rencana penerapan dari global minimum tax. Beberapa negara, seperti Jerman, Prancis, dan Belanda, telah menyatakan dukungan kuatnya untuk menerapkan global minimum tax yang dianggap selaras dengan prinsip-prinsip BEPS sehingga mendapat julukan ‘BEPS 2.0’ (Roth, Alexander, dan Tan, 2019). Terakhir, Denmark, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Keuangan Denmark, Kristian Jensen, juga menyatakan dukungannya untuk penerapan global minimum tax atas keuntungan yang diperoleh perusahan grup multinasional (Martin, 2019).
Sebaliknya, reaksi berbeda ditunjukkan oleh Irlandia. Dalam sambutannya pada acara Global Tax Policy Conference yang bertempat di Printwork Conference Center, Dublin Castle, Irlandia, Menteri Keuangan Irlandia, Paschal Donohoe, menyatakan penolakannya atas proposal kebijakan global minimum tax yang ditawarkan oleh OECD. Alasannya, ia merasa bahwa proposal kebijakan minimum effective tax sebelumnya tidak menjadi bagian dari diskusi OECD tentang mengatasi tantangan pajak digitalisasi sehingga ia mempertanyakan validitas dan kesesuaian proposal ini dalam mencapai konsensus yang disepakati bersama.
Penolakan yang sama atas penerapan global minimum tax juga dinyatakan oleh Swiss. Pemerintah Swiss menganggap bahwa penerapan dari rezim ini akan membatasi persaingan dan dapat menyebabkan beban tambahan bagi perusahaan multinasional (Buell, 2019).
Lantas, apa itu rezim pemajakan global minimum tax yang saat ini tengah menimbulkan pro dan kontra di dunia perpajakan? Apa hubungan rezim ini dengan GILTI yang dicetuskan oleh AS? Kemudian, apa tantangan dari penerapan rezim ini terhadap pemajakan ekonomi digital yang diusulkan oleh OECD?
Berikut jawaban atas berbagai pertanyaan di atas.
Apa itu Global Minimum Tax?
Konsep mengenai global minimum tax telah banyak dianalisis dan dibahas dalam literatur (Grubert dan Altshuler, 2013). Pada dasarnya, konsep ini memiliki kesamaan dengan alternative minimum tax (AMT), yaitu suatu skema pengenaan pajak yang didesain untuk menghindari perusahaan dari tidak membayar pajak atau membayar terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan mereka.
Dalam penerapannya, perusahaan akan membayar pajak terutang berdasarkan nilai tertinggi antara rezim pajak normal PPh Badan dengan rezim AMT. Dengan kata lain, AMT merupakan suatu perlindungan (safe guard) atas praktik penghindaran dan pengelakan pajak oleh perusahaan (Kristiaji, 2018).
Sama halnya dengan AMT, global minimum tax juga ditujukan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang merugikan (harmful tax avoidance) atau praktik pengalihan laba (profit shifting) ke negara dengan tingkat pajak yang lebih rendah (International Monetary Fund, 2019). Bedanya, penerapan global minimum tax dilakukan dalam tingkat global atau antaryurisdiksi atas penghasilan perusahaan multinasional. Melalui rezim ini, terdapat nilai pajak minimum yang harus dibayarkan oleh setiap perusahaan multinasional domestik yang memperoleh penghasilan dari luar negeri.
Sementara itu, dalam policy paper yang diterbitkan oleh Pemerintah Jerman terkait usulan reformasi internasional untuk menetapkan global minimum tax pada perusahaan multinasional, dijelaskan bahwaglobal minimum tax hanya diterapkan apabila suatu yurisdiksi atau negara mengenakan PPh atas perusahaan multinasional terlalu rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Misal, karena yurisdiksi atau negara tersebut memberlakukan tarif atau ketentuan khusus. Adapun penerapanminimum tax ini dilakukan pada negara domisili dari kantor pusat, perusahaan induk, atau yurisdiksi tempat barang atau jasa terkait dijual atau dibayar atau market jurisdiction.
Melihat cara kerja dari rezim global minimum tax ini, penolakan yang dinyatakan Irlandia dan Swiss cukup masuk akal mengingat Irlandia dan Swiss merupakan negara yang menarik investasi dengan cara menawarkan tarif pajak perusahaan yang rendah, yaitu sekitar 12,5% untuk Irlandia dan 8,5% untuk Swiss. Dengan penerapan global minimum tax, bukan tidak mungkin cara menarik investasi yang dilakukan kedua negara tersebut tidak lagi dapat bekerja efektif.
Global Minimum Tax dalam GILTI
AS menjadi salah satu negara yang sudah menerapkan rezim pemajakan global minimum tax melalui skemaGlobal Intangible Law Tax Income (GILTI). Secara teknis, ketentuan ini berfungsi sebagai global minimum tax yang ditujukan kepada semua pemegang saham AS atas controlled foreign company (CFC) (DiFilippo, 2018).
Secara praktis, GILTI merupakan kategori penghasilan baru atas pendapatan controlled foreign company(CFC) dari perusahaan multinasional AS yang saat ini menjadi subjek pajak AS. Kategori penghasilan baru ini untuk mencegah perusahaan menggeser keuntungannya ke luar AS, misalnya dengan memindahkan aset tidak berwujud seperti kekayaan intelektual, dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah atas kategori penghasilan yang termasuk dalam GILTI. Setiap tahunnya, GILTI dikenakan pajak minimum di seluruh dunia antara 10,5 dan 13,125% (Pomerleau, 2018).
Setiap tahun, perusahaan multinasional AS harus menghitung GILTI mereka. GILTI dihitung dengan cara mengurangi apa yang disebut ‘net tested income’ dengan 10 persen dari ‘Investasi Aset Bisnis yang Memenuhi Syarat’ (QBAI). Net tested income merupakan semua laba dari luar negeri yang diperoleh oleh CFC perusahaan induk AS yang belum dikenai pajak oleh AS. Sementara itu, QBAI sama dengan nilai semua aset yang dapat didepresiasi (mesin, bangunan, pabrik) yang dimiliki oleh CFC induk AS tersebut.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan multinasional AS mengendalikan beberapa CFC dengan net tested income gabungan sebesar US$1.000 dan QBAI US$9.000. Pengitungan GILTI perusahaan AS ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1 Contoh Penghitungan GILTI Perusahaan Multinasional AS
Sumber: diolah oleh Penulis dari Kyle Pomerleau, “A Hybrid Approach: The Treatment of Foreign Profits under the Tax Cuts and Jobs Act,” Tax Foundation Fiscal Fact No. 586 (Mei, 2018): 5.
Dalam pemaparannya pada Global Tax Conference di Dublin, Benjamin Willis, analis pajak dari AS menyatakan bahwa GILTI diharapkan dapat menghasilkan tax saving yang signifikan serta akan membawa perubahan bagi perekonomian AS, baik bagi industri AS secara keseluruhan atau terhadap sektor tertentu.
Global Minimum Tax dalam Proposal Kebijakan Ekonomi Digital OECD
Merujuk pada GILTI AS, rezim pemajakan yang disebut dengan global anti-base erosion proposal ini akan menetapkan besarnya tarif pajak efektif minimum atas laba yang diperoleh perusahaan multinasional melalui aturan yang disebut income inclusion rule.
Meskipun disebut dapat menjamin keadilan yang lebih besar dalam hukum pajak internasional oleh Menteri Keuangan Jerman, Olaf Scholz, rezim pemajakan global minimum tax bukanlah tanpa cela. David Bradbury, Kepala Divisi Kebijakan Pajak dan Statistik OECD, dalam Global Tax Policy Conference di Dublin beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa OECD perlu menyelesaikan beberapa tantangan penting dalam pekerjaannya untuk membuat rencana global minimum tax yang dapat mencapai konsensus internasional.
Hal senada juga disampaikan oleh Lafayette G. ‘Chip’ Harter III, Wakil Asisten Treasury Amerika Serikat untuk urusan perpajakan internasional. “Meskipun saya pikir (global) minimum tax adalah ide yang cukup sederhana untuk dipahami, tetapi tidak secara secara teknis. Merancang sebuah rezim yang bekerja dengan lancar merupakan hal yang sangat menantang” ujarnya sebagaimana dikutip dari Bloomberg Tax (2019).
Salah satu masalah yang patut diperhatikan adalah menentukan besarnya tarif global minimum tax. Hingga saat ini OECD belum menentukan berapa besarnya tarif yang akan digunakan dalam penerapan global minimum tax. Namun, dapat diprediksi bahwa tarif yang ditetapkan OECD akan meningkatkan tarif pajak atas keuntungan atau laba yang diperoleh dari yurisdiksi dengan tingkat pajak rendah.
Prediksi ini tentunya menimbulkan dua perspektif berbeda. Dari sudut pandang luas, penerapan global minimum tax akan menjadi dasar kompetisi pajak. Namun, di sisi lainnya rezim ini dinilai dapat merusak kedaulatan perpajakan (tax sovereignity) beberapa negara atau yurisdiksi. Sebagai contoh, Irlandia memiliki tarif PPh Badan sebesar 12,5% dan Hongaria hanya memiliki tarif 9%. Jika global minimum tax yang dirancang OECD memiliki tarif lebih tinggi dari negara-negara tersebut, dapat dipastikan beberapa keunggulan kompetitif dari kedua negara tersebut akan ‘hilang’ (Bunn, 2019).
Dari masalah ini dapat disimpulkan bahwa diperlukan kerja sama internasional terkait kesepakatan tarif pajak efektif minimum yang dikenakan pada pendapatan luar negeri dari perusahaan multinasional yang menetap di setiap yurisdiksi yang berpartisipasi. Selain itu, penerapan rezim global minimum tax dapat berarti akhir dari kompetisi tarif PPh Badan sehingga negara-negara harus terus bekerja untuk meningkatkan basis pajak perusahaan mereka dan area lain dari sistem pajak mereka.
Di sisi lain, OECD dan tim penelitinya dituntut untuk melakukan analisis ekonomi yang serius tentang alternatif untuk mengubah aturan pajak internasional sebelum bergerak maju sekaligus dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan yang terjadi pada reformasi pajak AS (Bunn, 2019).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.