PASAR modal memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Mengingat fungsi pasar modal menjadi salah satu sumber pembiayaan dunia usaha maupun wahana investasi masyarakat (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal).
Pertumbuhan pasar modal di Indonesia sendiri, tak pelak dari adanya perkembangan produk reksa dana. Reksa dana merupakan wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi.
Berdasarkan statistik pasar modal, pada tahun 2019 volume reksa dana dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) mencapai 4.393,74 juta atau setara dengan Rp 1.378,25 miliar (dapat diakses melalui https://www.ojk.go.id/).
Menurut Penulis, menarik untuk kembali mengulas isu pajak yang timbul atas transaksi reksa dana. Mengingat dalam penerapannya, masih cukup banyak menimbulkan berbagai penafsiran.
Lebih lanjut, Penulis akan memaparkan tahapan pembentukan reksa dana serta implikasi pajak apa saja yang timbul. Pertama, manajer investasi dan bank kustodian akan membentuk perjanjian KIK untuk mengatur tugas dan kewajiban dari kedua belah pihak.
Pada tahap pertama ini, belum menimbulkan implikasi pajak apapun. Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa pembentukan KIK memenuhi definisi subjek pajak badan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU PPh beserta penjelasannya. Untuk itu, KIK tersebut harus melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana wajib pajak badan pada umumnya.
Kedua, reksa dana berbentuk KIK tersebut akan ditawarkan kepada investor. Investor yang tertarik untuk berinvestasi akan menyetorkan dana ke rekening reksa dana yang dikelola oleh bank kustodian. Dana investor tersebut kemudian akan ditranslansikan dalam bentuk unit penyertaan. Pada tahap ini pun biasanya belum menimbulkan implikasi pajak.
Ketiga, manajer investasi akan mengelola dana yang diperoleh dari investor ke dalam bentuk instrumen keuangan, misalnya saja saham, surat utang, dan sebagainya. Implikasi pajak yang timbul pada tahap ini tentunya akan sangat tergantung dari underlying instrument yang dipilih oleh manajer investasi dalam mengelola dana investor tersebut.
Sebagai contoh, dalam hal manajer investasi memilih untuk menempatkan dana investor ke dalam bentuk obligasi. Tentunya aspek pajak yang timbul adalah pemajakan atas bunga dan/atau diskonto dengan tarif 5% untuk tahun 2020, dan 10% untuk tahun 2021 dan seterusnya (Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019). Berita selengkapnya dapat dibaca di sini. Perlu diperhatikan bahwa pemajakan yang timbul dalam tahap ini terjadi pada sisi KIK.
Keempat, manajer investasi merealisasikan keuntungan ataupun kerugian atas penempatan dana yang dikelolanya untuk dibukukan ke dalam Nilai Aktiva Bersih (NAB). Dengan demikian, NAB merupakan selisih dari keuntungan aset reksa dana dikurangi dengan pajak yang telah dikenakan pada sisi KIK, biaya manajer investasi, bank kustodian, broker efek, dan sebagainya.
Pada tahap ini, dalam hal terdapat keuntungan maka laba yang diperoleh pemegang unit penyertaan tidak lagi dikenakan pajak penghasilan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (3) Huruf ‘i’ UU PPh.
Kelima, investor melakukan penarikan kembali (redemption) atas unit penyertaan reksa dana yang dimilikinya. Hal ini biasanya kerap terjadi dalam hal investor ingin merubah portofolio investasinya.
Sehubungan dengan redemption ini, pernah terdapat perbedaan pandangan antara wajib pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 306/B/PK/PJK/2011. Putusan selengkapnya dapat dibaca di sini.
Pemohon Peninjauan Kembali (DJP) melakukan koreksi positif terkait keuntungan redemption unit penyertaan kepada reksa dana yang berbentuk KIK yang dibukukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (wajib pajak). Menurut DJP, keuntungan redemption tersebut seharusnya diakui sebagai penghasilan dari luar usaha oleh wajib pajak.
Di sisi lain, menurut wajib pajak, penghasilan reksa dana diakui setiap akhir bulan jika nilai NAB bulan berjalan lebih besar dari nilai NAB bulan sebelumnya.
Selanjutnya, wajib pajak juga mengutip Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.42/1996 tanggal 30 April 1996. Dalam Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa bagian laba atas transaksi redemption tidak termasuk objek penghasilan.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak dapat menerima argumentasi wajib pajak sehingga koreksi tersebut dibatalkan dan tidak dipertahankan. Selain itu, Majelis Hakim Mahkamah Agung juga menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh DJP sehingga memperkuat amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.