ADA atau tidaknya tumpang tindih ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (selanjutnya disebut peraturan perpajakan) pada dasarnya turut menentukan derajat kepastian dalam sistem pajak.
Upaya mencegah tumpang tindih peraturan perpajakan dapat menjamin hubungan yang kondusif antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak (G20 Insight, 2017). Hal tersebut dikonfirmasi dalam laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) berjudul Progress Report on Tax Certainty (2019). Intinya, salah satu hal yang turut menjamin kepastian sistem pajak adalah melalui desain kebijakan dan administrasi perpajakan yang lebih tepat.
Pertanyaannya, apakah fenomena tumpang tindih peraturan – yang menciptakan ketidakpastian dalam sistem pajak – terjadi di Indonesia? Apakah yang dapat dilakukan? Pada tulisan ini, penulis akan membahas tentang tumpang tindihnya peraturan perpajakan secara vertikal.
Contoh
SALAH satu contoh adanya tumpang tindih peraturan adalah terkait pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No.16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP 74/2011).
Menurut UU KUP, wajib pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat belum terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Namun, PP 74/2011 menyatakan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dapat dilakukan sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Dengan demikian, antara kedua pasal tersebut terdapat perbedaan pengaturan atas waktu pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT. Aturan jangka waktu pengungkapan ketidakbenaran dalam PP 74/2011 lebih pendek dibandingkan dengan aturan yang tercantum dalam UU KUP.
Artinya, ada pertentangan dalam hal pengaturan waktu pengungkapan ketidakbenaran SPT antara UU KUP dan PP 74/2011. Padahal, materi muatan peraturan yang lebih rendah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pencegahan
SETIDAKNYA terdapat empat hal yang bisa dilakukan untuk mencegah tumpang tindih peraturan perpajakan di Indonesia.
Pertama, proses pembuatan peraturan harus memperhatikan tiga unsur, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis sesuai dengan amanat Undang-Undang No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011).
Unsur yuridis artinya terdapat pendelegasian kewenangan yang jelas serta tidak diperbolehkannya adanya suatu pertentangan dengan peraturan yang berkedudukan di atasnya. Apabila ada pertentangan maka aturan yang lebih rendah akan dikesampingkan. Hal ini sejalan dengan asas lex superiori derogate legi inferior yang artinya hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah.
Pertimbangan terhadap unsur yuridis juga menyangkut upaya mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada. Selain itu, dalam hal implementasi peraturan perpajakan, otoritas pajak tidak diperkenankan untuk melampaui kapasitas kewenangannya (ultra vires).
Unsur filosofis digunakan untuk memastikan peraturan yang dibentuk telah mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum. Selanjutnya, dari sisi sosiologis, suatu peraturan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Kedua, desain sistem pajak juga perlu memperhatikan setidaknya tiga prinsip. Ketiga prinsip tersebut yaitu perlunya pengaturan terkait kebijakan dan administrasi pajak dituangkan dalam bentuk hukum pajak, pertimbangan atas dampak jangka pendek dan jangka panjang, dan adanya perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak (Brzezinski, 2018).
Apabila prinsip yang disebutkan di atas tidak dapat diakomodasi dengan baik dalam pembentukan peraturan perpajakan maka ada potensi terjadi ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum ini dapat berupa pertentangan antarperaturan, dasar hukum suatu ketentuan yang sifatnya ‘kabur’, perbedaan interpretasi hukum, atapun perluasan interpretasi suatu norma hukum.
Ketiga, pemerintah sebaiknya melakukan perumusan kebijakan pajak secara partisipatif. Partisipasi wajib pajak dalam proses pembuatan kebijakan semakin penting untuk mencegah adanya tumpang tindih dengan aturan yang lain.
Wajib pajak mampu memberikan pandangan lebih luas dalam memastikan kesesuaian peraturan satu dengan yang lainnya serta memberikan informasi atas kekurangan suatu ketentuan (Brzezinski, 2018). Intinya, adanya kebijakan pajak partisipatif yang melibatkan masyarakat dapat menjadi cara menghimpun informasi, aspirasi, ataupun kritik dari masyarakat untuk menciptakan solusi yang ideal.
Terakhir, dibutuhkan suatu unit pemerintah yang bertugas mendesain, merancang, mengharmonisasikan, serta mengevaluasi produk hukum pajak. Unit ini juga tidak hanya beranggotakan ahli yang berlatar belakang keilmuan di bidang ekonomi ataupun pajak, tetapi juga hukum (Gordon dan Thuronyi, 1996).
Selain itu, dibutuhkan koordinasi antarlembaga atau kementerian yang lebih baik. Setiap lembaga atau kementerian pastinya mempunyai kepentingannya sendiri yang dituangkan dalam peraturan. Antarperaturan tersebut sebaikya diharmonisasikan dan disesuaikan agar tidak menyebabkan pertentangan atau tumpang tindih yang berujung pada ketidakpastian hukum pajak.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Masyarakat dpt menguji peraturan pelaksaan UU ke MA. Tujuan hukum antara lain adalah menjaga ketertiban. Peraturan pelaksanaan memang idealnya menjalankan amanah peraturan yg lbh tggi dan tdk membatasi.