KEBIJAKAN PAJAK

Mencegah Pajak Berganda dalam Pemungutan PPN/GST

Hamida Amri Safarina | Rabu, 02 September 2020 | 11:03 WIB
Mencegah Pajak Berganda dalam Pemungutan PPN/GST

PAJAK berbasis konsumsi, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak barang dan jasa (GST), sangat berperan besar dalam menambah penerimaan di berbagai negara.

Meskipun PPN/GST berkontribusi cukup besar dalam penerimaan negara, masih banyak permasalahan pajak berganda yang timbul atas jenis pajak tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta masyarakat internasional untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul.

Dalam buku yang berjudul A VAT/GST Model Convention, Thomas Ecker menjelaskan fenomena persoalan pajak berganda terkait pemungutan PPN/GST dan solusi perbaikannya secara runtut dan komprehensif.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Buku yang dirilis pada 2012 oleh IBFD ini terdiri atas tiga bagian utama yang menjadi sorotan, yakni persoalan pajak berganda dalam PPN/GST dan solusi perbaikannya, prinsip dasar pemungutan PPN/GST, serta kriteria desain, perumusan, dan evaluasi kebijakan PPN/GST.

Secara historis, penulis menjelaskan pajak konsumsi telah ada dan diterapkan di banyak negara kurang lebih selama enam puluh tahun. Desain teoretis pertama terkait pajak konsumsi ini dibuat oleh Wilhelm von Siemens, seorang ekonom asal Jerman pada 1919.

Mengenai persoalan pajak berganda, otoritas pajak berbagai negara memang belum terlalu menganggapnya serius. Namun, persepsi tersebut berubah karena dipicu dua hal, yaitu perkembangan kebijakan pemungutan PPN/GST dan maraknya perdagangan barang dan jasa lintas yurisdiksi.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Dengan demikian, kepentingan untuk pemungutan PPN/GST secara optimal semakin besar. Apalagi, di saat suatu negara mengalami krisis dan berupaya meningkatkan kebutuhan penerimaan negara, kebutuhan pemungutan PPN/GST semakin mendesak.

Penulis mengartikan pajak berganda sebagai suatu situasi ketika dua negara memungut PPN/GST atas suatu barang atau jasa yang sama. Definisi tersebut tidak mencakup pajak berganda secara ekonomis. Sementara itu, definisi pajak berganda menurut OECD dibedakan menjadi dua, yakni dilihat secara yuridis dan ekonomi.

Pajak berganda secara yuridis ialah pengenaan pajak atas barang atau jasa yang sama oleh dua negara tertentu. Sementara itu, pajak berganda secara ekonomis diartikan sebagai pemajakan atas barang atau jasa sama yang diperoleh oleh dua subjek pajak berbeda dalam periode yang sama.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Secara konseptual, pajak berganda atas PPN dan GST seharusnya tidak terjadi, bahkan dalam hal perdagangan lintas yurisdiksi. Sebab, konsep terutangnya PPN dan GST sudah jelas, yakni dipungut pada konsumen terakhir atau menganut prinsip destinasi. Namun, dalam praktiknya tidak semua negara memungut PPN dan GST berdasarkan prinsip destinasi.

Persoalan pemungutan pajak berganda muncul ketika adanya perbedaan prinsip pemungutan. Jika prinsip destinasi digunakan oleh negara-negara sebagaimana seharusnya maka netralitas juga akan tercapai dan tidak menimbulkan pemajakan berganda lagi.

Untuk mencegah dan menanggulangi pajak berganda maka dibutuhkan kebijakan pemungutan PPN/GST yang berdasarkan prinsip-prinsip dasar. Adapun prinsip yang dimaksud seperti prinsip netralitas, prinsip manfaat, efisiensi, kepastian, dan lainnya.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selain itu, perlu dicatat, harmonisasi peraturan tiap negara juga akan mendorong mengurangi risiko pajak berganda sehingga perdagangan lintas yurisdiksi juga bisa berjalan dengan baik. Harmonisasi peraturan tersebut dapat dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral melalui suatu perjanjian.

Pembentukan perjanjian internasional yang dimaksud misalnya dapat diinisiasi oleh OECD dan negara-negara anggotanya. Namun, tidak terbatas pada negara lain yang bukan anggota OECD. Lebih lanjut, Ecker juga menjelaskan cakupan, ruang lingkup, dan hal-hal lain yang penting untuk diatur dalam suatu perjanjian bilateral maupun multilateral dalam pemungutan PPN/GST.

Beberapa rekomendasi kebijakan yang disampaikan penulis dalam buku ini sudah diimplementasikan dan dituangkan melalui suatu pedoman atau kesepakatan oleh negara-negara. Misalnya, pada 2017, OECD telah merilis pedoman baru terkait pengenaan PPN/GST atas perdagangan internasional.

Buku ini layak dibaca oleh berbagai praktisi, pembuat kebijakan, serta para akademisi dan peneliti. Tertarik membaca buku ini? Silakan datang ke DDTC Library!*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra