Galih Ardin
,SUDAH lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Berdasarkan pada data yang dihimpun dari Satgas Penanggulangan Covid 19 (2021), jumlah masyarakat Indonesia yang terinveksi virus covid 19 terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Pada pertengahan Juli 2021, jumlah masyarakat yang dilaporkan terinfeksi lebih dari 2,1 juta jiwa. Tingginya penularan wabah Covid-19 tersebut membuat sejumlah fasilitas kesehatan mengalami ‘kelumpuhan’.
Sayangnya, pandemi global tersebut tidak hanya menghantam sistem kesehatan. Pembatasan aktivitas ekonomi masyarakat, penurunan permintaan dan penawaran agregat, serta pengurangan aktivitas ekspor-impor membuat pertumbuhan ekonomi terkontraksi.
Tahun lalu, perekonomian Indonesia terkontraksi hingga 2,07%. Resesi tidak terhindarkan. Perlahan, pertumbuhan ekonomi membaik hingga pada kuartal II/2021 mampu berbalik positif 7,07%. World Bank optimistis perekonomian Indonesi pada tahun ini dapat menyentuh 5,0%.
Namun, kondisi perekonomian Indonesia bak api dalam sekam. Artinya, pemulihan ekonomi di Indonesia masih dibayangi ketidakpastian dan resesi yang lebih dalam. Masuknya varian Delta telah membuat pemerintah bekerja lebih keras untuk menurunkan angka penularan yang melonjak signifikan.
Pada saat yang bersamaan, berbagai daya dan upaya pun telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak aktivitas ekonomi, termasuk melalui kebijakan insentif perpajakan. Namun, kebijakan yang terangkum dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tersebut belum menjamah perpajakan daerah.
Akibatnya, kebijakan perpajakan daerah sering kali tumpang tindih dengan kebijakan nasional. Padahal, kalau dikelola dengan baik, kebijakan perpajakan daerah dapat menjadi ujung tombak upaya penanggulangan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Pada dasarnya, kebijakan pajak dan retribusi daerah telah diatur dalam PP 10/2021. Sesuai dengan beleid tersebut, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk mengevaluasi dan menyesuaikan tarif pajak dan retribusi daerah guna mendukung program strategis nasional.
Berdasarkan pada hal tersebut, agar kebijakan perpajakan dan retribusi daerah inline dengan kebijakan pemerintah pusat dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, ada beberapa beberapa Langkah yang dapat diambil.
Pertama, pemberian insentif pajak dan retribusi daerah atas sektor yang terdampak pandemi. Sebagaimana kita ketahui, salah satu sektor yang terdampak adalah makanan, minuman dan penyediaan akomodasi yang pengelolaan pajaknya berada di tangan pemerintah daerah.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2020, sector tersebut mengalami kontraksi 4,56%. Untuk meringankan dampak tersebut, pemerintah daerah dapat memberikan insentif berupa penurunan tarif pajak restoran dan pajak hotel yang selama ini menjadi kewanangannya.
Namun demikian, perlu diingat, pemberian insentif tersebut harus bersifat timely, targeted, dan temporary. Artinya, insentif tersebut hanya diberikan kepada usaha restoran atau hotel yang menerapkan protokol Kesehatan dengan baik dan memenuhi kriteria cleanliness, health, safety dan environment (CHSE) dalam jangka waktu tertentu.
Kebijakan tersebut akan mendorong pengusaha untuk berlomba-lomba menerapkan protokol Kesehatan yang baik. Pada saat bersamaan, kebijakan ini akan mendorong konsumen untuk memilih restoran, hotel, serta tempat akomodasi lainnya yang menerapkan CHSE.
Kedua, penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah atas kegiatan yang berpotensi meningkatkan penularan wabah Covid-19. Pada masa pandemi seperti saat ini, keinginan masyarakat untuk melakukan aktivitas wisata tentu sangat besar. Namun, peningkatan kegiatan pariwisata tanpa dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat akan berimbas pada naiknya penularan virus tersebut.
Oleh karena itu, sepanjang belum mampu menerapkan dan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan, pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian tarif retribusi tempat wisata dan kegiatan hiburan sebagai bagian dari mitigasi penularan virus Covid-19.
Ketiga, pemberian insentif penurunan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) bagi tenaga kesehatan dan wajib pajak terdampak pandemi. Dalam kacamata teori mikroekonomi, pemberian insentif perpajakan akan memunculkan income effect dan substitution effect.
Sepanjang objek tanah dan bangunan tidak elastis terhadap perubahan harga, penurunan tarif PBB akan memberikan income effect yang lebih besar bagi penerimanya, yaitu wajib pajak terdampak pandemi dan tenaga kesehatan yang berjuang melawan Covid-19.
Apabila ketiga langkah tersebut dilakukan secara konsisten dan serentak seluruh pemerintah daerah, dampak positif yang didapat bukan hanya pencegahan penularan wabah Covid-19. Dampak lainnya adalah roda perekonomian bisa bergerak secara berkesinambungan dalam jangka menengah.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.