KEBIJAKAN PAJAK

Menanti Organisasi DJP yang Gesit Menghadapi Perubahan

Rabu, 30 September 2020 | 14:14 WIB
Menanti Organisasi DJP yang Gesit Menghadapi Perubahan

Danu Febrantara,
DDTC Fiscal Research.

MENGUTIP pernyataan Bill Gates, “Success today requires the agility and drive to constantly rethink, reinvigorate, react and reinvent.” Artinya, organisasi bisa dikatakan berhasil apabila mampu beradaptasi dalam perkembangan lanskap ekonomi dan bisnis.

Prinsip yang sama juga berlaku dalam konteks administrasi pajak. Sejak tahun lalu, kinerja ekonomi dan penerimaan pajak memberikan sinyal perlambatan. Namun, siapa menyangka akan muncul faktor tak terduga, yaitu Covid-19.

Meski pemerintah telah beberapa kali merevisi target penerimaan pajak, shortfall pajak agaknya sulit dihindari. Per 31 Agustus 2020, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 56,5% dari target Perpres 72/2020. Mayoritas jenis pajak tercatat mengalami perlambatan penerimaan.

Dalam jangka pendek, pemerintah sigap memitigasi dampak pandemi melalui berbagai insentif pajak seperti restitusi dipercepat PPN, insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 impor, insentif PPh Pasal 21, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan lain sebagainya.

Pada jangka menengah, Ditjen Pajak (DJP) juga membutuhkan karakter organisasi yang gesit dan cekatan dalam mengantisipasi berbagai ketidakpastian yang masih membayangi. Utamanya, dalam perannya untuk menyeimbangkan fungsi pajak yang bersifat budgeter dan regulerend. Sebab, belum ada yang tahu pasti seberapa lama dan dalam dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi ini (Darussalam, 2020).

Untuk memiliki karakter tersebut dalam organisasi, DJP sudah menyusun strategi mewujudkan administrasi pajak yang agile sebagaimana disebutkan dalam Renstra DJP 2020 – 2024. Dalam dokumen tersebut, terdapat beberapa objektif yang ingin dicapai DJP, salah satunya adalah birokrasi dan layanan publik yang agile, efektif, dan efisien.

Memaknai Agile
LANTAS, apa yang dimaksud dengan agile dalam konteks administrasi pajak?

Mengacu pada definisi Cambridge Dictionary, agile merupakan suatu kata sifat dan berasal dari kata latin agilis, yang apabila dilihat dari segi fisik memiliki arti ‘bergerak secara cepat dan mudah’.

Dilihat dari segi mental, agile memiliki arti ‘berpikir secara cepat dan jernih’. Lebih lanjut lagi, dari sudut pandang manajemen, agile memiliki arti ‘suatu metode perencanaan dan pengerjaan dengan melakukan perubahan/penyesuaian ketika dibutuhkan’.

Dalam konteks pajak, transformasi proses bisnis dan penggunaan teknologi yang massif—khususnya di masa pandemic—membutuhkan adanya ‘perubahan dan penyesuaian’ (World Bank, 2020).

Selain itu, keterbatasan sumber daya dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian memaksa adanya kelenturan organisasi agar dapat mengimbangi dengan respons dengan cepat. Berbagai upaya untuk menghadapi berbagai perubahan tentunya membutuhkan perencanaan, tata kelola, serta kepemimpinan yang matang (Wright, 2018).

Pendekatan agile umumnya diterapkan oleh banyak perusahaan digital dalam rangka memitigasi transformasi teknologi agar tetap efektif dan efisien (Parcell & Holden, 2013). Pendekatan ini mengedepankan pemikiran yang inovatif atas kondisi penuh ketidakpastian, serta terbuka terhadap segala kritik dan masukan (Ries, 2011).

Gesit Melayani Wajib Pajak
LALU, bagaimana memaknai strategi mewujudkan organisasi DJP yang agile sesuai dengan Renstra DJP 2020–2024?

Pertama, kemudahan dan pendekatan perlakuan pajak yang terus mengikuti perkembangan kebutuhan wajib pajak. Sebagaimana diketahui, masa pandemi menimbulkan dampak negatif bagi para pelaku usaha.

Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 82,29% Usaha Menengah Besar (UMB) dan 84,20% Usaha Mikro Kecil (UMK) mengalami penurunan pendapatan.

Melihat hal ini, extra effort melalui pemeriksaan yang terlalu agresif justru dapat menjadi kontraproduktif. Sebaiknya, intensitas pemeriksaan perlu memperhatikan aspek keberlangsungan aktivitas ekonomi wajib pajak, baik fase selama maupun pascaresesi (IMF, 2020). Tanpa penyesuaian pendekatan, extra effort tersebut justru berpotensi mengurangi ketahanan basis pajak jangka panjang.

Perlakuan pajak berbasis risiko, sebagaimana telah dicanangkan pemerintah melalui compliance risk management (CRM), hendaknya dijadikan pegangan ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan strategi kepatuhan berbasis wilayah dan kelompok yang telah dimulai dalam rangka mempermudah ‘ruang gerak’ masing-masing unit kerja DJP. Upaya ini bisa membentuk kepercayaan sebagai modal dasar tax morale yang lebih baik.

Kedua, perlu adanya percepatan integrasi data perpajakan. Diharapkan, percepatan integrasi data tersebut dapat memperkaya basis data sekaligus menjalankan fungsi ekstensifikasi di tengah tekanan ekonomi.

Di saat yang serba tidak pasti, proses pengambilan keputusan yang ‘cepat dan jernih’ tentu dibutuhkan mengingat berbagai aspek prosedural administrasi pajak yang biasanya dapat dijalankan secara optimal di kondisi normal cenderung menjadi kurang feasible dan tidak efisien saat pandemi. Oleh karena itu, manajemen integrasi data dengan pihak eksternal hendaknya terus dilanjutkan untuk meningkatkan kualitas administrasi pajak.

Ketiga, perlunya fleksibilitas dan objektivitas penentuan insentif kebijakan pajak. Di tengah pandemi, terdapat banyak permintaan dan wacana berbagai bentuk insentif pajak.

Dengan memperhatikan konteks kebutuhan ekonomi, ada baiknya setiap insentif disusun sesuai dengan fase perkembangan ekonomi sejak mitigasi risiko, pemulihan, hingga penguatan dan stabilisasi ekonomi (Collier et al., 2020). Selain itu, dalam rangka mempertajam perumusan dan implementasi berbagai insentif pajak tersebut, proses bisnis yang efisien dan efektif jelas diperlukan.

Keempat, perlunya memperkuat tatanan operasional sistem administrasi pajak. Studi yang dilakukan oleh Chang et al. (2020) menunjukkan sistem administrasi pajak yang kuat dapat turut meningkatkan penerimaan pajak.

Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu memfokuskan pada aspek-aspek digitalisasi, perluasan basis data, peningkatan sumber daya aparatur, serta implementasi manajemen risiko kepatuhan (CRM) yang efektif dan efisien.

Penguatan operasional sistem administrasi pajak sangat berperan dalam mendorong ketahanan fiskal jangka menengah-panjang di periode setelah masa mitigasi pandemi. Strategi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dan menjaga keberlangsungan fiskal melalui peningkatan mobilisasi pendapatan.

Pada akhirnya, karakter DJP yang gesit dan cekatan tidak hanya akan mendukung proses pemungutan pajak, tetapi juga berorientasi bagi kebutuhan wajib pajak. Jika dioptimalkan, niscaya terbentuk optimisme dan persepsi bahwa pajak selalu hadir bagi masyarakat.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 13:11 WIB KONSULTASI CORETAX

Coretax Berlaku Nanti, Masih Bisa Minta Dokumen Dikirim Secara Fisik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 09:30 WIB LAYANAN PAJAK

Butuh Layanan Pajak? Cek Lagi Jadwal Libur Natal dan Tahun Baru KPP

BERITA PILIHAN