Alek Karci Kurniawan
,SEBAGAI salah satu negara dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention On Climate Change), Indonesia berkomitmen menjadi bagian dari solusi atas perubahan iklim global, dan pada saat bersamaan tetap melaksanakan pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Indonesia aktif dalam perjanjian internasional perubahan iklim (Perjanjian Paris). Komitmen RI dalam Perjanjian Paris ada pada dua skenario: Counter Measure 1 (CM1) 29% untuk upaya sendiri dan CM2 41% dengan bantuan internasioal, dengan target penurunan greenhouse gas emission (GgCO2e) hingga 2030.
Pada 2018, Indonesia telah menurunkan emisi karbon 8,7% dari target CM1. Angka itu merupakan hasil pelaporan kegiatan inventarisasi GRK Nasional, serta Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan MRV Nasional 2017.
Hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi pada 2016 sebesar 1.514.949,8 GgCO2e, meningkat 507.219 GgCO2e dibandingkan dengan tingkat emisi 2000, atau mengalami 2,9% per tahun selama periode 2000-2016.
Adapun kontribusi penurunan emisi secara nasional pada 2016 adalah 8,7% dari target penurunan emisi 29% dari CM1. Kontribusi itu berasal dari sektor energi 3,28%; sektor industri dan penggunaan produk 0,23%; sektor kehutanan 4,71%; sektor pertanian 0,1%; dan sektor limbah 0,57%.
Dari berbagai capaian tersebut terlihat, masih diperlukan usaha yang lebih besar di seluruh sektor untuk dapat memenuhi target yang telah ditetapkan dalam skenario CM1 dan CM2 sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris.
Sektor energi dan kehutanan memiliki porsi terbesar dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Penurunan emisi dari sektor energi ditargetkan 11% (CM1). Hasil penurunan 3,28% sejauh ini tentu belum melewati sepertiga dari target.
Karena itu, pencapaian Indonesia dalam upaya menghadapi tantangan perubahan iklim ini harus ditingkatkan. Penerapan pajak karbon ialah salah satu upaya yang belum dicoba dan layak ditempuh oleh Indonesia untuk menurunkan emisi dari sektor energi ini.
Tiga Alasan
ADA beberapa alasan kuat untuk menerapkan pajak karbon. Pertama, secara teori, pajak karbon adalah jenis Pigovian Tax yang membantu mengatasi masalah penghasil emisi GRK yang tidak menghadapi biaya sosial penuh dari tindakan mereka (Helm, 2005).
Pada dasarnya terdapat tingkat produksi dan konsumsi yang sangat tinggi yang tidak diinginkan dari energi kotor. Sementara itu, pada harga yang dibebankan untuk barang tersebut tidak mencerminkan biaya sosial sebenarnya. Karena itu, intervensi pemerintah dapat dibenarkan.
Salah satu intervensi yang mungkin adalah pajak yang menaikkan harga barang dari kegiatan itu, dan dengan demikian menurunkan konsumsinya. Pajak karbon adalah cara praktis untuk meminta konsumen dan produsen memperhitungkan biaya sosial dari polusi yang meningkatkan GRK.
Kedua, selama 30 tahun (1985-2017), batu bara, minyak, dan gas bumi masih mendominasi dengan grafik yang meningkat sebagai sumber energi Indonesia. Padahal, negeri ini memiliki potensi energi bersih yang melimpah, seperti panas bumi, ladang angin, dan sinar matahari.
Ketiga, secara komparatif, negara-negara yang lebih rendah emisi karbon per kapitanya dari Indonesia seperti India dan Afrika Selatan telah memakai skema pajak karbon untuk meredam emisi. Akan timbul pertanyaan mengapa Indonesia dengan emisi karbon lebih tinggi tidak memakai upaya itu?
Afrika Selatan sejak 1 Juni 2019 telah menerapkan pajak karbon senilai US$8,34 per ton. Sementara India lebih awal lagi, sejak 2010 telah menerapkan pajak karbon nasional senilai US$1,07 per ton untuk batu bara yang diproduksi dan dimpor ke dalam negeri.
India, dengan penduduk 5 kali lipat dari Indonesia, memiliki emisi per kapita yang 4 kali lipat lebih rendah. Menurut data BP, EDGAR, Postdam, dan Bank Dunia, emisi karbon Indonesia 9.2 ton CO2e per kapita, sedangkan India 2.7 ton CO2e per kapita.
Dalam catatan Gilbert Metcalf dari Tufts University ·(2019), selama 25 tahun terakhir telah ada lebih dari 25 sistem pajak karbon nasional atau subnasional yang diimplementasikan atau dijadwalkan untuk diterapkan di seluruh dunia.
Tarif pajak yang diterapkan untuk kegiatan yang menghasilkan satu ton CO2 sangat bervariasi di berbagai negara. Dari yang relatif rendah dengan US$1 per ton karbon dioksida seperti India, hingga relatif tinggi seperti US$139 per ton di Swedia.
Kebijakan pajak karbon ini tidak akan mudah diterima, bahkan di negara maju. Di Alberta, salah satu provinsi di Kanada, kebijakan pajak karbon mengalami pasang surut. Penolakan muncul dari industri minyak mentah. Terlebih Kanada menerapkan tarif yang naik signifikan setiap tahun.
Untuk memulainya, tarif yang layak mesti disesuaikan dengan kondisi ekonomi nasional masing-masing. Dalam konteks nasional, Indonesia bisa memakai tarif dibawah harga karbon di pasar internasional―yang berkisar US$5-US$40 per ton karbon.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.