Harlinda Siska Pradini
,BEBERAPA waktu yang lalu, salah satu pengusaha terkemuka di Indonesia menyampaikan secara langsung kepada menteri keuangan bahwa pebisnis kelas kakap dengan harta triliunan rupiah belum tersentuh pajak.
Pernyataan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar, “Mengapa orang tajir di negeri ini belum taat membayar pajak?”
Padahal, dalam buku Wealth of Nations, Adam Smith menyampaikan asas keadilan, yakni pengenaan pajak linier dengan kemampuan pembayaran. Berpijak pada asas ini, masyarakat berpenghasilan tinggi seharusnya membayar pajak lebih besar daripada masyarakat berpenghasilan rendah.
Jika kondisi yang disampaikan pengusaha tadi terus terjadi, melesatnya akumulasi kekayaan masyarakat kelas atas pada akhirnya dapat memperlebar jurang ketimpangan di antara masyarakat Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 menunjukkan ketimpangan pengeluara, yang diukur dengan rasio gini, tercatat sebesar 0,384. Capaian itu mengalami kenaikan sebesar 0,003 dibandingkan dengan performa pada September 2021.
Masalah ketimpangan itu jelas membutuhkan penyelesaian. Pajak menjadi salah satu instrumen penting karena mempunyai fungsi redistribusi pendapatan. Oleh karena itu, optimalisasi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi kaya menjadi langkah strategis.
Salah satu upaya dalam menunjang keberhasilan penerimaan pajak tersebut adalah pengawasan high net worth individuals (HNWI). Saat ini, DJP juga sudah memberikan perhatian khusus terhadap pengawasan kepatuhan wajib pajak (WP) HNWI.
Agar pengawasan optimal, otoritas perlu memahami karakteristik HNWI. OECD pada 2019 mengemukakan HNWI mempunyai karakteristik seperti kompleksitas urusan bisnis, jumlah pajak yang dibayarkan, risiko perencanaan pajak yang agresif, serta pengaruh kuat terhadap integritas sistem perpajakan secara keseluruhan.
Dengan karakteristik tersebut, perluasan data sebagai sumber informasi bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berperan krusial. Ketersediaan data diperlukan sebagai trigger pengawasan, pengujian, pembanding, dan pembuktian patuh atau tidaknya wajib pajak.
Adapun sumber informasi DJP dapat berasal dari data instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP), automatic exchange of information (AEoI), serta penyampaian informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP).
Terkait dengan IDLP, pelaksanaannya diatur dalam PER-18/PJ/2014. Melalui IDLP, masyarakat dapat menyampaikan informasi, data, laporan maupun pengaduan atas pihak-pihak yang diindikasikan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
SEBAGAI ikhtiar peningkatan kepatuhan WP HNWI, peran serta masyarakat terkait dengan keterbukaan informasi juga dapat diperluas. Peran yang dimaksud tidak hanya sebagai informan, tetapi juga pengawas kepatuhan pajak itu sendiri.
Kita bisa mengambil contoh penerapan di Norwegia. Di negara ini, keterbukaan terhadap publik atas informasi perpajakan diperbolehkan untuk memastikan kepatuhan pajak yang lebih baik dan mendesain sistem perpajakan lebih transparan.
Norwegia memberikan akses dengan beberapa batasan kepada warganya untuk melakukan pencarian Internet atas penghasilan kena pajak, pajak kekayaan, serta liabilitas pajak yang dideklarasikan oleh warga Norwegia lainnya.
Dengan memasukkan data identitas tertentu pada situs web otoritas pajak Norwegia (Skatteetaten), masyarakat dapat menjawab rasa ingin tahu, melakukan perbandingan sosial dan kesejahteraan, serta memeriksa kejujuran orang lain terhadap otoritas pajak (Reck et al., 2022).
Setiap warga negara berhak melihat dan mengawasi informasi pajak orang lain di negara Skandinavia tersebut. Kelaziman atas keterbukaan informasi tersebut membuat masyarakat Norwegia lebih jujur dalam melaporkan penghasilannya.
Transparasi atas sistem informasi tersebut juga dipublikasikan oleh media massa dengan menyampaikan daftar top 10 penghasilan tertinggi dan pajak yang dibayarkan oleh para elite politik, selebritas, olahragawan, atau tokoh masyarakat (Media Indonesia, 2016).
Pengawasan yang dilakukan fiskus dan orang-orang sekitar diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Masyarakat tidak hanya melihat data perpajakan, tetapi juga dapat menyampaikan informasi apabila menemukan ketidakbenaran atau ketidakjujuran atas laporan pajak.
Koneksi antara pencarian informasi dan aktivitas whistleblowing dapat terjadi tergantung pada hal yang telah dipelajari dan pencarian yang diketahui (Reck et al., 2022).
Bagaimanapun, lingkungan sekitar dapat menjadi salah satu sumber informasi yang dapat diandalkan. Lingkungan sosial, baik dalam kehidupan bermasyarakat, bekerja, berpolitik, berbisnis, maupun berorganisasi tentu lebih mengetahui gaya hidup, pola konsumsi, ragam penghasilan, investasi, dan aset dari para WP HNWI.
Pengungkapan informasi pajak pada khalayak umum juga dapat dikorelasikan dengan isu tanggung jawab sosial, nasionalisme, dan gotong royong. Apalagi, WP HNWI memiliki sumber daya ekonomi yang lebih baik.
Laporan Credit Suisse bertajuk Global Wealth Report 2021 menyebutkan bahwa 171.700 orang Indonesia atau setara dengan 0,1% dari jumlah populasi memiliki kekayaan bersih di atas Rp14,5 miliar pada 2020 (Jayani, 2021).
Penilaian atas kepatuhan pajak dari para konglomerat, baik dari kalangan pebisnis, artis, politisi, pejabat, ahli atau pakar, maupun tokoh masyarakat akan mendorong WP HNWI menjaga citra positif dan legitimasinya di mata publik.
Peran media dapat dilibatkan dalam menyebarluaskan informasi perpajakan. Media cetak dan elektronik dapat mempublikasikan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Data tersebut dapat dikorelasikan dengan penghasilan yang disampaikan dan data orang terkaya di Indonesia.
Pemberian penghargaan bagi mereka yang patuh dan pengenaan sanksi sosial bagi mereka yang tidak patuh diharapkan dapat meningkatkan ketaatan WP HNWI pada masa depan.
Selain itu, sejalan dengan reformasi pajak, DJP sedang menuju organisasi berbasis data (data driven organization). Dengan demikian, pasokan data diperlukan untuk meningkatkan akurasi pengambilan keputusan.
Akses data dari institusi formal dapat diperkuat dengan sumber data informal dari masyarakat. Penggunaan teknologi atau aplikasi dalam rangka keterbukaan publik atas informasi perpajakan dan penyampaian feedback juga dibutuhkan. Hal ini untuk meningkatkan partisipasi publik.
Dalam implementasinya, DJP perlu menyusun daftar (list) informasi pajak yang boleh diakses oleh publik. Selain itu, DJP juga perlu membuat format dan kriteria penyampaian informasi dari masyarakat untuk menjamin keakuratan dan validitas data.
Upaya lain yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan WP HNWI, yaitu kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan optimalisasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk menelusuri aktivitas ekonomi wajib pajak.
Kolaborasi dengan PPATK dan penggunaan NIK yang dikombinasikan dengan partisipasi publik akan makin mempersempit ruang gerak ketidakpatuhan WP HNWI. Pada akhirnya, diharapkan tidak ada lagi dusta di antara wajib pajak dan otoritas pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.