SENGKETA transfer pricing pada umumnya disebabkan oleh adanya perbedaan perspektif antara wajib pajak dan otoritas pajak terkait fakta dan kondisi transaksi afiliasi wajib pajak. Beberapa contoh perbedaan perspektif tersebut antara lain perbedaan dalam pengkarakterisasian wajib pajak sebagai entitas dengan fungsi rutin atau non-rutin (entrepreneur) dan perbedaan dalam penentuan tingkat kesebandingan antara transaksi afiliasi dan transaksi independen (Heidecke dan Slagter, 2018).
Perbedaan perspektif tersebut dapat menimbulkan sengketa pajak skala domestik hingga skala internasional. Dalam hal sengketa pajak telah diputuskan, terdapat dua aspek kerugian yang mungkin ditanggung oleh wajib pajak, yaitu kerugian yang bersifat material maupun non-material.
Kerugian dari aspek material dapat berupa pemajakan atas penghasilan yang seharusnya tidak terutang pajak ataupun pemajakan berganda. Di sisi lain, kerugian dari aspek non-material dapat berupa wajib pajak menjadi dianggap tidak patuh atau melakukan perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning) sehingga menyebabkan reputasi wajib pajak menjadi kurang baik. Selain itu, wajib pajak tentu harus menghabiskan waktu penyelesaian sengketa dengan durasi yang cukup lama.
Dalam hal ini, terdapat beberapa alternatif penyelesaian sengketa, seperti identifikasi dan penyelesaian masalah pajak sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) disampaikan, penerapan advance ruling maupun advance pricing agreement (APA) dan pembentukan lembaga mediasi dalam rangka meminimalkan dan menyelesaikan sengketa di tahap awal (Darussalam, 2016).
APA sendiri merupakan suatu kesepakatan tertulis yang dapat bersifat unilateral, bilateral, dan multilateral antara otoritas pajak dengan wajib pajak atau otoritas pajak dengan otoritas pajak mitra tentang kriteria-kriteria dan/atau faktor-faktor penentuan harga wajar atau laba wajar di awal (PMK No.7/PMK.03/2015). Artinya, melalui kesepakatan APA wajib pajak dan otoritas pajak diharapkan memiliki perspektif yang sama tentang kondisi bisnis wajib pajak, value driver wajib pajak, dan pendekatan/pemilihan metode yang paling sesuai untuk menganalisis kewajaran transaksi afiliasi wajib pajak.
Contoh dari kriteria-kriteria yang disepakati dalam APA antara lain pemilihan metode transfer pricing yang paling sesuai untuk transaksi wajib pajak, asumsi dalam pencarian pembanding serta penyesuaian yang harus dilakukan, dan asumsi kritis terkait kondisi wajib pajak yang mungkin terjadi di masa depan (OECD TPG, 2017).
Sepanjang wajib pajak mematuhi kriteria-kriteria yang telah disepakati dalam APA maka wajib pajak tersebut mungkin dapat terhindar dari sengketa pajak. Namun, apabila wajib pajak tidak mematuhi kriteria-kriteria yang disepakati maka terdapat kemungkinan otoritas pajak akan membatalkan kesepakatan APA dan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak hingga dapat berujung pada terciptanya sengketa pajak.
Tercapainya APA merupakan suatu hasil dari aksi sukarela wajib pajak untuk mengungkapkan data dan informasi tentang kegiatan usaha wajib pajak, rencana usaha wajib pajak, struktur perusahaan, pemegang saham, dan seluruh asumsi kebijakan penetapan harga terkait dengan transaksi afiliasinya. Dengan demikian, pengajuan APA secara tidak langsung mengindikasikan keinginan wajib pajak untuk patuh terhadap peraturan tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Periode penerapan APA di Indonesia dapat diberikan paling lama tiga tahun pajak untuk kesepakatan unlilateral atau paling lama empat tahun untuk APA yang bersifat bilateral.
Selain menunjukkan intensi wajib pajak untuk patuh secara sukarela, APA diharapkan dapat memberikan suatu kepastian bagi wajib pajak dan otoritas pajak untuk meminimalkan sengketa pajak dan risiko pemeriksaan transfer pricing di masa depan (Zahra Mulachella, 2018).
Salah satu negara yang tergolong sukses menerapkan aturan tentang APA adalah India. Di india, aturan tentang APA diterbitkan dan mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Juli 2012. Dalam aturan tersebut, periode penerapan APA atas transaksi cross-border dapat berlaku paling lama lima tahun (Departemen Pajak Penghasilan India, dalam Zahra Mulachella).
Selama lima tahun aturan berlaku, total pengajuan permohonan APA di India telah menembus angka 800, di mana 85% diantaranya adalah permohonan atas APA Unilateral. Total APA yang telah disepakati di India hingga 31 Maret 2017 sebanyak 152 perjanjian. Karakteristik perusahaan yang mengajukan permohonan APA di India adalah perusahaan yang bergerak di sektor trading. Adapun metode yang paling banyak digunakan adalah Transactional Net Margin Method (TNMM).
Berdasarkan aturan tersebut, terdapat beberapa poin perubahan dari aturan sebelumnya yaitu penggunaan rentang kewajaran, penggunaan multiple year analysis, definisi pihak yang memiliki hubungan istimewa, konseplocation savings (termasuk market premium), dan ketentuan safe harbour untuk wajib pajak tertentu.
Faktor kesuksesan penerapan APA di India adalah ketersediaan aturan yang jelas dan lengkap serta adanya komitmen dari pemerintah India untuk mengurangi sengketa pajak. Sejalan dengan itu, aturan dan komitmen pemerintah ini ditanggapi positif oleh wajib pajak yang juga ingin menghindari terjadinya sengketa atau dengan kata lain memilih untuk patuh secara sukarela.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.