URUSAN perpajakan seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Tidak heran memang, mengingat pajak memiliki sifat memaksa dan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap warga negara.
Pandangan ini menjadikan pajak sebagai 'beban' yang merepotkan, apalagi semenjak pemerintah mengubah sistem pelaksanaan pemungutan pajak Indonesia yang sebelumnya berbentuk sistem official assesment menjadi sistem self assesment pada tahun 1984.
Penerapan sistem self assesment mengharuskan masyarakat sebagai wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya secara aktif, mulai dari mendaftarkan diri, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya kepada kantor pajak. Sistem ini juga menuntut masyarakat untuk secara aktif belajar atau mengetahui isi dan maksud suatu peraturan perpajakan dalam rangka untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik.
Meskipun sistem self assesment ini didukung dengan adanya Account Representative (AR) yang mengemban tugas intensifikasi perpajakan melalui pemberian bimbingan dan imbauan, konsultasi, analisis dan pengawasan terhadap wajib pajak, namun hal itu tidak menjadi kepatuhan pajak dapat berjalan. Apalagi dengan jumlah AR di Indonesia saat ini sangat terbatas.
Berdasarkan data yang dihimpun, satu orang AR dalam KPP Pratama dapat menangani 800 wajib pajak dan jumlah AR tiap KPP Pratama rata-rata hanya 40 orang. Padahal, sebelumnya, mantan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Mekar Satria Utama menyatakan idealnya satu KPP Pratmaa harus ditangani oleh 60 AR.
Selain itu, banyaknya kasus korupsi pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu semakin membuat orientasi masyarakat tentang pajak tidak akan jauh dari tiga hal berikut ini, yaitu pajak berarti korupsi, pajak berarti merebut atau mengurangi pendapatan masyarakat, pajak berarti beban.
Padahl, pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang cukup besar, yang berkontribusi lebih dari 75% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahunnya.Permasalahannya adalah penerimaan negara dari pajak cenderung mengalami penurunan. Hal ini terbukti dari data realisasi penerimaan negara dalam beberapa tahun belakangan yang masih di bawah target..
Penurunan penerimaan pajak Indonesia tentunya disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ketentuan dan tata cara perpajakan Indonesia. Ketidakpahaman tersebut yang menjadikan masyarakat Indonesia memilih untuk tidak membayar pajak.
Mereka beranggapan bahwa membayar pajak dengan sistem self assesment akan menyulitkan atau tidak ingin membayar pajak karena takut disalahgunakan lagi oleh kalangan tertentu.Salah satu contoh kasus yang menjadi bukti nyata kurangnya pemahaman masyarakat tentang pajak adalah kasus dari penulis kondang, Tere Liye, yang baru-baru ini mengeluarkan pernyataan resmi dari berbagai akun media sosial yang dimilikinya.
Tere Liye dikabarkan akan berhenti mempublikasikan buku-bukunya dalam bentuk cetak dikarenakan mahalnya pajak yang harus dikeluarkan. Berdasarkan perhitungannya, pajak yang dibayarkan penulis berlipat-lipat ganda dibandingkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Ia sempat mengeluhkan permasalahannya kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), namun Tere Liye mengaku layanan otoritas pajak tidak menanggapi keluhan yang dilontarkannya sejak satu tahun lalu. Aturan tentang pajak penulis tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 dengan tarif pajak 15% dari royalti dan bisa dikreditkan.
Untuk meningkatkan edukasi perpajakan, DJP memang sudah membuat program yang berskala nasional bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang bertajuk Pajak Bertutur.
Program tersebut dilakukan dengan menurunkan tim yang secara serempak melakukan kegiatan mengajar dengan materi edukasi kesadaran pajak selama satu jam latihan pada siswa sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Program eduaksi pajak ini patut di apresiasi. Hanya saja, program Pajak Bertutur tersebut tidak dapat menjangkau seluruh sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia, terlebih lagi masyarakat luas. Sehingga keluhan-keluhan seperti yang dialami oleh Tere Liye tersebut akan terus terjadi.
Keluhan-keluahan dari masyarakat tersebut terjadi karena kurangnya informasi dan edukasi pajak secara transparan kepada masyarakat. Sehingga, menimbulkan persepsi yang berbeda. Untuk itu, peningkatan pelayanan dari segi perluasan informasi melalui sosialisasi sangat diperlukan.
Perluasan informasi dan sosialisasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial. Pemanfaatan media sosial tersebut dapat berjalan maksimal apabila akun sosial media tersebut aktif dalam membagikan informasi-informasi mengenai pajak.
Selain itu, untuk menanggapi keluhan-keluhan masyarakat tentang pajak, pemerintah dapat membuat pusat aduan atau crisis center sebagai solusinya. Crisis center tersebut tidak hanya memiliki kantor secara fisik namun juga memiliki hotline dan akun sosial media yang aktif dan responsif.
Komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat merupakan fokus utama yang perlu diperbaiki. Komunikasi yang baik tersebut dapat dicapai apabila pemerintah transparan terhadap segala hal yang berkaitan dengan pajak. Masyarakat akan membayar pajak dengan sukarela apabila masyarakat tahu ke mana dan untuk apa saja yang pajak yang selama ini mereka bayarkan ke negara.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.