Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Damas Dwi Anggoro.
MALANG, DDTCNews – Pemerintah melakukan beragam extraordinary actions untuk meredam dampak dari tekanan pandemi Covid-19. Salah satunya, terkait kebijakan perpajakan.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Damas Dwi Anggoro memandang extraordinary action tersebut diakomodir pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Beleid ini pun ikut mengatur tentang aspek perpajakan.
Belum berhenti di situ, pemerintah bersama parlemen juga sedang menggodok Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
"KUP itu dimaknai dengan undang-undang atau hukum pajak formil. Sedangkan hukum pajak materiel adalah ada PPN dan PPh. Setelah keberhasilan UU Ciptaker, pemerintah ingin mengulang keberhasilannya dengan merancang peraturan,” kata Damas dalam Seminar Perpajakan Nasional 2021 FIA Universitas Brawijaya, berjudul Dinamika Kebijakan Fiskal dalam Mempersiapkan Perekonomian Indonesia Pascapandemi, Sabtu (25/9/2021).
Damas menjelaskan poin-poin rencana kebijakan pajak ke depan terbagi atas empat kelompok yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Pertambahan nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan cukai.
Dalam poin KUP, Damas menyoroti perlunya keselarasan antara RUU KUP dengan asas kepastian hukum. Adanya perbedaan ketentuan antara RUU KUP dan UU Cipta Kerja, menurutnya, justru akan memunculkan kerancuan dan ketidakpastian.
"Jika dalam RUU KUP terdapat ketentuan UU Cipta Kerja yang dihapus, mana yang akan dipakai oleh wajib pajak?" tanya Damas.
Dalam hal ini, kedua peraturan perundang-undangan tersebut berada pada level yang sama sehingga tidak dapat berlaku lex specialis derogat legi generali. Prinsip yang berlaku hanyalah lex superior derogat legi inferiori yang berarti hukum baru mengesampingkan hukum lama.
Damas menyarankan pemerintah dan parlemen yang tengah menyusun RUU KUP agar menuliskan secara eksplisit terkait ketentuan mana yang diutamakan. Hal ini dilakukan demi memberikan kepastian hukum.
Dalam poin KUP, Damas juga mengapresiasi pemerintah yang mulai fokus memberlakukan sanksi finansial ketimbang sanksi pidana atas pelanggaran pajak. Pada hakikatnya, sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir penegakan hukum pajak atau ultimum remedium.
"Saya setuju dengan pendapat Thuronyi yang menyatakan sanksi finansial akan menaikkan revenue sedangkan penjara hanya akan meningkatkan expenditure," ujarnya.
Berikutnya, dalam poin PPN, Damas menilai perluasan objek pajak atas jasa pendidikan, keuangan, kesehatan, dan lainnya merupakan unpopular policy. Damas menyatakan apabila perluasan ingin diberlakukan, pemerintah harus hati-hati menerapkannya.
"Walaupun di saat bersamaan ketika jasa-jasa tersebut dikenakan pajak nantinya akan ada mekanisme PK-PM. Namun, pada ujungnya yang menjadi end user yaitu masyarakat ini perlu diperhatikan," jelas Damas.
Dalam hal pemberian fasilitas PPN, Damas menyarankan agar pemerintah menjelaskan secara tuntas mana saja yang menjadi objek PPN dan mana yang tidak.
Selanjutnya berkaitan dengan pengenaan PPh. Daman menyampaikan sejumlah kebijakan baru seperti penambahan tax bracket, pengaturan kembali fringe benefits, General Anti Avoidance Rules (GAAR), penyesuaian insentif WP UKM, dan penerapan alternative minimum tax tidak banyak menimbulkan perdebatan.
Terakhir pada poin cukai terdapat penambahan objek plastik dan pengenaan pajak karbon. Daman berpendapatan rencana penerapan pajak karbon memancing protes dari para pengusaha karena menyebabkan multiplier effect.
Damas mencontohkan saat pajak karbon dikenakan, harga keramik menjadi mahal. Kemudian, para developer yang menggunakan keramik juga ikut terdampak dan menaikkan harga properti. (vallencia/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.