SEIRING melonjaknya aktivitas ekonomi melalui platform digital, semakin banyak pula negara yang akhirnya mengambil aksi sepihak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh berbagai perusahaan penyedia layanan digital.
Namun demikian, patut dipahami bahwa pengenaan pajak layanan digital (digital service tax/DST) sebagai langkah kebijakan unilateral ini cenderung menyasar para raksasa digital. Hal ini dikarenakan adanya threshold penghasilan perusahaan yang akan dikenakan DST.
Langkah-langkah unilateral ini pun menjadikan Amerika Serikat (AS) semakin meradang. Pasalnya, mayoritas perusahaan ekonomi digital dengan nilai kapitalisasi pasar yang tinggi berkantor pusat di negara adidaya tersebut (Bloomberg & PWC, 2019). Setidaknya hingga sekarang, terdapat 10 negara yang akan diinvestigasi lebih lanjut oleh AS terkait rencana penerapan pajak digitalnya.
Tidak hanya kali ini, sebelumnya AS telah melakukan investigasi mendalam terhadap penerapan DST di negara Prancis. Hal ini terangkum dalam laporan pihak serikat dagang AS – USTR, yaitu “Report on France’s Digital Services Tax Prepared in the Investigation under Section 301 of the Trade Act of 1974.”
Secara garis besar, AS mendakwa bahwa rencana penerapan DST ini bersifat mendiskriminasi perusahaan AS. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan bahwa DST yang dikenakan Prancis ini sejatinya hanya akan menyasar para raksasa digital AS. Dakwaan DST Prancis yang diskriminatif ini pun diperkuat dengan beberapa argumen.
Pertama, adanya pernyataan otoritas Prancis yang secara terang-terangan menyatakan bahwa DST merupakan “GAFA Tax.” GAFA sendiri disebut-sebut merupakan singkatan dari Google, Apple, Facebook, and Amazon. Sebagaimana diketahui, keempatnya merupakan penyedia layanan digital yang bermarkas di AS.
Argumen pertama ini didukung pula dengan temuan AS bahwa DST bukan dikenakan atas penghasilan netto (income) sebagaimana pengenaan PPh secara umum. Adapun basis pajak DST – secara umum dan bukan hanya yang diterapkan Prancis – ialah atas penghasilan bruto (revenue).
Dengan demikian, DST ini dianggap mencederai prinsip-prinsip dasar perpajakan internasional yang berlaku secara umum. Apalagi, pengenaan DST tersebut dapat pula bersifat retroaktif serta tidak terdapat ketentuan yang menyatakan pencabutan DST apabila tercapai konsensus pajak digital.
Kedua, pemilihan jenis layanan digital yang akan dikenakan DST atas penghasilan brutonya. Laporan yang terbit pada akhir 2019 ini mencatat bahwa terdapat dua kategori jasa yang ditarget oleh DST Prancis, yakni iklan melalui internet dan digital interface.
Adapun investigasi yang dikepalai oleh Robert E. Lighthizer tersebut menemukan bahwa 8 dari 9 grup usaha perusahaan multinasional yang akan terdampak kebijakan unilateral ialah perusahaan-perusahaan AS. Sementara itu, perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Prancis maupun Uni Eropa tidak akan terdampak karena kategori layanan digitalnya tidak termasuk dalam cakupan DST.
Ketiga, penetapan threshold perusahaan yang akan dikenakan DST. Menurut laporan ini, perusahaan AS lagi-lagi merupakan sasaran dominan dari DST Prancis. Hal ini dikarenakan penetapan ambang batasnya yang berdasarkan penghasilan bruto akan relevan untuk mengenakan pajak atas grup multinasional semacam GAFA. Selain itu, dakwaan adanya diskriminasi ini semakin menjadi karena tidak adanya penjelasan mengenai dasar pertimbangan atas penetapan ambang batas tersebut.
Satu hal yang cukup rancu dalam laporan ini ialah pernyataan bahwa penerapan DST di Prancis akan mempersulit progres tercapainya konsensus global. Padahal, AS sendiri pun masih belum menetapkan posisi jelas apakah akan mendukung konsensus global atau tidak.
Meskipun hingga saat ini cenderung memberikan penolakan, jawaban jelasnya mungkin hanya bisa menunggu seberapa kuat hegemoni AS untuk “membendung” berbagai tekanan dari kebijakan unilateral yang mungkin akan terus bertambah ke depannya.
Ulasan argumen laporan ini sangat komprehensif apabila dilihat dari perspektif ekonomi politik, terutama terkait kemungkinan bahwa bahwa DST akan menimbulkan perang dagang. Tentunya, laporan ini akan sangat berguna pula bagi pihak pembuat kebijakan perpajakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang tengah merancang aturan turunan atas pajak digital agar dapat bersifat nondiskriminatif dan menjadi langkah antisipatif apabila konsensus global tidak tercapai.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.