BERBAGAI keberhasilan pembenahan atas pengelolaan keuangan negara pada masa reformasi (1998-2004) pada hakikatnya menjadi penentu peran pajak pada periode 2005-2015. Tidak hanya itu, angin demokrasi turut mengantarkan dua presiden yang dipilih melalui Pemilu secara langsung, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.
Pada era ini, situasi perekonomian relatif stabil. Ditandai dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5—6%. Capaian itu termasuk tinggi jika dibandingkan dengan negara lain pada periode yang sama. Program pengentasan kemiskinan, terutama melalui strategi cash transfer dan conditional cash transfer juga berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin. Pembangunan infrastruktur, baik yang bersifat fisik maupun soft dalam rangka mewujudkan competitiveness, telah menarik investasi asing lebih tinggi.
Periode ini turut mencatatkan tiga krisis ekonomi, krisis keuangan global (2008), taper tantrum (2013), dan pandemi covid-19 (2020). Dinamika postur fiskal Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari imbas kenaikan harga minyak dunia dan subsidi BBM, pelunasan utang IMF, peningkatan porsi transfer daerah, dan anggaran pembangunan infrastruktur. Kebutuhan atas ketersediaan pendapatan negara juga mendorong sektor pajak menjadi agenda ekonomi nasional.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi dirasa tidak inklusif. Laju pertumbuhan non-tradable sector jauh lebih cepat dari tradable sector (pertanian, pertambangan, dan manufaktur). Padahal sektor non-tradable cenderung padat modal dan menyerap tenaga kerja lebih sedikit – umumnya high skill – (Basri, 2009). Akibatnya, kue pertumbuhan lebih banyak dinikmati sebagian masyarakat dan berdampak bagi distribusi penghasilan. Hal ini ditunjukkan dari data BPS mengenai indeks gini dari awalnya 0,34 (2005), 0,41 (2014), dan terakhir menjadi 0,38 (2019).
Lantas, apa ayang dapat kita pelajari dari periode 2005-2020 ini?
Pertama, komoditas dan pajak. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, berkah komoditas unggulan Indonesia turut berperan besar dalam pendanaan pembangunan. Setelah era karet, timah, minyak bumi, dan kayu, pada periode 2005-2020 komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, dan gas alam jadi andalan.
Commodity boom selama 2005-2008 sempat meningkatkan proporsi PNBP SDA dan PPh migas (termasuk pungutan ekspor) terhadap pendapatan dalam negeri rata-rata 29%. Seiring dengan turunnya harga komoditas internasional, kontribusinya juga kian surut hingga saat ini.
Kenaikan harga minyak dunia juga menimbulkan persoalan karena Indonesia bukan lagi net exporting country. Artinya, perlu subsidi BBM yang lebih besar untuk menjaga harga di tengah masyarakat. Polemik harga BBM ini juga turut mewarnai situasi ekonomi-politik Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tercatat, sebanyak 4 kali pemerintah menaikkan harga BBM, yaitu pada Maret 2005, Oktober 2005, Mei 2008, dan Juli 2013.
Terlepas dari itu, naik-turunnya harga komoditas juga turut mengerek kinerja penerimaan dari sektor pertambangan. Sejak 2005 – setidaknya hingga 2018 – kontribusi penerimaan dari sektor pertambangan selalu di peringkat empat besar bersama industri pengolahan, jasa keuangan, dan perdagangan.
Kedua, elastisitas pajak terhadap ekonomi. Pada periode ini, pertumbuhan penerimaan pajak semakin kurang responsif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada 2002—2004, tax buoyancy berada di angka 1,35. Kemudian, pada 2005—2014 angkanya turun hingga menjadi 0,65. Setelah itu, pada periode 2015—2019, ada sedikit peningkatan menjadi sebesar 0,71. Dengan demikian, 1% pertumbuhan ekonomi hanya akan berdampak bagi kurang dari 1% pertumbuhan penerimaan pajak.
Tidak mengherankan jika angka tax ratio selama 2005—2019 tidak mengalami perubahan berarti dan cenderung turun antarwaktu. Pasalnya, angka penyebutnya (besaran PDB) selalu tumbuh lebih besar dibandingkan dengan angka pembilangnya (realisasi penerimaan pajak).
Kurang optimalnya tax buoyancy juga diakibatkan oleh mismatch antara komposisi struktur ekonomi, struktur ketenagakerjaan, dan struktur penerimaan pajak. Timpangnya tax coverage ratio antarsektor mengindikasikan adanya policy dan compliance gap bagi sektor-sektor tertentu. Perkembangan sektor digital juga tidak secara cepat direspons oleh sistem pajak.
Di sisi lain, perekonomian yang cenderung tidak inklusif turut menyumbang bagi pesatnya pertumbuhan kelompok high net worth individual di Indonesia. Padahal, kelompok ini relatif sulit untuk dipajaki, baik karena persoalan administrasi, pola penghasilan HNWI yang tidak mengikuti tarif progresif, maupun indikasi politically exposed person. Ketimpangan atas aset dan akumulasi kekayaan antargenerasi menjadi catatan penting (Darussalam, Kristiaji, dan Yustisia, 2019).
Ketiga, dinamika politik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo memiliki kepedulian pada sektor pajak. Lihat saja, ada tradisi seremonial pelaporan SPT, imbauan kepada masyarakat mengenai kepatuhan, hingga sama-sama concern tentang agenda reformasi pajak. Target penerimaan pajak pada APBN selama periode 2005-2020 juga dipatok relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Tidak bisa dipungkiri, kepedulian keduanya juga didorong oleh kebutuhan untuk mendanai berbagai agenda pembangunan seperti tertera pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Konsolidasi politik selama 2005—2020 juga berhasil membangun kestabilan agenda pajak nasional.
Dinamika politik agenda pajak nasional justru dipengaruhi oleh kian banyaknya ‘suara’ dari publik. Derasnya keterbukaan informasi, tumbuhnya kelompok kepentingan, dan adanya kebebasan berpendapat sebagai akumulasi dari proses demokrasi pasca-1998 telah membuat perumusan sistem pajak kian kompleks dan tidak stabil. Hal ini dapat ditemukan pada kasus uji materi UU, tarik ulur beberapa kebijakan, dan sebagainya.
Keempat, obsesi untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia pada dasarnya kurang selaras dengan fakta selama 2005—2019, pendapatan per kapita masyarakat meningkat hampir dua kali lipat hingga Rp59,1 juta. Apalagi, jumlah masyarakat kelas menengah – yang umumnya berpendidikan – sudah lebih dari 52 juta orang (World Bank, 2019). Artinya, prakondisi untuk pemungutan pajak yang optimal telah terbentuk.
Salah satu faktor utama yang menghambat tingginya kepatuhan ialah minimnya informasi yang dimiliki oleh otoritas baik untuk memetakan potensi, menguji kepatuhan, hingga menjalankan penagihan pajak. Peran ketersediaan informasi sifatnya vital dalam penerapan sistem self assessment.
Pada periode ini, pengumpulan informasi agaknya menjadi fokus. Lihat saja, ada sensus pajak nasional, sunset policy (2008) dan pengampunan pajak (2016-17), MoU antarinstansi pemerintah, dan kerjasama pertukaran informasi antarotoritas pajak secara internasional. Selain itu,ada Perpres 13 Tahun 2018 tentang pengungkapan beneficial owner, pembentukan Direktorat Intelijen Pajak, UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan, dokumentasi transfer pricing, program pengawasan berbasis kewilayahan, dan sebagainya.
Jurus klasik meningkatkan kepatuhan melalui mekanisme withholding tax – termasuk skema pajak final – juga masih jadi andalan. Padahal, mekanisme tersebut bisa jadi justru meningkatkan biaya kepatuhan karena adanya legal remittance responsibility dan menciptakan policy gap (Kristiaji dan Mukarromah, 2020).
Paradigma untuk meningkatkan kepatuhan pajak juga sedikit banyak bergeser. Edukasi melalui program inklusi pajak mulai dikedepankan dalam membentuk masyarakat melek pajak. Pengadopsian compliance risk management dan model cooperative compliance kian jadi perhatian untuk meningkatkan kepatuhan yang berbasis pada kesukarelaan.
Kelima, struktur pajak. Peran PPh dan PPN semakin kuat pada periode 2005-2020. Salah satunya dikarenakan oleh didelegasikannya kewenangan untuk memungut PBB Perdesaan dan Perkotaan kepada pemerintah kota/kabupaten.
Sayangnya, rata-rata pertumbuhan nominal realisasi kedua jenis pajak tersebut justru semakin menurun antarwaktu. Penerimaan PPh menunjukkan perlambatan dari rata-rata sekitar 22,9% (2005—2009) menjadi hanya sebesar 11,6% (2009—2014) dan 7,3% (2015—2019). Pertumbuhan nominal PPN juga relatif menurun walaupun motor ekonomi Indonesia didorong oleh sektor konsumsi. Tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) ditenggarai jadi salah satu penyebab (World Bank, 2020).
Jika didalami, struktur penerimaan PPh di Indonesia juga lebih banyak disumbang dari PPh badan dan mekanisme withholding tax. Kontribusi PPh dari nonkaryawan relatif masih sangat rendah. Tanpa adanya diversifikasi maka penerimaan pajak akan relatif mudah mengalami goncangan (Ouedraogo, et.al., 2020).
Keenam, kompetisi dan koordinasi pajak global. Harus diakui, menonjolnya isu pajak dalam agenda pembangunan Indonesia 2005—2020 merupakan pengaruh dari agenda pembangunan dan pajak secara internasional. Misalnya, agenda PBB tentang Sustainable Development Goals (SDGs), proyek OECD/G20 tentang Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), isu illicit financial flow, hingga agenda Asean Tax Forum. Intinya, terdapat koordinasi global di bidang pajak.
Namun demikian, pada periode yang sama, pajak juga kerap menjadi alat untuk meningkatkan daya saing. Tekanan kompetisi pajak antarnegara secara tidak langsung juga membentuk kebijakan pajak tanah air. Pascakrisis global 2008, intensitas kompetisi pajak justru kian meningkat. Misalnya, soal penurunan tarif, berbagai insentif, rezim ekspatriat, hingga perubahan sistem pemajakan ke arah territorial tax system. Puncaknya terlihat pada rancangan omnibus law perpajakan.
Sebagai informasi, artikel ini merupakan seri keenam dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa” yang dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara total, artikel analisis akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.