ERA e-commerce kian menunjukkan keunggulan dan ketangguhannya dalam pertarungan bisnis. Dengan senjata utamanya berupa internet, bisnis e-commerce terbukti telah mengungguli model bisnis konvensional. Terlebih bagi pebisnis skala kecil atau UMKM.
Kesederhanaan pengelolaan serta kemudahan dalam proses transaksi menjadikan e-commerce sebagai peluang yang menggiurkan bagi pelaku bisnis yang bermodal mini. Lini e-commerce bukan semata-mata jual beli, melainkan juga jasa.
Sebagaimana yang diklasifikasikan oleh ditjen pajak, bahwa yang termasuk dalam model bisnis e-commerce yaitu, pertama berupa penyediaan tempat usaha daring bagi penjual. Kedua, jasa penyediaan tempat periklanan daring.
Ketiga, penyediaan tempat belanja daring dengan pembayaran menggunakan voucher. Keempat, jual beli langsung antara penyelenggara retail dengan pembeli melalui situs internet yang dimiliki retailer tersebut.
Apabila ditelusuri lagi, akan didapati bentuk bisnis lain yang merupakan turunan dari setiap model tadi. Misalnya jasa pengiriman barang, desain website, desain iklan, dan jasa pembayaran. Maka tak pelak, model bisnis e-commerce mengandung potensi penerimaan PPh dan PPN yang luar biasa.
Namun tidak mudah bagi pemerintah untuk menyaring pajak dari transaksi online. Banyak aspek yang mesti diperhatikan dalam e-commerce, mulai dari model bisnis, alur pendapatan, klasifikasi produk, penentuan tarif serta pihak yang akan dibebani pajak.
Bahkan saat ini raksasa platform media sosial seperti Facebook dan Instagram, sudah bergeser manfaatnya menjadi sarana promosi produk dan periklanan. Semua persoalan ini menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak dalam merumuskan peraturan terkait bisnis e-commerce ini.
Potensi Pajak
MENURUT survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 ditemukan bahwa setengah dari total jumlah penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet. Kemudian sebanyak 63,1 juta orang merupakan pengguna internet aktif.
CEO OLX Daniel Tumiwa, menyebutkan data tentang jumlah penduduk Indonesia yang berbelanja online pada tahun 2013 sekitar 4,3 juta orang. Angka tersebut meningkat dengan signifikan menjadi 7,4 juta orang di tahun 2015.
Peningkatannya berlanjut pada tahun 2016 ke angka 8,4 juta orang. Dan diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat setiap tahunnya hingga meledak pada tahun 2022, dengan asumsi infrastruktur serta kondisi perekonomian nasional dalam keadaan stabil.
Dengan total transaksi penjualan e-commerce saat ini Rp150 triliun - Rp200 triliun, maka apabila Ditjen Pajak tidak mampu mengumpulkan pajak dari sektor ini, maka negara akan kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar 10% (PPN) yaitu sebesar Rp20 triliun per tahun dan belum termasuk PPh.
Sementara itu, dari sisi payung hukum mengenai pemajakan e-commerce masih belum rampung, sehingga masih mengacu kepada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 62 Tahun 2013. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu direvisi dan disempurnakan terkait pengenaan tarif baru bagi UMKM dan pemilik usaha startup berbasis online, serta penegasan kembali bahwa seluruh kegiatan bisnis e-commerce wajib membayar pajak yang saat ini masih disusun.
Saat ini, pemerintah sedang merumuskan peraturan perundang-undangan baru terkait pajak e-commerce. Latarbelakang dari rencana penerbitan perundang-undangan tersebut salah satunya adalah keluhan dari sebagian pelaku pasar yang meminta agar diterapkannya asas keadilan dalam menjalankan kewajiban pajak, sehingga baik itu usaha offline maupun online, kewajibannya tetap sama. Ditambah lagi peraturan tersebut kurang relevan jika dibandingkan dengan dinamika teknologi informasi.
Unit Khusus
DENGAN menimbang berbagai perkembangan itu, maka setidaknya ada tiga hal urgen yang mesti dilakukan fiskus dalam upaya meraup pajak sektor e-commerce. Pertama, pemerintah harus membentuk unit atau bahkan badan khusus di bawah Ditjen Pajak yang memiliki tupoksi sebagai pengawas dalam lalu lintas bisnis e-commerce agar dapat meminimalisir kecenderungan berbuat curang atau tidak membayar pajak.
Kedua, di samping pengawasan yang baik, Pemerintah juga harus memiliki data base yang mumpuni terkait transaksi e-commerce agar data tersebut bisa digunakan sebagai alat untuk meramalkan potensi penerimaan pajak.
Ketiga, pemerintah juga harus dapat menerapkan sistem pembayaran pajak yang solid dan terintegrasi dengan platform yang digunakan oleh pelaku bisnis e-commerce agar memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya.
Beberapa negara di Asia seperti Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang, saat ini sudah berhasil meraup pajak yang cukup besar dari sektor e-commerce. Karena memang tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki dukungan teknologi serta infrastruktur yang kuat, sehingga mereka sudah lebih dahulu memprediksi dan mengantisipasi potensi penerimaan pajak dari sektor e-commerce.
Dengan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini, merupakan suatu keniscayaan bahwa bisnis e-commerce akan memberikan kontribusi yang lumayan banyak bagi negara. Maka, mari kita dukung segala upaya dari pemerintah dalam menyiapkan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak dari e-commerce.
Jangan sampai, pada 2022 kelak saat bisnis e-commerce meledak, negara hanya mendapatkan sekadar beberapa kantong buah saja dibandingkan dengan panen massal dari penggunaan internet yang semakin tahun semakin berlipat.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.