HAMPIR semua negara yang menerapkan sistem PPN (atau GST) sebagai bentuk pajak konsumsi, menggunakan prinsip destinasi (destination principle) sebagai prinsip pemungutan PPN (David William, 1996).
Menurut Rabecca Millar (2008), berdasarkan prinsip ini, pengenaan PPN atas barang dan/atau jasa hanya dilakukan di tempat barang dan/atau jasa tersebut benar-benar dikonsumsi, atau disebut juga tempat konsumsi (place of consumption).
Akan tetapi, dalam praktik, penentuan tempat konsumsi tidak selalu dapat dilakukan. Tidak mudah untuk menerapkan aturan mengenai alokasi pemajakan berdasarkan lokasi konsumsi aktual (place of actual consumption). Thomas Ecker (2013) berpendapat bahwa pengujian mengenai tempat konsumsi sebagai tempat terutangnya PPN dewasa ini menjadi sangat kompleks dan sulit, bahkan tidak mungkin dapat diawasi oleh otoritas pajak.
Untuk memudahkan penentuan tempat konsumsi atas barang dan/atau jasa dilakukan, hampir semua literatur menggunakan konsep tempat penyerahan (place of supply) sebagai cara untuk menentukan di mana tempat terutangnya PPN atas konsumsi barang dan/atau jasa tersebut.
Konsekuensinya, untuk dapat menentukan tempat konsumsi barang dan/atau jasa sesuai dengan konteks PPN, dibutuhkan suatu aturan yang mengatur secara efektif cara menentukan tempat terjadinya penyerahan atas barang dan/atau jasa (Kathryn James, 2015).
Dipilihnya konsep tempat penyerahan untuk menentukan tempat konsumsi atas barang dan/atau jasa dilatarbelakangi dengan adanya asumsi bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa akan melakukan konsumsi di tempat terjadinya penyerahan barang dan/atau jasa. Oleh karenanya, menurut teori ini, tempat penyerahan sama dengan tempat konsumsi (Rabecca Millar, 2008).
Pada dasarnya, tempat penyerahan didefinisikan sebagai tempat terjadinya penyerahan atas barang dan/atau jasa. Aturan umumnya, tempat penyerahan berhubungan dengan lokasi dari pihak yang menerima barang dan/atau jasa. Dalam hal tertentu, aturan umum ini tidak dapat diterapkan sehingga yang berlaku adalah aturan khusus yang disusun sesuai dengan kondisi dan karakteristik dari transaksi yang terjadi (CA Arpit Haldia, 2017).
Identifikasi tempat penyerahan berguna dalam menentukan apakah suatu penyerahan dianggap memenuhi ruang lingkup PPN suatu negara atau tidak sehingga dapat ditentukan pula apakah penyerahan ini dapat dikenai PPN di negara tersebut atau tidak (Chan Quan Min, 2015).
Sementara itu, dalam VAT Directive, aturan mengenai tempat penyerahan mempunyai beberapa fungsi, antara lain (Antonio Calisto Pasto dan Marion Marques, 2014):
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa aturan tempat penyerahan sangat penting dalam penerapan PPN. Misalnya, dalam penerapan PPN di Singapura yang dinamakan GST. Singapura merupakan salah satu negara yang menerapkan PPN sebagai bentuk pajak konsumsi.
Di negara ini, PPN hanya dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Singapura serta atas impor barang. Oleh karenanya, dalam sistem PPN di Singapura, sangatlah penting untuk dapat mengetahui di mana penyerahan terjadi sehingga dapat diketahui pula tempat terutangnya PPN atas penyerahan tersebut (Wolters Kluwer dan Deloitte, 2016).
Sama halnya dengan Singapura, PPN di Malaysia dengan nama GST, merupakan pajak domestik. Artinya, semua penyerahan yang terjadi di Malaysia dianggap sebagai penyerahan yang berada dalam ruang lingkup PPN Malaysia.
Sementara itu, penyerahan yang sepenuhnya terjadi di luar Malaysia atau penyerahan yang terjadi di pulau bebas pajak (Labuan, Langkawi, dan Tioman) merupakan penyerahan yang berada di luar ruang lingkup PPN Malaysia sehingga tidak dapat dikenai PPN di Malaysia (Arjunan Subramaniam, 2014).
Penentuan tempat penyerahan atas barang dan/atau jasa tidak hanya berpengaruh terhadap pihak yang menyerahkan barang dan/atau jasa, tetapi juga terhadap pihak yang memperoleh atau menerima barang dan/atau jasa tersebut. Oleh karena itu, keduanya harus mempertimbangkan di mana terjadinya tempat penyerahan secara seksama.
Lebih lanjut, penentuan tempat penyerahan dalam PPN bergantung pada jenis penyerahan yang dilakukan, apakah penyerahan barang atau penyerahan jasa. Kriteria penentuan yurisdiksi pemajakan ini tentunya berbeda dengan jenis pajak lainnya, misal Pajak Penghasilan (PPh) yang penentuan yurisdiksi pemajakannya bergantung pada person yang terlibat dalam transaksi.
Oleh karena itu, pada umumnya, aturan untuk menentukan tempat penyerahan PPN terbagi menjadi dua, yaitu aturan untuk menentukan tempat penyerahan barang; dan aturan untuk menentukan tempat penyerahan jasa.
Selain dua jenis aturan di atas, beberapa negara, seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, juga memiliki aturan khusus untuk menentukan tempat terutangnya PPN atas transaksi lintas batas.
Artinya, sebelum menentukan di mana tempat penyerahan atas suatu transaksi, langkah pertama yang penting untuk dilakukan adalah mengidentifikasi apakah transaksi tersebut merupakan penyerahan barang, jasa, atau bahkan transaksi lintas batas (Antonio Calisto Pasto dan Marion Marques, 2014).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.