TINGKAT kepatuhan wajib pajak di Indonesia terbilang masih belum mencapai posisi yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan penerimaan pajak yang selalu meleset atau kurang dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya penghindaran-penghindaran pajak yang dilakukan oleh para pengemplang pajak. Permasalahan ini lalu memicu munculnya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Ditjen Pajak (DJP), salah satunya keterbukaan informasi keuangan.
Setelah program amnesti pajak berakhir, kita telah mendapatkan tambahan basis data wajib pajak baru yang akan menjadi pondasi untuk penerimaan pajak untuk tahun-tahun berikutnya. Namun, perbaikan basis data wajib pajak saja belum cukup.
Masih diperlukan tindak lanjut, yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Perppu ini mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki DJP untuk mengakses informasi keuangan nasabah di dalam negeri tanpa perlu lagi meminta izin kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kebijakan ini juga untuk menyongsong era keterbukaan informasi dan persiapan Indonesia untuk ikut serta dalam AEoI (Automatic Exchange of Information).
AEoI itu sendiri adalah sistem yang mendukung adanya pertukaran informasi atas wajib pajak antar negara secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan. Dalam AE0I terdapat kesepakatan bersama untuk membuka dan memberikan akses ke informasi keuangan di dalam negeri kepada otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi keuangan di luar negeri secara otomatis.
Dengan adanya sistem ini, wajib pajak yang telah membuka rekening di negara lain akan bisa terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya. Nantinya negara-negara yang telah tergabung dalam AEOI akan mengirimkan dan menerima informasi awal setiap tahunnya tanpa harus mengajukan permintaan khusus.
Terbitnya undang-undang dan sistem AEoI tentu menjadi reformasi besar di bidang basis data perpajakan di Indonesia. Pasalnya, selama ini DJP hanya memiliki kewenangan terbatas dalam perolehan informasi perbankan.
Sebelumnya, menurut Pasal 35 UU KUP mengatur mengenai otoritas pajak untuk dapat mengakses data perbankan hanya dapat dilakukan selama ada permintaan dari Menteri Keuangan sepanjang wajib pajak sedang dalam pemeriksaan, penyidikan atau penagihan.
Hal ini mengisyarakatkan bahwa DJP hanya dapat mengakses informasi apabila wajib pajak sedang dalam pemeriksaan, penyidikan, atau penagihan. Jika tidak, otoritas pajak tidak dapat mengakses data tersebut. Tentu saja ini menjadi celah bagi wajib pajak untuk memindahkan hartanya dan melakukan penggelapan pajak sebelum data informasi diterima oleh DJP.
Namun, UU Nomor 9 Tahun 2017 memberikan DJP kewenangan penuh untuk mengakses data atau informasi keuangan milik nasabah di lembaga keuangan mana pun secara otomatis tanpa perlu melalui proses yang begitu lama.
Ditambah dengan adanya sistem AEoI memberikan pemerintah informasi keuangan wajib pajak Indonesia yang masih menanamkan dananya di negara atau yurisdiksi mitra secara resiprokal. Dengan demikian, tidak akan ada lagi loophole bagi praktik-praktik penghindaran pajak dengan memindahkan hartanya ke luar negeri (negara tax heaven).
Hal ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan informasi keuangan di Indonesia dan untuk mengurangi potensi terjadinya penyelewengan pada sektor penerimaan negara.
Berbagai macam praktik penghindaran pajak hingga saat ini masih kerap terjadi dengan berbagai macam skema yang dilakukan oleh para pengemplang pajak. Diharapakan melalui kebajakan ini dapat menjadi solusi terhadap penyelewengan-penyelewengan tersebut agar tidak terulang di masa depan.
Risiko Besar
NAMUN, di samping manfaat yang akan didapatkan, UU No 9 Tahun 2017 ini juga akan memberikan risiko yang besar bagi DJP. Pasalnya, mengingat pemerintah akan menerima aliran data wajib pajak yang sangat besar dari berbagai institusi keuangan, pemerintah memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kerahasiaan informasi tersebut agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.
DJP harus tetap menjaga prinsip kerahasiaan nasabah dalam artian otoritas pajak hanya dapat menggunakan akses terhadap informasi keuangan tersebut untuk tujuan dan kepentingan penerimaan negara.
Kerahasiaan informasi menjadi sangat penting karena hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin rela masyarakat untuk membayar pajak dan berlaku sebaliknya.
Apalagi mengingat bahwa pada tahun 2013 DJP pernah melakukan kelalaian atas tersebarnya informasi perpajakan milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi viral pada saat itu dan berimbas pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa kerahasiaan informasi di tubuh DJP masih perlu diperketat. DJP juga perlu menyiapkan sistem pengelolaan data dan informasi yang akurat dan aman serta terintegrasi secara menyeluruh agar keamanan informasi dapat terjaga.
Jadi, penerbitan UU No 7 Tahun 2017 dan pelaksanaan sistem AEoI menjadi pedang bemata dua bagi pemerintah dalam persoalan penerimaan pajak. Diterbitkannya UU ini memberikan kemudahan memperoleh informasi keuangan namun juga mendatangkan konsekuensi bagi pemerintah.
Apabila informasi keuangan tersebut dapat terjaga dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka ia akan memberikan basis data yang melimpah untuk menegakkan kepatuhan wajib pajak sekaligus mengurangi penghindaran pajak yang terjadi.
Sebaliknya, apabila lalai dalam menjaganya akan memberikan long-term negative effect dengan menurunnya trust masyarakat kepada pemerintah dan berimbas pada penurunan kerelaan masyarakat untuk membayar pajak.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.