Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
OPTIMISTIS dan Waspada. Keduanya selalu digaungkan oleh pemerintah akhir-akhir ini, terutama untuk menggambarkan kondisi perekonomian terkini dan proyeksi pada 2023. Bagi pemerintah, sumber risiko sudah mulai bergeser dari pandemi Covid-19 ke ketidakpastian ekonomi global.
Di tengah outlook perekonomian tersebut, target dan pagu dalam APBN disetel sangat hati-hati. Pada saat bersamaan, pada 2023, pemerintah juga masih harus menjalankan serangkaian agenda perpajakan dalam bingkai reformasi.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara untuk mendapat gambaran proyeksi ekonomi dan sejumlah agenda terkait dengan fiskal yang dijalankan pemerintah. Sejumlah isu perpajakan juga menjadi bahasan. Berikut petikannya:
Pandemi sepertinya mereda. Bukan virusnya hilang karena akan tetap ada, tapi mungkin virusnya sudah bermutasi dan sepertinya tingkat fatalitasnya menurun. Semoga dengan kita sudah vaksin dan beradaptasi dengan pola hidup baru dan lebih sehat jadi lebih mereda sehingga kegiatan ekonominya muncul.
Kalau aktivitas ekonomi jalan, orang akan mulai mobilitas. Kita sudah pernah lihat periode di mana mobilitas orang akhirnya meningkatkan harga. Akhirnya harga-harga naik, inflasi. Plus [ada isu] geopolitik. Harga komoditas utama naik, terutama dengan adanya situasi perang Rusia-Ukraina.
Dalam konteks seperti itu, kita lihat bahwa risiko dari perekonomian itu bergeser. Dari risiko fatalitas akibat pandemi, menjadi risiko atas situasi kondisi ekonomi keuangan global. Kebijakan stabilisasi muncul. Bank sentral mengurangi likuiditas. Suku bunga dinaikkan.
Selama 2022 ini suku bunga naik. Diperkirakan [pada] 2023, kondisi ekonomi dunia akan berat. Proyeksi-proyeksi [dari sejumlah lembaga internasional] menunjukkan [adanya] penurunan pertumbuhan, bahkan di beberapa tempat sudah membicarakan masalah resesi.
Di Indonesia, inflasinya ternyata kita bisa tahan di tingkat yang sangat-sangat moderat. Mudah-mudahan akhir tahun kita tutup dengan angka yang juga di sekitar 5,4%. Itu memberikan optimisme. Namun, selain optimis, kita mesti waspada dengan berbagai pergerakan di global.
Jadi, optimismenya kita jaga. Kewaspadaannya kita taruh dengan sangat hati-hati, termasuk di angka-angka kebijakan fiskalnya. Angka APBN yang kita setel supaya [defisit] tahun depan kita kembali ke bawah 3%. Kita establish lagi disiplin fiskal. Kemudian, angka-angka target pertumbuhan penerimaannya relatively sangat moderat.
Tahun ini harga komoditas cukup besar. Harga komoditas dunia itu, kita sudah mulai lihat tanda-tandanya ada penurunan di 2023. Jadi, kita harus scrutinize dengan sangat dalam. Kehati-hatian itu kita taruh dalam APBN. Itu yang kita lakukan. Bottom line-nya ya 2,84% [terhadap PDB] itu.
Kita tetap mendorong pertumbuhan [ekonomi], tapi pertumbuhan yang berasal dari G [government] nanti bukan yang mendominasi. Kalau tahun 2020, G itu satu-satunya yang pertumbuhannya positif. C [consumption] negatif, X [export] negatif, M [import] pun negatif.
Hati-hati. Waspada. Itu bagian dari waspada dan optimis. Optimisnya di mana? Optimisnya adalah kegiatan ekonomi akan terus berjalan. Waspadanya di mana? Terutama di harga komoditas. Dengan begitu, kita proyeksikan optimis karena ada pertumbuhan, tapi [ada] kewaspadaan terutama karena harga komoditas.
Waktu kita bikin APBN 2023, ICP (Indonesian crude price) akhirnya disetujui US$90 per barel. Kalau lihat 12 bulan ini, ada kecenderungan turun, tapi kita tidak pernah tahu perdagangan forward-nya. Ini kita perhatikan secara saksama. Setiap bulan dilakukan kalibrasi.
APBN kan ada governance-nya. Kalau mau berubah, mau meningkatkan atau mengurangi pagu, mau geser-geser pagu, ada governance-nya. Itu kita ikuti.
Sejak saya di BKF, kita sudah lebih disiplin melaporkan penggunaan insentif pajak seberapa besar. Belanja perpajakan itu kan besaran yang seharusnya diterima pemerintah, tetapi karena ada aturan khusus, tidak di-collect. Apakah dinolkan, dibebaskan, atau apa saja namanya. Itu kita hitung satu per satu. Setiap kali kita memberikan kekhususan, pembebasan, dinolkan, atau special rate, kita hitung.
Biasanya, kemarin-kemarin itu kan [besaran belanja perpajakan] kira-kira 1,5% dari PDB. Untuk 2022, kita akan lihat. Kalau kegiatan ekonomi muncul, biasanya pemakaiannya lebih besar, tapi kan PDB juga naik. Jadi, kita lihat pergerakannya ke arah mana.
Ada beberapa yang dilihat secara khusus oleh teman-teman di Ditjen Pajak. Kita lakukan pendalaman terus terhadap kondisi ekonominya biar tahu di sektor mana yang masih berat. Kalau memang masih berat, diberikan [insentif pajak] enggak apa-apa supaya bisa lebih cepat pulih. Bukan berarti sudah tidak ada PEN, insentif pajak langsung hilang. Sebelum ada PEN juga ada insentif pajak.
Iya, sibuk dengan yang seperti itu. Kalau sudah jadi undang-undang, artinya kita kerjakan. PP-nya kita keluarkan. Kalau reformasi pajak, selalu 2 sisi. Satu di kebijakan dan satunya di administrasi. Di UU HPP banyak di administrasi. Terkait dengan coretax atau NIK dipakai sebagai NPWP, itu masalah administrasi. Compliance masalah tata cara pemungutan itu administrasi perpajakan.
Namun, ada juga yang soal kebijakan, yakni subjek, objek, dan tarif. Itu juga berevolusi terus dan kita melihat terus di masyarakat. Misalnya, sewaktu awal pandemi, kita melihat sektor mana yang perlu special touch. Ke depan, administrasinya kita perbaiki dan kebijakannya kita proses terus.
Sebenarnya banyak yang bisa kita introduce dengan digitalisasi atau perbaikan sistem. Efisiensi itu pasti. Kemudian, kepastian.
Anda kan tahu beberapa BUMN punya koneksi data real time dengan Ditjen Pajak. Itu menghilangkan berbagai [urusan administrasi] faktur pajak yang mesti diisi atau diketik. Hilang semua karena bisa di-generate dengan sistem. Itu memberi kepastian, efisiensi, efektivitas, dan yang lebih penting adalah compliance. Untuk menjadi comply itu very easy and very cheap.
Kita kan juga tahu orang sebetulnya kepengin comply. Kalau bisa dibuat lebih mudah dan sederhana, orang comply menjadi menyenangkan. Semua sistem yang kita bangun itu seharusnya diarahkan untuk pelayanan wajib pajak sehingga wajib pajak mendapatkan manfaat yang maksimal.
Kepastian dan efisiensi penting untuk wajib pajak. Itu yang coba kita introduce dengan sistem. Dengan angka pajak yang sedemikian besar untuk Indonesia, sangat worth it investasi di digitalisasi sistem sehingga bisa kita perbaiki terus.
Iya, betul. Ada satu task force khusus yang bukan hanya berpikir bagaimana menginstal program, tapi juga berpikir [terkait dengan] mindset, cara kerja berubah. Kemudian, yang jauh lebih penting adalah change management-nya. Dari bekerja dengan sistem sekarang, nanti secara bertahap berpindah ke sistem yang baru.
Pajak itu mengerjakan apa? Keseluruhan sistem diurai. Kalau sekarang bekerja secara bagian [terpisah], nanti dia dalam satu sistem coretax akan tersambung. Ini yang sedang disiapkan oleh teman-teman Ditjen Pajak secara detail.
Saya rasa akan tetap sangat perlu ke depan. Penduduk kita gede banget. Populasi yang luar biasa besar dan makin lama makin banyak yang ingin comply dengan pajak. Bayangkan saja, setiap tahun pasti kita punya angkatan kerja baru masuk ke dunia kerja.
Dengan perekonomian yang membesar, pasti transaksi juga lebih besar. Dengan transaksi yang makin besar, ya perlu di-handle secara sistem agar jauh lebih efisien dan memberi kepastian ketimbang secara manual.
Menurut saya, masih sangat diperlukan peranan, misalnya dari akuntan untuk memberikan assurance, catatan yang benar, tata kelola yang benar. Kemudian, konsultan pajak untuk melakukan outreach dan tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Konsultan pajak, menurut saya, yang menerangkan aturan pajak sehingga tugas dari fiskus benar-benar menyiapkan sistem. Kalau orang mau comply, masuk ke dalam sistem. Sistem itu bisa mengakomodasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang memang bergerak di luar sana. Ikuti sistem saja bisa. Konsultan ya tetap diperlukan.
Lalu yang lain-lain, kalau di sektor keuangan di UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan), ada bagian tertentu yang memang memperkuat soal sumber daya manusia. Kita ingin pastikan compliance dan assurance, seperti akuntan itu benar-benar bekerja dengan baik. Bukan hanya untuk keperluan pajak, tapi juga macam-macam.
Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan masyarakat [terkait dengan] revenue collection. Revenue-nya juga [menjadi] sesuatu yang penting. Karena pembangunan kita ya yang membiayai kita, melalui pajak, bea keluar, bea masuk, dan cukai yang kita bayar.
Jadi, [untuk] pembangunan yang mau kita lakukan, yang membiayai adalah kita sendiri dari penerimaan yang di-collect dari masyarakat. Benar ada utang, tapi utang juga dibayar. Dibayarnya lewat mana? Dari penerimaan pajak, kepabeanan, cukai, dan PNBP.
Kalau kembali ke filosofi itu maka fungsi utama dari [reformasi] perpajakan adalah membuat supaya kita bisa meng-collect, masyarakat dapat membayar dengan mudah, sistem collection-nya efisien, dan masyarakat bisa comply.
Lewat cara apa itu? Lewat 2 cara. Reform di administrasi perpajakan dan reform di kebijakan perpajakan. Reform kita untuk membuat itu semua lebih simpel, lebih dimengerti orang banyak, dan akhirnya menciptakan compliance.
Di sisi lain, kita pakai [pajak] juga untuk mendorong kegiatan ekonomi. Kita bisa kasih insentif yang merupakan deviasi dari struktur pajak yang standar. Jadi, misal bayar pajak 100, tapi karena dikasih insentif, jadi bayar pajak 80. Insentif bisa dipakai untuk mendorong dunia usaha.
Pada saat berlaku sesuai dengan kesepakatan internasional, global minimum tax mesti siap kita terapkan di Indonesia. Kita comparing terus dengan beberapa negara lain dan menyiapkan legislasinya. Jadi, teman-teman di DJP sudah mulai memikirkan legislasi yang diperlukan.
Pemberian insentif itu sejauh mana akan menciptakan race to the bottom? Masing-masing negara berpacu menurunkan tarif pajak penghasilan terus ke bawah. Di tataran konseptual, [race to the bottom] itu dipahami sebagai hal tidak baik karena melemahkan penerimaan negara yang idealnya nanti untuk infrastruktur dan kegiatan pembangunan.
Kalau domestic resource mobilization-nya melemah, bagaimana penerimaan negara di masing-masing negara secara global? Makanya domestic resource mobilization tidak boleh melemah. Di samping itu juga, untuk [kepentingan] level playing field-nya. Dengan logika itu, maka mulai di-develop [solusi]. Jadilah, Pilar 1 dan Pilar 2.
Nah, ngasih insentif sebetulnya boleh atau enggak? Ya boleh-boleh saja. Kita juga sudah ngasih, tapi bukan dengan cara ini. Carilah cara lain. Berbagai cara bisa kita gunakan untuk memberikan insentif itu yang tetap menjaga level playing field.
Itu akan kita lihat cara negara lain seperti apa sih? Kita juga sudah mulai mikir-mikir bagaimana cara kita.
Kita akan ikut kesepakatan, for sure.
Biasanya kita semua dengar, ‘kalau pajaknya turun, kita kompetitif. Kalau pajaknya lebih rendah, kita bisa lebih kompetitif’. Pajak minimum tingkat dunia itu conceptually speaking enggak begitu. Pajak itu seharusnya menciptakan level playing field.
Kalau mengatakan pajak lebih rendah negaranya lebih kompetitif, itu cenderung menuju race to the bottom. Kalau dilakukan oleh satu negara mungkin oke, tetapi kalau dilakukan semua negara di dunia, ya masuk sumur betul. Kalau semua melakukan, malah enggak bagus.
Makanya dulu, zaman saya di BKF (Badan Kebijakan Fiskal), kadang-kadang dikatakan 'Oh Indonesia mengenakan tax holiday, to what extent itu akan menciptakan race to the bottom.' Saya selalu konsisten, terutama pada lembaga-lembaga dunia, kalau mau meng-address tentang insentif pajak yang spesifik Indonesia, bagusnya dilakukan setidaknya secara regional.
Coba dilihat Asean, Asia Timur ngasih insentif atau enggak? Namanya mungkin bukan tax holiday, tapi enggak ngasih insentif? Ngasih. Itu mesti di-address secara bersama-sama. Pilar 1 dan Pilar 2 meng-address itu secara bersama-sama, bahkan seluruh dunia. Bagus.
Jadi, di mana pun beroperasi menghadapi pajak penghasilan yang sama. Tinggal siapa yang dikasih hak memajaki. Di dalam Pilar 1 dan Pilar 2 itu, yang diberi hak memajaki adalah negara tempat dia beroperasi.
Pajak karbon merupakan bagian dari upaya kita supaya kita memiliki ekosistem yang menciptakan net zero emission. Pajak karbon bukan untuk mendapatkan penerimaan. Jadi, kita berjanji akan melakukan net zero emission.
Kegiatan ekonomi tetap mengeluarkan emisi CO2, tapi emisi CO2 yang dikeluarkan bisa dikompensasi. Kompensasinya bisa dilakukan dengan membeli carbon certificate di pasar karbon. Kalau tidak beli di pasar karbon atau belum mencukupi untuk mengompensasi maka dia bisa bayar pajak karbon.
Pajak karbon sudah diberi wewenang oleh undang-undang, tapi dia tidak berdiri sendiri. Dia bagian dari ekosistem itu semua. Pajak karbon menjadi alternatif untuk memenuhi net zero emission di tingkat sektor atau perusahaannya.
Pasar karbon mesti disiapkan. UU PPSK bilang pasar karbon, OJK yang bikin. Kayak pasar saham, OJK yang mengatur. Ini ekosistem yang mesti kita siapkan untuk tujuan net zero emission, bukan untuk tujuan revenue collection.
Setiap sektor akan ada cap-nya. Berapa seharusnya [emisi] yang boleh dikeluarkan? Berapa yang aktual? Ini yang dikompensasi. Dicari deh kompensasinya. Silakan, either kompensasinya beli carbon certificate dari pasar atau bayar pajak. Nanti berapa rate-nya? Ya yang comparable, antara dia beli dan ini [membayar pajak].
Kalau yang plastik, aturannya sudah memungkinkan. Kita lihat saja kondisi ekonomi masyarakat supaya kita tidak introduce sesuatu yang menghambat pemulihan. Jadi, kita lihat saja pemulihan makanya belum diimplementasikan. Yang penting ada wadah atau aturannya dulu.
Di UU HKPD, salah satu pilarnya adalah local taxing power. Local taxing power adalah suatu pilar yang kita harapkan bisa membuat konstituen atau penduduk lebih dekat dengan pemerintah daerahnya. Bahwa penduduk daerah membayar pajak daerah itu penting.
Dalam arti, pajak merupakan suatu pungutan yang diberikan kepada satu level pemerintah tanpa balas jasa secara langsung. Balas jasanya nanti dalam bentuk berbagai macam layanan pemerintah di daerah tersebut.
Tapi setting desentralisasi Indonesia yang kita pakai sejak 1999 memang ditaruh sebagai keputusan-keputusan yang lebih otonom di tingkat daerah atas pengeluaran atau belanja daerah. Makanya belanja daerah itu kan [diputuskan] pemerintah daerah dan DPRD. [Terkait dengan] penerimaannya, penerimaan-penerimaan besar memang didesain ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat yang membagi. Kenapa? Karena kita negara kesatuan.
Kita bukan negara federal yang berdiri sendiri-sendiri, yang dipersilakan mengurus dirinya sendiri. Kita negara kesatuan yang penerimaan utama masuk ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat melihat keseluruhan NKRI, lalu berusaha meminimalkan 2 jenis inequality melalui alokasi transfer.
Pertama, inequality horizontal atau kemampuan antardaerah yang berbeda-beda mau kita ratakan. Kita tidak rela satu daerah tertinggal, sementara daerah lain meningkat pesat.
Kedua, inequality antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, vertical inequality. Kita ingin memastikan pemerintah daerah benar-benar bisa membiayai kebutuhan pemerintah daerahnya. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu ada pembagian kewenangan yang kedua-duanya harus bisa dibayai.
Jadi alokasi transfer kita adalah untuk meminimalkan 2 jenis ketimpangan tadi. Karena itu, pajak-pajak yang besar masuk ke pemerintah pusat, lalu dibagi. Nah, degree-nya berbeda-beda. Ada DAU, DAK, dan lainnya. Itu desain desentralisasi Indonesia.
Enggak ada target tertentu, tapi kita ingin ada better local taxing power sehingga menimbulkan koneksi yang lebih kuat antara pemda dan penduduk.
Iya. Makanya didesain tahun 1999 dengan pemahaman itu, bahwa ini Indonesia. Kita biayai sama-sama. Semua resources bisa kita pool, lalu ada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.