WAKIL MENTERI KEUANGAN SUAHASIL NAZARA:

‘Kepastian dan Efisiensi Penting untuk Wajib Pajak’

Dian Kurniati | Selasa, 20 Desember 2022 | 11:24 WIB
‘Kepastian dan Efisiensi Penting untuk Wajib Pajak’

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. 

OPTIMISTIS dan Waspada. Keduanya selalu digaungkan oleh pemerintah akhir-akhir ini, terutama untuk menggambarkan kondisi perekonomian terkini dan proyeksi pada 2023. Bagi pemerintah, sumber risiko sudah mulai bergeser dari pandemi Covid-19 ke ketidakpastian ekonomi global.

Di tengah outlook perekonomian tersebut, target dan pagu dalam APBN disetel sangat hati-hati. Pada saat bersamaan, pada 2023, pemerintah juga masih harus menjalankan serangkaian agenda perpajakan dalam bingkai reformasi.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara untuk mendapat gambaran proyeksi ekonomi dan sejumlah agenda terkait dengan fiskal yang dijalankan pemerintah. Sejumlah isu perpajakan juga menjadi bahasan. Berikut petikannya:

Baca Juga:
‘Tak Hanya Unggul Teknis, SDM Kemenkeu Juga Perlu Berintegritas’

Bagaimana pemerintah melihat outlook perekonomian dunia dan Indonesia pada 2023, terlebih ada tren pengetatan kebijakan moneter karena efek tingginya inflasi?

Pandemi sepertinya mereda. Bukan virusnya hilang karena akan tetap ada, tapi mungkin virusnya sudah bermutasi dan sepertinya tingkat fatalitasnya menurun. Semoga dengan kita sudah vaksin dan beradaptasi dengan pola hidup baru dan lebih sehat jadi lebih mereda sehingga kegiatan ekonominya muncul.

Kalau aktivitas ekonomi jalan, orang akan mulai mobilitas. Kita sudah pernah lihat periode di mana mobilitas orang akhirnya meningkatkan harga. Akhirnya harga-harga naik, inflasi. Plus [ada isu] geopolitik. Harga komoditas utama naik, terutama dengan adanya situasi perang Rusia-Ukraina.

Dalam konteks seperti itu, kita lihat bahwa risiko dari perekonomian itu bergeser. Dari risiko fatalitas akibat pandemi, menjadi risiko atas situasi kondisi ekonomi keuangan global. Kebijakan stabilisasi muncul. Bank sentral mengurangi likuiditas. Suku bunga dinaikkan.

Baca Juga:
‘Kami sedang Susun e-Learning sebagai Bahan Pembelajaran Peserta USKP’

Selama 2022 ini suku bunga naik. Diperkirakan [pada] 2023, kondisi ekonomi dunia akan berat. Proyeksi-proyeksi [dari sejumlah lembaga internasional] menunjukkan [adanya] penurunan pertumbuhan, bahkan di beberapa tempat sudah membicarakan masalah resesi.

Di Indonesia, inflasinya ternyata kita bisa tahan di tingkat yang sangat-sangat moderat. Mudah-mudahan akhir tahun kita tutup dengan angka yang juga di sekitar 5,4%. Itu memberikan optimisme. Namun, selain optimis, kita mesti waspada dengan berbagai pergerakan di global.

Jadi, optimismenya kita jaga. Kewaspadaannya kita taruh dengan sangat hati-hati, termasuk di angka-angka kebijakan fiskalnya. Angka APBN yang kita setel supaya [defisit] tahun depan kita kembali ke bawah 3%. Kita establish lagi disiplin fiskal. Kemudian, angka-angka target pertumbuhan penerimaannya relatively sangat moderat.

Baca Juga:
‘Penyesuaian Harga Eceran Mencegah Orang Berpindah ke Rokok Murah’

Tahun ini harga komoditas cukup besar. Harga komoditas dunia itu, kita sudah mulai lihat tanda-tandanya ada penurunan di 2023. Jadi, kita harus scrutinize dengan sangat dalam. Kehati-hatian itu kita taruh dalam APBN. Itu yang kita lakukan. Bottom line-nya ya 2,84% [terhadap PDB] itu.

Kita tetap mendorong pertumbuhan [ekonomi], tapi pertumbuhan yang berasal dari G [government] nanti bukan yang mendominasi. Kalau tahun 2020, G itu satu-satunya yang pertumbuhannya positif. C [consumption] negatif, X [export] negatif, M [import] pun negatif.

Bagaimana pemerintah menargetkan penerimaan pajak 2023?

Hati-hati. Waspada. Itu bagian dari waspada dan optimis. Optimisnya di mana? Optimisnya adalah kegiatan ekonomi akan terus berjalan. Waspadanya di mana? Terutama di harga komoditas. Dengan begitu, kita proyeksikan optimis karena ada pertumbuhan, tapi [ada] kewaspadaan terutama karena harga komoditas.

Baca Juga:
‘DJP Perlu Membimbing UMKM dengan Cara Sederhana agar Patuh Pajak’

Waktu kita bikin APBN 2023, ICP (Indonesian crude price) akhirnya disetujui US$90 per barel. Kalau lihat 12 bulan ini, ada kecenderungan turun, tapi kita tidak pernah tahu perdagangan forward-nya. Ini kita perhatikan secara saksama. Setiap bulan dilakukan kalibrasi.

APBN kan ada governance-nya. Kalau mau berubah, mau meningkatkan atau mengurangi pagu, mau geser-geser pagu, ada governance-nya. Itu kita ikuti.

Bagaimana arah kebijakan insentif pajak pada 2023?

Sejak saya di BKF, kita sudah lebih disiplin melaporkan penggunaan insentif pajak seberapa besar. Belanja perpajakan itu kan besaran yang seharusnya diterima pemerintah, tetapi karena ada aturan khusus, tidak di-collect. Apakah dinolkan, dibebaskan, atau apa saja namanya. Itu kita hitung satu per satu. Setiap kali kita memberikan kekhususan, pembebasan, dinolkan, atau special rate, kita hitung.

Baca Juga:
‘Kami Akan Usulkan Penerapan Top Up Tax secara Selektif’

Biasanya, kemarin-kemarin itu kan [besaran belanja perpajakan] kira-kira 1,5% dari PDB. Untuk 2022, kita akan lihat. Kalau kegiatan ekonomi muncul, biasanya pemakaiannya lebih besar, tapi kan PDB juga naik. Jadi, kita lihat pergerakannya ke arah mana.

Dengan tidak adanya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), apakah artinya insentif dalam rangka pemulihan ekonomi sudah tidak diberikan pada 2023?

Ada beberapa yang dilihat secara khusus oleh teman-teman di Ditjen Pajak. Kita lakukan pendalaman terus terhadap kondisi ekonominya biar tahu di sektor mana yang masih berat. Kalau memang masih berat, diberikan [insentif pajak] enggak apa-apa supaya bisa lebih cepat pulih. Bukan berarti sudah tidak ada PEN, insentif pajak langsung hilang. Sebelum ada PEN juga ada insentif pajak.

Pada 2023, Kemenkeu sepertinya juga akan sibuk dengan sejumlah agenda reformasi pajak, seperti implementasi UU HPP, terutama menyangkut sejumlah aturan turunan, serta pembaruan coretax system

Iya, sibuk dengan yang seperti itu. Kalau sudah jadi undang-undang, artinya kita kerjakan. PP-nya kita keluarkan. Kalau reformasi pajak, selalu 2 sisi. Satu di kebijakan dan satunya di administrasi. Di UU HPP banyak di administrasi. Terkait dengan coretax atau NIK dipakai sebagai NPWP, itu masalah administrasi. Compliance masalah tata cara pemungutan itu administrasi perpajakan.

Baca Juga:
‘IKPI Selalu Dorong Perlakuan Sama di antara Kuasa Wajib Pajak’

Namun, ada juga yang soal kebijakan, yakni subjek, objek, dan tarif. Itu juga berevolusi terus dan kita melihat terus di masyarakat. Misalnya, sewaktu awal pandemi, kita melihat sektor mana yang perlu special touch. Ke depan, administrasinya kita perbaiki dan kebijakannya kita proses terus.

Coretax system menjadi salah satu wujud penggunaan teknologi dalam administrasi pajak. Seperti apa kondisi yang diharapkan dengan adanya pemanfaatan teknologi atau digitalisasi?

Sebenarnya banyak yang bisa kita introduce dengan digitalisasi atau perbaikan sistem. Efisiensi itu pasti. Kemudian, kepastian.

Anda kan tahu beberapa BUMN punya koneksi data real time dengan Ditjen Pajak. Itu menghilangkan berbagai [urusan administrasi] faktur pajak yang mesti diisi atau diketik. Hilang semua karena bisa di-generate dengan sistem. Itu memberi kepastian, efisiensi, efektivitas, dan yang lebih penting adalah compliance. Untuk menjadi comply itu very easy and very cheap.

Baca Juga:
‘Harusnya Konsultan Pajak Otomatis Masuk, Bukan Harus Sarjana Hukum’

Kita kan juga tahu orang sebetulnya kepengin comply. Kalau bisa dibuat lebih mudah dan sederhana, orang comply menjadi menyenangkan. Semua sistem yang kita bangun itu seharusnya diarahkan untuk pelayanan wajib pajak sehingga wajib pajak mendapatkan manfaat yang maksimal.

Kepastian dan efisiensi penting untuk wajib pajak. Itu yang coba kita introduce dengan sistem. Dengan angka pajak yang sedemikian besar untuk Indonesia, sangat worth it investasi di digitalisasi sistem sehingga bisa kita perbaiki terus.

Artinya ada implikasinya juga terhadap sumber daya manusia (SDM) …

Iya, betul. Ada satu task force khusus yang bukan hanya berpikir bagaimana menginstal program, tapi juga berpikir [terkait dengan] mindset, cara kerja berubah. Kemudian, yang jauh lebih penting adalah change management-nya. Dari bekerja dengan sistem sekarang, nanti secara bertahap berpindah ke sistem yang baru.

Baca Juga:
‘Penting bagi Profesional Pajak untuk Menguasai Seni Berkomunikasi’

Pajak itu mengerjakan apa? Keseluruhan sistem diurai. Kalau sekarang bekerja secara bagian [terpisah], nanti dia dalam satu sistem coretax akan tersambung. Ini yang sedang disiapkan oleh teman-teman Ditjen Pajak secara detail.

Apakah peran pihak ketiga masih penting dalam mendorong kepatuhan pajak ke depan?

Saya rasa akan tetap sangat perlu ke depan. Penduduk kita gede banget. Populasi yang luar biasa besar dan makin lama makin banyak yang ingin comply dengan pajak. Bayangkan saja, setiap tahun pasti kita punya angkatan kerja baru masuk ke dunia kerja.

Dengan perekonomian yang membesar, pasti transaksi juga lebih besar. Dengan transaksi yang makin besar, ya perlu di-handle secara sistem agar jauh lebih efisien dan memberi kepastian ketimbang secara manual.

Baca Juga:
‘Dispute Litigator Harus Punya Daya Pikir Kreatif saat Tangani Kasus’

Menurut saya, masih sangat diperlukan peranan, misalnya dari akuntan untuk memberikan assurance, catatan yang benar, tata kelola yang benar. Kemudian, konsultan pajak untuk melakukan outreach dan tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Konsultan pajak, menurut saya, yang menerangkan aturan pajak sehingga tugas dari fiskus benar-benar menyiapkan sistem. Kalau orang mau comply, masuk ke dalam sistem. Sistem itu bisa mengakomodasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang memang bergerak di luar sana. Ikuti sistem saja bisa. Konsultan ya tetap diperlukan.

Lalu yang lain-lain, kalau di sektor keuangan di UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan), ada bagian tertentu yang memang memperkuat soal sumber daya manusia. Kita ingin pastikan compliance dan assurance, seperti akuntan itu benar-benar bekerja dengan baik. Bukan hanya untuk keperluan pajak, tapi juga macam-macam.

Baca Juga:
‘Solusi Pajak Seharusnya Didiskusikan dalam Ruang yang Tidak Tertutup’

Seperti apa arah dan tujuan reformasi perpajakan yang dijalankan Kemenkeu?

Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan masyarakat [terkait dengan] revenue collection. Revenue-nya juga [menjadi] sesuatu yang penting. Karena pembangunan kita ya yang membiayai kita, melalui pajak, bea keluar, bea masuk, dan cukai yang kita bayar.

Jadi, [untuk] pembangunan yang mau kita lakukan, yang membiayai adalah kita sendiri dari penerimaan yang di-collect dari masyarakat. Benar ada utang, tapi utang juga dibayar. Dibayarnya lewat mana? Dari penerimaan pajak, kepabeanan, cukai, dan PNBP.

Kalau kembali ke filosofi itu maka fungsi utama dari [reformasi] perpajakan adalah membuat supaya kita bisa meng-collect, masyarakat dapat membayar dengan mudah, sistem collection-nya efisien, dan masyarakat bisa comply.

Baca Juga:
‘LNSW Tidak untuk Mengurangi Kewenangan Kementerian/Lembaga’

Lewat cara apa itu? Lewat 2 cara. Reform di administrasi perpajakan dan reform di kebijakan perpajakan. Reform kita untuk membuat itu semua lebih simpel, lebih dimengerti orang banyak, dan akhirnya menciptakan compliance.

Di sisi lain, kita pakai [pajak] juga untuk mendorong kegiatan ekonomi. Kita bisa kasih insentif yang merupakan deviasi dari struktur pajak yang standar. Jadi, misal bayar pajak 100, tapi karena dikasih insentif, jadi bayar pajak 80. Insentif bisa dipakai untuk mendorong dunia usaha.

Dengan adanya pajak minimum global, bagaimana dampaknya terhadap desain insentif?

Pada saat berlaku sesuai dengan kesepakatan internasional, global minimum tax mesti siap kita terapkan di Indonesia. Kita comparing terus dengan beberapa negara lain dan menyiapkan legislasinya. Jadi, teman-teman di DJP sudah mulai memikirkan legislasi yang diperlukan.

Baca Juga:
‘Hari Pajak Jadi Momentum Pegawai DJP untuk Terus Berbenah Diri’

Pemberian insentif itu sejauh mana akan menciptakan race to the bottom? Masing-masing negara berpacu menurunkan tarif pajak penghasilan terus ke bawah. Di tataran konseptual, [race to the bottom] itu dipahami sebagai hal tidak baik karena melemahkan penerimaan negara yang idealnya nanti untuk infrastruktur dan kegiatan pembangunan.

Kalau domestic resource mobilization-nya melemah, bagaimana penerimaan negara di masing-masing negara secara global? Makanya domestic resource mobilization tidak boleh melemah. Di samping itu juga, untuk [kepentingan] level playing field-nya. Dengan logika itu, maka mulai di-develop [solusi]. Jadilah, Pilar 1 dan Pilar 2.

Nah, ngasih insentif sebetulnya boleh atau enggak? Ya boleh-boleh saja. Kita juga sudah ngasih, tapi bukan dengan cara ini. Carilah cara lain. Berbagai cara bisa kita gunakan untuk memberikan insentif itu yang tetap menjaga level playing field.

Baca Juga:
‘Pajak Lebih Tinggi, Pemerintah Tak Menyadari Malah Menekan Industri’

Apakah artinya akan ada perubahan kebijakan insentif ke depan?

Itu akan kita lihat cara negara lain seperti apa sih? Kita juga sudah mulai mikir-mikir bagaimana cara kita.

Dalam konteks kerja sama multilateral, Indonesia masih akan tetap menunggu kesepakatan?

Kita akan ikut kesepakatan, for sure.

Jika pajak minimum global berlaku, bagaimana pandangan Anda mengenai daya saing investasi di Indonesia?

Biasanya kita semua dengar, ‘kalau pajaknya turun, kita kompetitif. Kalau pajaknya lebih rendah, kita bisa lebih kompetitif’. Pajak minimum tingkat dunia itu conceptually speaking enggak begitu. Pajak itu seharusnya menciptakan level playing field.

Baca Juga:
‘Kami Punya Bank Potensi untuk Gali Potensi Pajak dari Beragam Sektor’

Kalau mengatakan pajak lebih rendah negaranya lebih kompetitif, itu cenderung menuju race to the bottom. Kalau dilakukan oleh satu negara mungkin oke, tetapi kalau dilakukan semua negara di dunia, ya masuk sumur betul. Kalau semua melakukan, malah enggak bagus.

Makanya dulu, zaman saya di BKF (Badan Kebijakan Fiskal), kadang-kadang dikatakan 'Oh Indonesia mengenakan tax holiday, to what extent itu akan menciptakan race to the bottom.' Saya selalu konsisten, terutama pada lembaga-lembaga dunia, kalau mau meng-address tentang insentif pajak yang spesifik Indonesia, bagusnya dilakukan setidaknya secara regional.

Coba dilihat Asean, Asia Timur ngasih insentif atau enggak? Namanya mungkin bukan tax holiday, tapi enggak ngasih insentif? Ngasih. Itu mesti di-address secara bersama-sama. Pilar 1 dan Pilar 2 meng-address itu secara bersama-sama, bahkan seluruh dunia. Bagus.

Baca Juga:
‘Kami Ingin Terapkan Paradigma Pajak yang Rasional dan Adil’

Jadi, di mana pun beroperasi menghadapi pajak penghasilan yang sama. Tinggal siapa yang dikasih hak memajaki. Di dalam Pilar 1 dan Pilar 2 itu, yang diberi hak memajaki adalah negara tempat dia beroperasi.

Terkait dengan pajak karbon, kapan akan diimplementasikan?

Pajak karbon merupakan bagian dari upaya kita supaya kita memiliki ekosistem yang menciptakan net zero emission. Pajak karbon bukan untuk mendapatkan penerimaan. Jadi, kita berjanji akan melakukan net zero emission.

Kegiatan ekonomi tetap mengeluarkan emisi CO2, tapi emisi CO2 yang dikeluarkan bisa dikompensasi. Kompensasinya bisa dilakukan dengan membeli carbon certificate di pasar karbon. Kalau tidak beli di pasar karbon atau belum mencukupi untuk mengompensasi maka dia bisa bayar pajak karbon.

Pajak karbon sudah diberi wewenang oleh undang-undang, tapi dia tidak berdiri sendiri. Dia bagian dari ekosistem itu semua. Pajak karbon menjadi alternatif untuk memenuhi net zero emission di tingkat sektor atau perusahaannya.

Pasar karbon mesti disiapkan. UU PPSK bilang pasar karbon, OJK yang bikin. Kayak pasar saham, OJK yang mengatur. Ini ekosistem yang mesti kita siapkan untuk tujuan net zero emission, bukan untuk tujuan revenue collection.

Termasuk mempersiapkan penentuan cap-nya?

Setiap sektor akan ada cap-nya. Berapa seharusnya [emisi] yang boleh dikeluarkan? Berapa yang aktual? Ini yang dikompensasi. Dicari deh kompensasinya. Silakan, either kompensasinya beli carbon certificate dari pasar atau bayar pajak. Nanti berapa rate-nya? Ya yang comparable, antara dia beli dan ini [membayar pajak].

Mengenai ekstensifikasi barang kena cukai, seperti plastik, bagaimana rencana pelaksanaannya?

Kalau yang plastik, aturannya sudah memungkinkan. Kita lihat saja kondisi ekonomi masyarakat supaya kita tidak introduce sesuatu yang menghambat pemulihan. Jadi, kita lihat saja pemulihan makanya belum diimplementasikan. Yang penting ada wadah atau aturannya dulu.

Setelah UU HKPD disahkan, apa yang diharapkan pemerintah? Apakah ketergantungan pemda kepada pemerintah pusat dapat berkurang?

Di UU HKPD, salah satu pilarnya adalah local taxing power. Local taxing power adalah suatu pilar yang kita harapkan bisa membuat konstituen atau penduduk lebih dekat dengan pemerintah daerahnya. Bahwa penduduk daerah membayar pajak daerah itu penting.

Dalam arti, pajak merupakan suatu pungutan yang diberikan kepada satu level pemerintah tanpa balas jasa secara langsung. Balas jasanya nanti dalam bentuk berbagai macam layanan pemerintah di daerah tersebut.

Tapi setting desentralisasi Indonesia yang kita pakai sejak 1999 memang ditaruh sebagai keputusan-keputusan yang lebih otonom di tingkat daerah atas pengeluaran atau belanja daerah. Makanya belanja daerah itu kan [diputuskan] pemerintah daerah dan DPRD. [Terkait dengan] penerimaannya, penerimaan-penerimaan besar memang didesain ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat yang membagi. Kenapa? Karena kita negara kesatuan.

Kita bukan negara federal yang berdiri sendiri-sendiri, yang dipersilakan mengurus dirinya sendiri. Kita negara kesatuan yang penerimaan utama masuk ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat melihat keseluruhan NKRI, lalu berusaha meminimalkan 2 jenis inequality melalui alokasi transfer.

Pertama, inequality horizontal atau kemampuan antardaerah yang berbeda-beda mau kita ratakan. Kita tidak rela satu daerah tertinggal, sementara daerah lain meningkat pesat.

Kedua, inequality antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, vertical inequality. Kita ingin memastikan pemerintah daerah benar-benar bisa membiayai kebutuhan pemerintah daerahnya. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu ada pembagian kewenangan yang kedua-duanya harus bisa dibayai.

Jadi alokasi transfer kita adalah untuk meminimalkan 2 jenis ketimpangan tadi. Karena itu, pajak-pajak yang besar masuk ke pemerintah pusat, lalu dibagi. Nah, degree-nya berbeda-beda. Ada DAU, DAK, dan lainnya. Itu desain desentralisasi Indonesia.

Apakah ada target tertentu terkait dengan tax ratio daerah setelah adanya UU HKPD?

Enggak ada target tertentu, tapi kita ingin ada better local taxing power sehingga menimbulkan koneksi yang lebih kuat antara pemda dan penduduk.

Bingkainya tetap negara kesatuan …

Iya. Makanya didesain tahun 1999 dengan pemahaman itu, bahwa ini Indonesia. Kita biayai sama-sama. Semua resources bisa kita pool, lalu ada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Minggu, 02 Februari 2025 | 14:30 WIB KEPALA BPPK ANDIN HADIYANTO

‘Tak Hanya Unggul Teknis, SDM Kemenkeu Juga Perlu Berintegritas’

Sabtu, 18 Januari 2025 | 13:30 WIB KEPALA PUSDIKLAT PAJAK RETNO SRI SULISTYANI

‘Kami sedang Susun e-Learning sebagai Bahan Pembelajaran Peserta USKP’

Sabtu, 04 Januari 2025 | 10:00 WIB DIR. KOMUNIKASI DAN BIMBINGAN PENGGUNA JASA DJBC NIRWALA DWI HERYANTO

‘Penyesuaian Harga Eceran Mencegah Orang Berpindah ke Rokok Murah’

Selasa, 08 Oktober 2024 | 11:15 WIB SEKJEN ASOSIASI UMKM INDONESIA (AKUMINDO) EDY MISERO:

‘DJP Perlu Membimbing UMKM dengan Cara Sederhana agar Patuh Pajak’

BERITA PILIHAN
Senin, 03 Februari 2025 | 18:30 WIB PMK 7/2025

Kemenkeu Terbitkan Pedoman Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah

Senin, 03 Februari 2025 | 17:30 WIB PMK 136/2024

Ada De Minimis Exclusion, Pajak Minimum Global Bisa Jadi Nol

Senin, 03 Februari 2025 | 16:45 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Surat Keputusan Pembetulan?

Senin, 03 Februari 2025 | 16:21 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Inflasi Januari Cuma 0,76 Persen, Diskon Listrik Jadi Penyebab

Senin, 03 Februari 2025 | 16:09 WIB KOTA TANJUNGPINANG

Waduh! Pemkot Dituding Bikin Agenda Fiktif Pencetakan Buku Perda Pajak

Senin, 03 Februari 2025 | 15:30 WIB CORETAX DJP

Baru! DJP Rilis Buku Panduan Pembuatan Bukti Potong PPh Via Coretax

Senin, 03 Februari 2025 | 15:21 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Ada Titipan Pesan dari Gibran ke Bahlil Soal Elpiji 3 Kg, Apa Isinya?

Senin, 03 Februari 2025 | 15:09 WIB AGENDA PAJAK

Hadapi 2025, DDTC Gelar Seminar Eksklusif di Cikarang

Senin, 03 Februari 2025 | 14:09 WIB CORETAX SYSTEM

Perlu Waktu, Coretax Belum Nyambung ke Seluruh Bank dan Kementerian

Senin, 03 Februari 2025 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Tata Ulang Lahan Kebun Sawit, Pastikan Kepatuhan Pengusaha