Co-captain Timnas Anies-Muhaimin Thomas Lembong.
PASANGAN capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dalam kampanyenya menjanjikan kebijakan pajak yang lebih rasional apabila terpilih dalam Pilpres 2024.
Maksudnya, aktivitas ekonomi yang berdampak positif pada masyarakat bakal diberi insentif. Insentif yang disiapkan salah satunya berupa penghapusan pajak atas pendapatan dari bunga tabungan.
Sebaliknya, aktivitas ekonomi yang dianggap merugikan masyarakat dan lingkungan justru akan dikenakan pajak atau pungutan dengan tarif tinggi. Misal, kebijakan pajak atas emisi karbon serta pengenaan cukai atas minuman dan makanan bergula.
Di sisi lain, pajak juga didorong untuk mempersempit kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Caranya, mengenakan pajak kekayaan dan pajak warisan kepada si kaya, serta meringankan tarif pajak penghasilan untuk masyarakat kelas menengah agar mampu naik kelas.
Dalam wawancara bersama DDTCNews, Co-captain Timnas AMIN Thomas Lembong menjelaskan lebih detail arah kebijakan pajak yang ditawarkan Anies-Muhaimin. Dia juga menjelaskan alasan Anies-Muhaimin memasang target rasio pajak yang lebih konservatif ketimbang 2 pasangan calon lainnya. Berikut petikannya:
Yang pasti pasangan Anies-Muhaimin paling berorientasi pada pemerataan. Sudah beberapa kali kami ungkapkan, termasuk saat bersebelahan dengan 2 pasangan calon lainnya. Misalnya, kami punya target pertumbuhan ekonomi yang paling konservatif, yaitu pertumbuhan PDB dengan rata-rata sebesar 5,5% - 6,5% per tahun pada 2025 -2029.
Komitmen kami, lebih baik pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% - 6,5%, tetapi merata. Ini satu aspek yang sangat penting menurut kami. Kami bahkan melihat tantangan pertama pertumbuhan ekonomi saat ini adalah ketimpangan. Jadi, pemerataan itu penting dari berbagai segi. Itu yang pertama.
Kedua, kami mau mengembalikan berbagai kebijakan, termasuk ekonomi, kepada teknokrasi. Hemat kami, banyak kebijakan kita sudah terlalu politis. Jadi, lebih kepada pencitraan daripada yang sebetulnya masuk akal dari segi akal sehat.
Ketiga, tentunya kita harus mengatasi berbagai tantangan seperti krisis iklim. Mau tidak mau karena krisis itu sudah di depan mata dan ini bukan sesuatu yang akan datang. Kita sudah mengalami peningkatan suhu yang signifikan, seperti di wilayah Jakarta dan Tangerang yang pernah hampir mencapai 40 derajat celcius. Sudah banyak kejadian cuaca ekstrem.
Melihat hal itu, target pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi relatif kurang realistis. Terlebih, kita harus membiayai atau menyisihkan pendanaan untuk transisi energi kepada sumber energi yang emisi karbonnya lebih rendah.
Selain itu, kita juga harus bersiap untuk menghadapi ancaman, misalnya terjadi lagi sebuah pandemi atau krisis kesehatan lainnya.
Ketimpangan ini saya rasa ada beberapa dimensi. Tentu yang paling banyak dibicarakan dalam kampanye adalah antara Jawa dan luar Jawa. Kami setuju dengan itu, tetapi jangan berhenti di situ saja karena masih banyak masih ketimpangan.
Misal, ketimpangan vertikal antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi, berpenghasilan menengah, dan berpenghasilan rendah.
Kemudian, ada ketimpangan struktural dalam berbagai sektor industri. Misal, konsentrasi sektor yang hanya 2 atau 3 pelaku. Itu juga ketimpangan. Ini mengapa Pak Muhaimin menyampaikan rencana untuk memajaki 100 orang terkaya.
Sebenarnya kita tidak ada isu dengan individu-individu tersebut. Isu itu lebih dengan struktural dari sektor yang mereka kuasai. Kebanyakan sektor sudah mengalami konsolidasi sampai trennya tinggal 2, 3, bahkan hanya 1 pemain de facto. Seperti yang disampaikan Pak Muhaimin, ini kita slepet.
Kami gebrak supaya ada persaingan yang menyegarkan, supaya tertanam persaingan yang dapat menghasilkan ide atau inovasi baru. Persaingan juga akan sehat dan baik untuk konsumen karena persaingan cenderung menurunkan harga bagi konsumen.
Di sisi lain, ini juga baik untuk industri karena memicu inovasi, variasi produk baru, kemasan baru, atau cara pemasaran baru. Kenapa ekonomi cenderung lesu? Iya ini karena kurangnya persaingan, kurang dinamis.
Kalau tidak ada persaingan, sudah terkonsolidasi menjadi sebuah oligopoli, akan stagnan. Makanya, ketimpangan bukan hanya Jawa-luar Jawa, kaya dan miskin, tetapi juga pada sektor.
Mungkin sudah terbiasa kita memulai diskusi dengan APBN dan APBD, yang sebetulnya agak saya sesalkan. Karena banyak sekali peluang untuk memperbaiki ekonomi di luar APBN dan pendanaan oleh swasta. Satu tema utama dari Slepetnomics adalah reformasi struktural.
APBN sudah pasti akan membutuhkan penyesuaian untuk mencapai sebuah pemerataan. Satu hal yang banyak orang tidak sadar bahwa dua per tiga dari APBN kita yang sekitar Rp3.000 triliun adalah belanja pusat. Hanya sepertiga yang menjadi transfer ke daerah.
Kalau kita lihat tren dalam 10 tahun terakhir, porsi APBN yang belanja pusat tumbuhnya tinggi, sedangkan porsi belanja ke daerah pertumbuhannya rendah. Tak mungkin kita mencapai pemerataan kalau belanja pusat yang bertumbuh terus, tetapi transfer ke daerah tidak tumbuh.
Pak Anies dan Pak Muhaimin sudah pasti mau sebaliknya, belanja pusat dibatasi dan transfer ke daerah harus bertumbuh. Itu logika dasar kalau kita mau mengurangi ketimpangan antardaerah.
Selanjutnya, seperti yang Pak Muhaimin sampaikan, kita mau memajaki 100 orang terkaya. Sebenarnya bukan 100 individu itu, tetapi business empire yang mereka kuasai.
Sekali lagi, banyak orang tidak sadar harta 100 orang terkaya ini melebihi aset yang dimiliki 100 juta penduduk kita. Menurut Forbes yang mengompilasi data secara berkala, 50 orang terkaya di Indonesia memiliki total kekayaan sekitar US$250 miliar atau hampir Rp4.000 triliun pada 2023.
Jadi, memang lebih kepada wealth tax, bukan income tax. Kami ingin memajaki harta, bukan penghasilan. Terlebih, kebanyakan dari konglomerasi bisnis juga sudah menjadi oligopoli. Dengan demikian, menghasilkan risiko sistemik.
Mereka menikmati yang namanya oligopoli profit, duopoli profit, atau monopoli profit. Salah satu cara untuk mengoreksinya adalah dengan memajaki profit yang abnormal, profit yang dihasilkan bukan dari inovasi atau nilai tambah, tetapi sekadar dari dominasi.
Kemudian, kita harus membenahi kebocoran-kebocoran. Pak Anies sering mengingatkan sering [muncul] sensasi mengenai kebocoran dari sisi belanja, seperti korupsi pada proyek atau program pemerintah, tetapi kita kurang perhatian kepada kebocoran di sisi pendapatan negara.
Kebocoran di sisi penerimaan lebih gampang disembunyikan karena sudah disepakati atau dicatat lebih awal. Ini contoh-contoh untuk memperbaiki isu-isu ketimpangan sekaligus kebijakan yang mungkin kurang rasional.
Pasti. Saya rasa posisi Anies-Muhaimin makin jelas bahwa kita ingin mengerem yang namanya IKN yang angkanya sekitar Rp460 triliun. Daripada menggunakan ratusan triliun untuk satu titik di Kalimantan Timur saja, kita lebih memilih menggunakannya untuk puluhan kota di semenanjung Indonesia.
Pak Muhaimin menyampaikan 40 kota adalah kelanjutan yang disampaikan Pak Anies 14 kota. Itu menggunakan sebuah studi dari World Bank pada 2015. Sejak itu kita sudah mengembangkan konsep ini lebih lanjut menjadi 40 kota.
Kami akan bagi menjadi kota-kota primer, sekunder, dan bahkan ada juga kota tersier. Bagi kami kalau tujuannya pemerataan, lebih masuk akal kalau mengembangkan puluhan kota, di seluruh Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Jangan lupa bahkan di Jawa dan Bali juga masih ada kantong-kantong kemiskinan. Misalnya, di Provinsi Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masih ada kantong kemiskinan yang angkanya sangat kelihatan.
Studi World Bank sejak 2015 sudah menunjukkan bahwa untuk 14 kota besar di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar dibutuhkan kira-kira Rp170 triliun. Tetapi itu angka 2014. Kalau saya mengestimasi angkanya ditarik ke 2023, mungkin sudah menjadi Rp270 triliun.
Angka itu jauh lebih kecil ketimbang Rp460 triliun hanya untuk 1 titik di Kalimantan Timur. Populasi di 14 kota ini kira-kira 18.5 juta jiwa, sedangkan di IKN hanya beberapa puluh ribu orang di awal, dan mencapai hampir 2 juta pada 2045.
Dengan perbandingan itu, apakah kita mau mengeluarkan Rp200-Rp300 triliun untuk 200 juta warga kita di 14 kota atau Rp460 triliun untuk 2 juta warga di 2045.
Niat kami adalah pertama, mengevaluasi seluruh proyek ini karena proyek ini sudah berjalan selama 3 tahun. Tentu banyak pelajaran dari realita yang terjadi.
Kedua, sudah pasti kita mau mengerem. Namun, sekali lagi, kami tidak punya niat selain niat baik. Tidak ada keinginan untuk menciptakan sebuah proyek mangkrak. Kita tetap patuh pada UU IKN. Kami juga sensitif pada citra dan reputasi republik di mata dunia.
Kami tidak mau mempermalukan siapa-siapa karena itu berisiko tidak baik untuk citra Indonesia di mata internasional.
Memang istilah Indonesia Emas 2045 juga masuk dalam visi-misi Anies-Muhaimin. Tetapi, kami mau memastikan tidak terlena dengan mimpi yang jauh, sedangkan sekarang pun kebanyakan masyarakat sedang kesulitan dengan kenaikan harga sejumlah pangan sebesar 20% - 30% hanya dalam setahun ini. Berbagai biaya hidup tinggi dan mahal, termasuk biaya kesehatan, biaya pendidikan.
Hampir di semua tempat yang kita kunjungi selama kampanye, hampir semuanya mengeluhkan lapangan kerja yang susah. Sulitnya mencari kerja yang stabil, yang menghasilkan upah yang stabil juga. Mereka pun yang punya pekerjaan pasti penghasilannya tidak naik-naik.
Tentunya, kita harus punya mimpi, visi jangka panjang. Tetapi bagi kami, kondisi saat ini sudah lumayan darurat untuk menuntaskan persoalan harga pangan, untuk meredam biaya hidup yang makin mahal, dan juga di bidang kesehatan dan pendidikan.
Banyak sekali. Saya jawab dengan 2 bagian. Pertama, tetap menjawab pertanyaan mengenai pendanaan atau duitnya dari mana. Kedua, saya ingin menjawab soal reformasi struktural yang sebetulnya tidak membutuhkan dana. Ini reformasi kebijakan, reformasi sektoral, dan reformasi administrasi.
Mengenai pendanaan, kita sudah banyak bicara bahwa tidak semua harus didanai dari APBN. Sudah pasti kita mengajak dunia swasta untuk ikut mendanai. Misal, kurangnya pelayanan kesehatan dan pendidikan sebenarnya merupakan peluang bagi sektor swasta.
Harus kita akui bahwa banyak rumah sakit terbaik di Indonesia adalah rumah sakit swasta. Rumah sakit swasta sangat canggih dan cenderung lebih efisien daripada rumah sakit pemerintah. Tetapi yang sekarang ini lebih terbatas untuk high-end.
Bayangkan suatu reformasi kebijakan atau reformasi struktural membuat peluang terbuka luas untuk sektor swasta membangun rumah sakit-rumah sakit kecil di daerah dan ikut mendongkrak kapasitas sektor kesehatan. Sambil juga meraup profit yang wajar.
Banyak sekali yang mau kita kembalikan ke swasta. Orang sering lupa sebelum era Pak Jokowi, banyak jalan tol dibiayai oleh konsorsium sektor swasta. Baru di era Pak Jokowi digeser ke APBN karena APBN lebih cepat.
Hanya beberapa bulan negosiasi dengan DPR untuk anggaran tahun berikutnya, kita langsung dapat alokasi. Begitu menteri keuangan tanda tangan, langsung cair. Sementara untuk menggalang konsorsium dari swasta, butuh waktu.
Biasanya mereka prosesnya juga lebih teliti dan komprehensif, sehingga butuh waktu. Sedangkan BUMN diperintah langsung jalan. Namun, konsekuensinya adalah pembangunan infrastruktur 10 tahun terakhir, mewariskan ribuan triliun rupiah utang, dan ratusan triliun rupiah utang BUMN juga. Ini sudah pasti tidak bisa diteruskan karena sudah mentok.
Jadi, mau tidak mau banyak pembangunan infrastruktur harus dikembalikan kepada swasta meskipun itu membutuhkan lebih banyak waktu. Namun, biasanya juga, mohon maaf, kalau dibangun swasta lebih bagus kualitasnya daripada oleh BUMN. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi hampir seluruh negara.
Kembali lagi bahwa kita mau memastikan kebijakan pajak yang rasional. Sebenarnya prinsip dari perpajakan itu kira-kira seperti ini: hal-hal yang mau kita tingkatkan, jangan justru dipajaki. Karena pajak itu bisa menjadi disinsentif.
Kalau misalnya kita mau membangun sebuah budaya menabung, ya jangan dipajaki. Atau kita mau memberikan motivasi yang maksimal bagi orang untuk kerja keras, menghasilkan pendapatan yang tinggi, jangan malah dikenakan pajak yang tinggi. Karena orang terima gaji dan dipotong pajak, langsung loyo setelah sepertiga uangnya hilang.
Sebaliknya, kita justru harus memajaki hal-hal yang mau kita kurangi. Seperti polusi. Kemudian, minuman dan makanan manis yang menyebabkan diabetes dan memicu penyakit kronis sehingga memicu kesehatan publik yang buruk dan merugikan BPJS Kesehatan.
Yang kami lihat kebijakan pajak saat ini terlalu konvensional. Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, serta pajak bumi dan bangunan. Kita justru mau menggesernya kepada pajak dan cukai pada hal-hal yang mau kita kurangi.
Umpamanya kita mau mengurangi sampah, kan sudah viral di mana-mana begitu banyak daerah di Indonesia seperti Bali dan Jabodetabek punya masalah besar sampah. Volume sampah besar sekali dan dari tahun ke tahun meningkat terus. Kenapa tidak kita pajaki sampah itu?
Sebetulnya bentuk paling lazim itu tentunya sebuah iuran sampah. Sekarang kita mendapat layanan sampah gratis oleh pemda yang keliling mengumpulkan sampah untuk membawanya ke tempat penumpukan sampah atau kita bayar kontraktor yang tidak jelas itu sampahnya ke mana.
Namun, peluang atau kenikmatan menghasilkan sampah bebas sekali. Bayangkan kalau sampah kita ditimbang dan kita mendapatkan tagihan seperti kartu kredit. Orang langsung melotot dan akan berpikir bagaimana caranya mengurangi sampah.
Makanya, hal yang ingin kita kurangi dari sampah sampai konsumsi gula yang tidak sehat, emisi karbon, itu yang harus kita pajaki. Kami sangat yakin bisa menaikkan rasio pajak tanpa menaikkan tarif pajak.
Kami bahkan punya niat menurunkan tarif pajak kelas menengah. Tetapi kita bisa meningkatkan rasio pajak maupun memperluas basis pajak dengan mulai ‘memajaki’ hal-hal negatif yang selama ini tidak dipajaki, seperti volume sampah [serta] single use plastic yang punya akibat buruk bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Lalu emisi karbon yang memperburuk krisis iklim dan pertanian kita karena ada kemarau panjang dan cuaca ekstrem.
Saya kira yang menarik sebagai contoh dan tentunya ini akan melalui konsultasi publik yang melibatkan ahli dan pakar di dalamnya. Sebagai contoh pajak warisan, ini suatu prinsip kami keadilan.
Biasanya yang menerima warisan bukan berkat kerja kerasnya, tetapi sekadar menjadi orang dalam atau ordal, diwariskan kepada ordal. Biasanya warisan akan memicu ketidakadilan.
Yang kerja mati-matian, hanya menikmati gaya hidup seperti ini. Sedangkan dia yang hanya ordal atau lahir di keluarga kaya, walaupun malas-malasan, bisa hidup dengan wah.
Pajak warisan sangat menarik. Menurut studi sejauh ini, contoh Inggris punya pajak warisan 40% atas harta yang diwariskan. Sangat menarik.
Sekali lagi, tidak ada gunanya mencoba memajaki penghasilan orang kaya karena orang kaya bisa menyembunyikan penghasilan di luar negeri atau tax haven. Tetapi aset atau harta akan lebih kelihatan.
Setiap orang juga pasti meninggal, termasuk orang kaya. Ketika kekayaan itu diwariskan kepada generasi berikutnya, itu peluang yang baik untuk mengambil pajak warisan. Korea juga saya tahu banget punya pajak warisan yang sangat ketat.
Target rasio pajak yang konservatif itu yang membuat kami pede (percaya diri) kita bisa mencapai atau meningkatkan rasio pajak tanpa meningkatkan tarif pajak.
Sementara itu, kedua pasangan calon lain Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud sudah menyampaikan bahwa mereka mau meningkatkan 2 kali lipat, dari 10% menjadi sekitar 20%. Itu tidak mungkin tercapai dalam 5 tahun tanpa menaikkan tarif pajak. Itu tidak mungkin secara matematis.
Namun, kalau hanya menaikkan dari 10% menjadi 13% atau 15%, itu masih bisa dicapai tanpa menaikkan tarif pajak. Bahkan untuk kelas menengah, kita mau menurunkan tarif pajaknya.
Kami mau fokus kepada konglomerat dan konglomerasi serta oligopoli yang mencetak superprofit atau profit-profit lain yang di atas batas wajar, seperti [penerapan] windfall profit tax.
Misalnya, ada kejadian perang Ukraina yang tiba-tiba membuat harga minyak nabati melonjak. Itu sangat menguntungkan bagi produsen tetapi sangat merugikan bagi masyarakat yang menderita karena harga minyak goreng sangat tinggi.
Itu gejolak yang sebetulnya membutuhkan intervensi pemerintah untuk meredistribusi dari superprofit yang tiba-tiba melonjak, dipakai untuk mendanai subsidi kepada masyarakat yang tiba-tiba dirugikan.
Kami juga memantau konsensus banyak ekonom bahwa tahun depan ekonomi global akan masuk ke dalam resesi karena bank sentral Amerika menaikkan bunga secara drastis dalam 2 tahun terakhir, yang efeknya baru akan terasa pada tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi di AS sudah pasti akan melamban dan karena itu mungkin mengakibatkan seluruh dunia masuk dalam sebuah resesi global. Biasanya dalam resesi itu, rasio pajak cenderung turun, bukan naik. Ini karena penghasilan wirausaha dan pekerja saat resesi juga turun.
Kalau kita genjot lagi pajak, itu malah makin membebani ekonomi yang sudah melambat. Makanya, kami tidak mau menambah beban kepada masyarakat yang sudah terbebani oleh biaya pangan yang tinggi, lapangan kerja yang susah, penghasilan yang stagnan.
Sekali lagi itu pasti butuh konsultasi publik dari pakar, ahli, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat. Ini juga harus melalui proses yang transparan.
Namun, secara teknokratis, sudah pasti harga karbon akan naik. Hak untuk menciptakan emisi atau berpolusi harus dibuat lebih mahal untuk memberikan disinsentif karena mencemari lingkungan.
Jadi, pajak karbon bakal cenderung progresif karena yang punya emisi karbon lebih tinggi biasanya dari orang-orang kaya. Yang pakai mobil gede, yang hidup di rumah besar dengan AC banyak, dan yang sering pelesiran.
Kebetulan ini akan sama seperti sampah. Perkiraan saya, suatu keluarga yang kaya, emisi karbon dan sampahnya mungkin ekuivalen dengan 100 atau 200 keluarga miskin. Ini konsekuensi ketimpangan lagi. Tetapi, ini contoh kebijakan yang rasional.
Kami manfaatkan ketimpangan tersebut. Mereka yang emisi karbonnya lebih banyak harus membayar denda karbon. Saya pribadi lebih suka istilah carbon penalty daripada carbon tax. Orang kan tidak suka dipajaki.
Ada beberapa hal mengenai badan penerimaan negara. Pertama, badan ini akan langsung berada di bawah presiden sehingga presiden yang mengomando secara langsung. Kedua, mengurangi tugas atau kewenangan Kementerian Keuangan yang terlalu banyak.
Kita mungkin butuh sosok yang lebih powerful di samping hanya menteri keuangan yang sudah punya begitu banyak tugas. Juga, [badan penerimaan] bisa langsung dikomandoi oleh presiden sehingga mengoordinasikan semua kementerian yang lain.
Saya dulu sebagai kepala BKPM berkoordinasi dengan kementerian sektoral mulai Kementerian Perindustrian, sampai Kementerian Pariwisata, Kementerian Perdagangan, dan lainnya bagaimana bisa menarik investasi. Semua sektor kan butuh investasi atau modal.
Demikian juga sebuah badan penerimaan, bisa fokus untuk memaksimalkan potensi penerimaan dari semua kementerian-kementerian. Misal, pemasukan negara dari pariwisata, pemasukan negara dari industri, pemasukan negara dari perdagangan, bahkan pendidikan dan kesehatan sehingga menjadi lebih fokus.
Jadi, [badan penerimaan] benar-benar fokus kepada aspek penerimaan negara, lintas sektor dan lintas kementerian.
Ini masih dalam tahap diskusi, tetapi ini hanya contoh atau wacana dari saya. Bayangkan kalau misalnya sama halnya dengan kepala BKPM dulu, yang merupakan pejabat setingkat menteri dan dilantik bersama menteri.
Bayangkan kalau kepala badan penerimaan juga merupakan pejabat setingkat menteri dan dilantik dengan menteri-menteri yang lain. Ini baru wacana, tentunya perlu konsultasi publik yang terbuka dan meminta masukan dari para pakar dan ahli.
Kalau menurut saya sih [PNBP] harus masuk ke dalam badan itu juga. Jadi, segala aspek penerimaan negara. Seperti halnya pajak karbon. Itu kan lintas kementerian. Misal, sektor pariwisata kan punya emisi karbon. Jadi, badan penerimaan ini fokus pada aspek penerimaan negara dan lintas sektor.
Namun, kami menyadari, pembentukan badan penerimaan ini butuh waktu. Harus pelan-pelan. Tapi kita juga tidak ingin habis waktu di sana saja.
Waktu menjabat sebagai kepala BKPM, saya mendapat banyak keluhan dari investor asing. Sedikit sekali negara yang memajaki bunga, misal seperti obligasi pemerintah. Ini aneh karena banyak negara yang justru menumbuhkan budaya menabung. Ini kan jadinya disinsentif.
Untuk itu, kita harus meminimalkan pajak bunga tabungan atas instrumen atau aset yang merupakan tabungan masyarakat. Kita ganti dengan pajak, cukai, atau iuran untuk hal-hal yang ingin dikurangi, seperti sampah, emisi karbon, minuman gula, dan hal-hal negatif lainnya.
Tentu, dalam menerapkan komitmen itu nanti, kami melakukan konsultasi publik yang transparan dan atas dasar analisa yang rasional dari pakar-pakar dan pemangku kepentingan.
Begini, kalau kita terlalu memajaki kelas menengah, mereka akan sulit untuk naik menjadi kelas menengah atas. Kalau kita memajaki kelas menengah bawah maka mereka juga akan sulit naik menjadi kelas menengah.
Hal ini bisa berpotensi membuat mobilitas sosial mandek karena beban pajak terlalu tinggi pada kelas menengah. Pada gilirannya, ini bisa memperparah ketimpangan vertikal antara kelas yang sudah kaya dan kelas menengah atau menengah atas.
Di Amerika, ada istilah bagus, yaitu High Earners Not Rich Yet atau disingkat HENRYs. Jadi, belum bisa disebut kaya, tetapi penghasilannya sudah tinggi seperti para profesional di sektor keuangan, konsultan, atau bahkan influencer.
Mereka tak bisa disebut kaya meski punya penghasilan tinggi. Ini terjadi karena biaya-biaya mereka juga banyak. Influencer misalnya butuh tim editing video, videografer, atau staf-staf untuk mengolah konten.
Orang lain mungkin melihat penghasilan mereka besar. Namun itu kan cuma penghasilan, belum dengan ongkosnya yang juga banyak. Setelah dikurangi, mereka mungkin enggak sejahtera juga. Ditambah lagi ada beban pajak, beban pendidikan, dan lain sebagainya.
Kami meyakini langkah mengurangi beban pajak ini rasional. Semua negara yang sukses secara ekonomi atau merata kesejahteraannya itu memiliki masyarakat kelas menengah yang tebal dan kuat. Dan itu terus ditumbuhkan.
Soal ini, saya setuju sekali. Saya percaya ada persepsi keliru bahwa orang itu sudah pasti enggak mau bayar pajak, sudah pasti mau mengurangi pajak. Tapi menurut saya, tidak demikian. Menurut saya, wajib pajak itu rasional.
Kalau umpamanya layanan publik yang mereka dapat itu sangat bagus. Mereka akan dengan senang hati membayar pajak. Saya punya cerita ketika di Singapura. Di sana kan tarif pajak rendah. Namun, infrastruktur dan layanan publik di sana luar biasa.
Saya dan istri pun kaget kok bayar pajaknya segini loh (kecil), padahal angkutan umum, layanan kesehatan itu luar biasa. Lingkungan bersih, mengurus perizinan juga sederhana dan cepat. Kami jadi malu sendiri kok pajak kami cuma segini.
Jadi, saya pikir wajib pajak itu rasional. Kalau mereka mendapat layanan publik yang proporsional dengan pajak yang mereka bayar, mereka tidak akan keberatan. Tapi, kalau pajak yang ditagih sudah berat, jalanan macet, polusi, termasuk korupsi, tentu bikin capek bayar pajak.
Kalau kita serius memberantas korupsi, serius memperbaiki layanan publik maka saya yakin wajib pajak rasional dan merespons positif.
Tentu, sangat penting. Keinginan untuk memberantas korupsi akan omong kosong jika tidak ada transparansi. Saya pikir anggaran pemerintah perlu dibuka agar publik bisa ikut memeriksa. Kalau bisa harus sampai tingkat kelurahan dan desa.
Setahu saya di negara maju, penyusunan anggaran atau realisasi anggaran itu sangat transparan. Supaya publik bisa mengerti uang pajak itu dipakai untuk apa saja. Buka juga anggaran pusat ke daerah. Berapa yang ke kecamatan atau desa, supaya warga bisa tahu.
Jadi, kami akan menerapkan paradigma pajak yang lebih rasional. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipajaki, seperti bunga tabungan, maka tidak perlu dipajaki. Kami justru memajaki hal-hal yang perlu dikurangi, seperti sampah, emisi karbon, konsumsi gula, dan lain sebagainya.
Kami juga akan menggiatkan lembaga-lembaga yang harus berkoordinasi aspek penerimaan, lintas sektor, lintas kementerian, untuk mengoptimalkan potensi penerimaan.
Kami juga akan menggunakan kebijakan pajak dalam rangka pemerataan kemakmuran. Seratus orang terkaya, konglomerasi, aglomerasi bisnis, oligopoli, nantinya harus menanggung pajak lebih. Karena mereka menikmati profit yang juga lebih.
Sementara itu, beban pajak untuk masyarakat kelas menengah dikurangi demi menumbuhkan kelas menengah yang tebal dan kuat sehingga menjadi tulang punggung ekonomi.
Jadi, pasangan AMIN akan menjamin paradigma pajak yang rasional dan adil sehingga menghasilkan kemakmuran yang merata. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.