Eduard Douwes Dekker
DI SEBUAH losmen kecil di Kota Brussels yang sibuk, seorang lelaki yang baru patah hati mengurung diri di kamar, merenung dan menulis. Tapi ia mungkin tak membayangkan akan menulis sesuatu yang gawat, yang kelak akan membunuh kolonialisme Eropa yang sombong.
Tahun itu 1859. Kolonialisme Eropa di dunia ketiga terus menderu tak hendak berakhir. Pabrik-pabrik semakin banyak berdiri, berkejaran dengan teknologi. Tapi di China, babak kedua Perang Candu sudah dimulai. Di Indochina, Angkatan Laut Prancis sudah menguasai Saigon.
Lelaki itu sendiri baru pulang dari Lebak, Banten, Hindia Belanda. Ia memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak, lalu pulang ke kampung halamannya di Belanda. Tanpa penghasilan yang jelas, istri dan dua anaknya pun meninggalkannya.
Larut dalam rasa frustasi karena tidak punya penghasilan tetap dan ditinggal pergi istri yang meminta cerai, Eduard Douwes Dekker memilih mengurung diri di losmen. Perlahan ia mencoba menuliskan novel Max Havelaar,pengalaman ngerinya selama menjadi asisten residen Lebak.
Max Havelaar memang ditulis saat tanam paksa berlangsung. Dari pengalamannya sebagai Asisten Residen Lebak itulah, ia melihat sendiri bagaimana ‘darah' penduduk Lebak diisap pejabat kompeni dan pribumi feodal. Para pejabat itu juga meminta pajak yang tak masuk akal.
Sistem tanam paksa adalah kebijakan warisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch sejak 1930. Kebijakan ini dilatari kesulitan keuangan Pemerintah Hindia Belanda, terutama akibat Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830).
Kebijakan itu mewajibkan desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanam komoditas ekspor seperti kopi dan tebu, dengan masa kerja 66 hari setahun. Tanah yang diserahkan bebas pajak. Hasilnya diserahkan ke Belanda dan jika melebihi harga sewa, kelebihannya dikembalikan.
Namun, praktiknya jauh menyimpang. Hampir separuh wilayah pertanian ditanami kopi dan tebu. Lahan itu juga kena pajak, dengan masa kerja 225 hari. Hasilnya diserahkan ke Belanda dengan harga sangat murah tanpa ada lebih. Padahal, kegagalan panen tanggung jawab sendiri.
Celakanya, ada komisi dari hasil panen yang diberikan kepada para pejabat lokal. Akibatnya, pejabat pribumi itu turut memaksa rakyatnya bekerja keras supaya tanamannya menghasilkan panen yang lebih banyak. Hasilnya adalah sebuah wajah perekonomian yang jomplang.
Di satu sisi, para ambtenaar bersuka cita, di lain sisi rakyat jelata kian nestapa. Tak butuh waktu lama bagi Van Den Bosch untuk memperbaiki kas pemerintah. Tidak heran, dengan kekuatan ekonomi sejak 1830 itu, Belanda pun menikmati stabilitas kekuasaannya di Hindia Belanda.
“Bukankah ketidakpuasan yang lama ditekan itu terus ditekan agar bisa disangkal, dan akhirnya akan berubah jadi kemarahan, keputusasaan, dan kegilaan? Tidak bisakah kau melihat di ujung semuanya ini adalah pemberontakan?” kata Multatuli, nama alias Dekker pada novelnya.
Dalam novel itu, dengan lantang ia melukiskan penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat tanam paksa. Ia juga mencela Pemerintah Hindia-Belanda atas kebijakan kolonialismenya yang jauh dari nilai-nilai humanisme, kebijakan yang memeras, membunuh, dan tidak manusiawi.
Pada 1860, novel itu terbit. Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij. Belanda pun gempar. Dari novel itulah warga Belanda sadar, bahwa kemakmuran yang mereka raih di Eropa adalah hasil penderitaan rakyat di belahan dunia lain.
Tak perlu waktu lama, tekanan kelompok Liberal di parlemen Belanda pun muncul, agar pemerintah mengubah kebijakan kolonialismenya. Dari situ lalu muncul politik etis, yang memaksa Belanda membayar kembali utangnya ke rakyat jajahan dengan memberi pendidikan.
Dari pokok yang terakhir itu pergerakan kebangsaan nasional lahir. Tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, dr. Tjipto, Ki Hajar Dewantoro, lalu Soekarno dan Hatta, muncul. Politik etis itulah yang berbalik menghentikan kolonialisme Eropa di Asia lalu Afrika pada paruh abad ke-20.
Mungkin karena itu, Pramoedya Ananta Tour di New York Times, 18 April 1999, menyebut Max Havelaar sebagai buku yang membunuh kolonialisme Eropa. “Kebenaran, agar bisa menemukan jalan masuk, harus sebegitu sering meminjam gaun kebohongan,” kata Multatuli. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.