Wakil Ketua Umum Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama.
KEPASTIAN pajak menjadi aspek yang krusial bagi wajib pajak, terutama pelaku usaha dan investor. Laporan OECD (2016) ‘Tax Morale: What Drives People and Businesses to Pay Tax?’ menyebutkan hubungan antara otoritas pajak dan pelaku bisnis merupakan jantung dari sebagian besar sumber ketidakpastian pajak.
Bagaimana pengusaha melihat hal ini? Apa pula yang menjadi perhatian besar pelaku usaha sebelum memutuskan untuk berinvestasi? InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) belum lama ini mewawancarai Wakil Ketua Umum Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama. Berikut kutipannya:
Bagaimana pengusaha melihat kebijakan pajak Indonesia sejauh ini dalam kaitannya dengan investasi?
Pengusaha tentu melihat kebijakan pajak bukan suatu penentu utama, melainkan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor, terutama yang datang dari luar negeri. Kalau investor luar negeri, salah satunya melihat kebijakan insentif, misalnya tax holiday dan tax allowance. Dari statistik terlihat kebanyakan yang mendaftar itu kan dari perusahaan luar negeri dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Tentu kita patut apresiasi adanya kebijakan dari sisi pajak. Namun, apakah cukup untuk menarik investasi? Investor pasti melihat pada sisi ketenagakerjaan, apakah tersedia atau enggak? Kalau tidak tersedia mereka harus membawa tenaga kerja dari luar. Indonesia juga punya masalah dalam hal ketenagakerjaan yang saat ini, undang-undangnya mau diamendemen. Ini karena ada beberapa hal yang memberatkan pelaku usaha.
Kemudian, soal kepastian hukum. Ini menyangkut juga birokrasi dengan peraturan antarinstansi yang tumpang tindih. Lalu, faktor-faktor lain itu adalah ketersediaan dana murah atau pembiayaan dari lembaga keuangan serta infrastruktur yang terkoneksi. Kalau investasinya jauh di pelosok, maka akan membuat biaya logistik menjadi tinggi. Belum lagi nanti cerita high cost economy seperti pungutan liar dan retribusi tidak resmi. Itu untuk investor luar negeri menjadi pertimbangan. Yang terakhir, baru dia lihat dari sisi perpajakan, berapa tarifnya.
Apakah faktor pajak ini menjadi pertimbangan terakhir dalam keputusan investasi?
Iya, karena yang pertama, mereka mau memastikan dulu investasi yang dilakukan aman atau tidak. Kemudian, bisa menghasilkan return seperti yang diharapkan atau tidak. Lalu, baru nanti beban pajaknya berapa. Pajak baru akan dikomparasi dengan negara lain dan ujung-ujungnya, kalau faktor-faktor yang di depan terpenuhi, maka kebijakan pajak akan menjadi penting juga. Jadi ujungnya nanti baru kita bicara soal daya saing.
Apakah kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini sudah tepat?
Kalau lihat tepat atau tidaknya maka bisa kita lihat misalnya Kementerian Keuangan, dalam hal ini DJP, sudah melakukan perbaikan. Namun, ini tidak bisa sendirian karena tadi, dalam keputusan investasi ada pertimbangan lain seperti tenaga kerja dan gerak birokrasi aparatur negara. Kemudian kalau bicara soal otonomi daerah, itu terkait dengan kerja sama. Kalau tidak maka akan missing link dan kebijakan itu akan keluar sendiri-sendiri. Akhirnya, bisa jadi, kebijakan yang bagus enggak bisa berjalan maksimal.
Apa yang menjadi perhatian dari pengusaha?
Pemerintah harus memperbaiki iklim usaha agar lebih kondusif. Hal pertama hal yang bisa dilakukan adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan yang memberatkan. Kemudian, harus ada perbaikan kualitas tenaga kerja. Pada sisi perpajakan, ini sudah disentuh dengan peraturan menteri keuangan terkait dengan super tax deduction vokasi dan akan menyusul untuk kegiatan litbang. Pada sisi tersebut, Kementerian Keuangan sudah tanggap. Kalau penentuan upah minimum provinsi yang setiap tahun memunculkan dinamika itu juga menjadi faktor yang harus dibereskan.
Faktor kedua, kalau mau gelar karpet merah untuk investor itu bisa bandingkan negara tetangga, seperti Vietnam. Di sana, izin itu cepat sekali keluar terkait dengan tanah yang dikuasai pemerintah. Di Indonesia masih ada kendala mulai dari Online Single Submission (OSS), izin yang timpang tindih antara pusat dan pemerintah daerah, serta belum lagi kalau mau buka cabang di luar wilayah produksi, harus minta izin baru untuk NPWP. Ini yang harus diperbaiki. Setelah itu, baru nanti bicara sosial politik yang harus dijaga.
Faktor ketiga soal pajak. Meskipun bukan hal yang utama tapi ada daya saing di situ. Saat ini banyak negara di dunia berlomba-lomba menerapkan rezim pajak rendah dibandingkan dengan sebelumnya. Posisi Indonesia dibanding tetangga relatif tinggi, mungkin hanya Filipina yang lebih tinggi dari kita. Dengan Malaysia dan Singapura, kita masih lebih tinggi tarif pajaknya. Begitu juga dengan Thailand dan Vietnam.
Selain tarif, kepastian apa yang diharapkan dari kebijakan pajak?
Peraturan dan interpretasi peraturan. Kedua aspek ini kerap kali menimbulkan bibit sengketa. Kalau sudah sengketa, ceritanya akan panjang dan butuh energi karena prosesnya yang menahun. Ambil contoh saja pemeriksaan makan waktu 1 tahun, keberatan 1 tahun lagi, dan kalau banding bisa 2 tahun. Katakan saja proses tersebut bisa makan waktu 4 sampai 5 tahun.
Sementara, kalau kasus yang sama itu belum diputuskan atau tidak ada kejelasan, maka wajib pajak harus bersikap bagaimana? Ini karena di satu sisi, wajib pajak merasa apa yang dilakukan itu benar dan fiskus menganggap ini tidak benar. Sementara itu, bisnis harus tetap berjalan. Masalah berlarutnya sengketa itu yang harus diselesaikan, bagaimana solusinya.
Sengketa pajak itu masih menjadi masalah hingga sekarang. Selain itu, satu hal yang harus digarisbawahi, berdasarkan statistik, mayoritas dalam sengketa itu, DJP mengalami kekalahan untuk di Pengadilan Pajak. Belum lagi yang masuk pada proses peninjauan kembali, lebih banyak lagi. Jadi, dari hal tersebut, DJP harus memperbaiki kebijakan pemeriksaan. Pokok masalah ini tidak lain dari interpretasi peraturan yang beda antara wajib pajak dan fiskus.
Sengketa ini sangat mengganggu pengusaha karena terkait dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk bersengketa. Pada satu sisi, persaingan usaha semakin ketat. Pengusaha itu harus fokus dalam menjalankan bisnis. Soal pajak, sebetulnya pengusaha tidak keberatan untuk membayar, tapi dalam pelaksanaannya menjadi masalah.
Apa saja masalah itu?
Kita kenal selama ini dalam membayar pajak ada yang bersifat formal dan material. Bagaimana yang formal ini bisa direlaksasi karena ujungnya bagi pengusaha itu adalah materialnya terpenuhi. Ketika pengusaha sudah bayar pajak, ya sudah. Jangan justru dipusingkan dengan masalah sederhana seperti kesalahan dalam mengeluarkan kode faktur pajak yang sifatnya formal. Itu menimbulkan sengketa dari hal sederhana dan tidak perlu terjadi. Pengusaha pada dasarnya daripada banyak energi yang dibuang untuk bersengketa, lebih baik tenaga itu digunakan untuk melakukan efisiensi dan inovasi dalam bisnis.
Apa masukan pengusaha untuk mengurai masalah itu?
Satu hal yang utama adalah penyeragaman intepretasi peraturan yang harus diikuti dengan sosialisasi yang lebih mendalam. Tidak jarang ketika bicara penyeragaman intepretasi aturan, di kantor pusat, kantor wilayah, dan KPP tertentu sudah bagus. Namun, mungkin di daerah, banyak yang dikeluhkan juga, terjadi hal-hal yang tidak sama intepretasinya. Intinya pengusaha berusaha untung dan bayar pajak. Jadi, jangan dibebani dengan hal yang bersifat administratif. Pada akhirnya uang pajak yang diterima pemerintah jumlahnya sama, tapi cost of compliance-nya menjadi tinggi.
Bagaimana Anda melihat relasi antara wajib pajak dan DJP?
Kalau saat ini dikatakan ideal, tapi masih ada ruang untuk perbaikan. Kalau dibandingkan dengan masa lalu sudah ada perbaikan, misalnya dari saat tax amnesty menjadi cikal bakal perubahan relasi. Kalau bicara relasi tentu menyangkut trust satu sama lain dan titik balik itu ada pada saat tax amnesty. Sekarang bagaimana agar trust itu masih bisa dijaga.
Yang penting adalah soal komunikasi dengan sering mengadakan sosialisasi dan gathering. Itu merupakan hal yang bagus karena zaman dulu orang enggan bertemu fiskus. Ini merupakan titik awal dan setelah itu pengusaha sadar bahwa DJP mulai berubah semakin profesional dan pelayanan menjadi semakin bagus. Tahap selanjutnya adalah peraturan yang business friendly. Kalau jalan, ini akan jadi efek bergulir yang positif.
Simak wawancara Wakil Ketua Umum Bidang Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.