Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Pajak (DJP) sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan mendapat wewenang melaksanakan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaaan tersangka.
Sesuai dengan perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara bisa dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak.
“Termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik wajib pajak, penanggung pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka,” tulis penggalan bagian penjelasan Pasal 44 ayat (2) huruf j, dikutip pada Jumat (10/12/2021).
Adapun yang dimaksud dengan pihak lain, masih dalam bagian penjelasan pasal tersebut, adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyitaan dilakukan penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana. Pertama, harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat. Kedua, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan dan segera melapor kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Sementara itu, pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak berwenang. Adapun yang dimaksud dengan pihak berwenang itu seperti bank, kantor pertanahan, kantor Samsat dan lain-lain.
Dalam laman resminya, DJP mengatakan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaan dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j tersebut bertujuan untuk mengamankan aset tersangka sebagai jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
“Sehingga aset tidak hilang, dialihkan kepemilikannya, atau dipindahtangankan,” tulis DJP. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.