Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan memaparkan materi dalam The 22nd Tax Seminar and Training yang digelar Studi Profesionalisme Akuntan (SPA) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia.
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat untuk membuat transfer pricing control framework yang lebih baik. Pembuatan transfer pricing documentation (TP Doc) harus konsisten dimulai sejak awal tahun.
Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan mengatakan dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia, sesuai dengan PMK 213/2016, penyusunan TP Doc menggunakan pendekatan ex ante. Dokumentasi dibuat sesuai dengan kondisi atau informasi pada saat transaksi berlangsung.
“Dengan prinsip ex ante, ketika ada yang berubah, kita mudah mengidentifikasinya. Jangan sampai TP Doc baru dibuat menjelang akhir [tahun]. Kita akan kesulitan mengingat-ingat lagi kondisi yang terjadi pada saat transaksi karena tidak ada dokumentasi yang baik,” ujarnya, Sabtu (28/8/2021).
Dokumentasi yang berkesinambungan sejak awal tahun akan menguntungkan wajib pajak. Romi memberi contoh, saat terjadi pandemi Covid-19, wajib pajak bisa langsung mendokumentasikan beberapa aspek yang terdampak.
Pasalnya, masalah muncul ketika tidak ada data pembanding yang tepat. Misalnya, untuk pembuatan TP Doc tahun pajak 2020, data pembanding maksimal berupa laporan keuangan perusahaan lain untuk tahun pajak 2019.
Pada akhirnya, wajib pajak mengalami kesulitan dalam melakukan analisis kesebandingan yang merupakan inti dari implementasi transfer pricing. Terlebih, tidak ada perubahan ketentuan TP Doc pada masa pandemi di Indonesia. TP Doc harus tersedia pada April 2021.
Jika sudah melakukan pendokumentasian dengan baik sejak awal 2020, wajib pajak dapat melakukan penyesuaian dengan tepat. TP Doc yang didukung dengan justifikasi komersial yang dapat dipertanggungjawabkan serta bukti yang relevan akan memberi keuntungan bagi wajib pajak.
Hal tersebut relevan dengan panduan atas implikasi Covid-19 terhadap transfer pricing yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Desember 2020. Salah satu isu utama adalah terkait analisis kesebandingan.
Penerapan arm’s length principle dilakukan dengan terlebih dahulu menggambarkan secara akurat (accurately delineating) transaksi afiliasi yang dilakukan menggunakan karakteristik yang relevan secara ekonomi.
Kemudian, pencarian pembanding dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kesebandingan, pemilihan metode yang paling sesuai, serta penyesuaian yang relevan agar dapat mencerminkan perusahaan independen dalam kondisi sebanding.
Dalam kesempatan tersebut, Romi mengungkapkan pada masa pandemi, wajib pajak butuh pembuktian yang lebih kuat jika melakukan beberapa transaksi seperti intragroup financing, intragroup services, transactions involving intangibles, atau business restructurings.
Misalnya, terkait dengan pinjaman dan pembayaran royalti. Transaksi ini jelas mensyaratkan pendokumentasian mengenai eksistensi dan manfaat yang diperoleh. Area tersebut menjadi lebih krusial terlebih dalam menjelaskan alasan tidak dilakukannya dengan pihak independen.
“Oleh karena itu, penting untuk membuat TP Doc beriringan saat kita melakukan transaksi. Jika ada [kondisi] yang berubah, bisa langsung kita dokumentasikan. Kami menyebutnya dengan transfer pricing control framework. Pendokumentasian berkesinambungan. Bukan hanya sebuah proses di akhir tahun,” jelas Romi.
Sebagai informasi, training bertajuk Transfer Pricing Documentation in and Post Pandemic Covid-19 Era ini merupakan bagian The 22nd Tax Seminar and Training yang digelar Studi Profesionalisme Akuntan (SPA) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.