MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Dalam Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017, MK melakukan uji konstitusionalitas dari ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai Kuasa Wajib Pajak. Dalam artikel ini, Penulis mengulas Putusan MK tersebut dan implikasinya terhadap pemegang ijazah formal di bidang perpajakan.
Resume Putusan MK
Permohonan Pemohon dalam Putusan MK ini tidak secara spesifik memberikan argumentasi tentang pertentangan norma antara Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan UUD 1945. Kesan yang timbul dari permohonan Pemohon adalah persoalan penerapan UU karena Pemohon keberatan dengan keberadaan dan keberlakuan PMK-229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa dan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang menyebabkan Pemohon ditolak oleh KPP Bantul. Padahal, Pemohon telah memiliki Sertifikat Perpajakan Brevet A-B yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Namun jika dibaca secara rasionalitas, masalah yang dipersoalkan Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan, sehingga permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah apakah pendelegasian kewenangan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut MK, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis administratif dari pengakuan, pembatasan, penghormatan, pengurangan, pencabutan atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikanpengaturannya kepada pejabat setingkat Menteri. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam UU tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.
Menurut MK, UU KUP hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak (WP), yaitu memahami masalah perpajakan. UU tidak mengatur lebih lanjut kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. UU juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki oleh seorang kuasa untuk dapat bertindak sebagai kuasa WP. UU juga tidak mengatur tentang bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. UU juga tidak mengatur tentang status Kuasa WP sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan WP.
Dari keterangan Pemerintah dan DPR dapat dipahami bahwa dari satu sisi pengakuan terhadap hak WP untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan WP, sedangkan di sisi lain, persyaratan hak dan kewajiban perpajakan diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri.
Menurut MK, terdapat contradiction in terminis dari penjelasan Pemerintah dan DPR, terutama dengan memposisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai suatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa WP merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan WP, makasemestinya materi pengaturannya tidak diserahkan kepada Peraturan Menteri. Sebab, Menteri sebagai pelaksana UU, di dalam praktik sangat mungkin berhadapan dengan WP dan/atau Kuasa WP, sehingga bagaimana mungkin kepentingan WP akan dapat terlindungi bilamana Kuasa WP diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban penerima Kuasa WP secara bebas dan mandiri.
Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban WP terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh Kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa WP, hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa WP tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah hal yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam UU.
UU harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai kuasa WP, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, UU juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa WP harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri.
Menurut MK, pendelegasian kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang tingkatannya rendah, secara doktrin tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan hierarkinya. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis administatif, maka di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak WP dalam memberikan kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak-haknya sebagai WP dan menurut UU absah untuk menerima kuasa serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak.
Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri melainkan hanya mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan UU. Oleh karena itu, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dikatakan konstitusional jika materi aturan yang didelegasikan tidak membatasi hak konstitusional Warga Negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.
Implikasi bagi Pemegang Ijazah Formal di Bidang Perpajakan
Dari Putusan MK ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi kuasa WP. Sikap pemerintah yang membatasi bahwa pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan adalah konsultan pajak dan karyawan WP, tidak dibenarkan.
Lantas, bagaimana dampak Putusan MK ini kepada pemegang ijazah formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta?
Aturan persyaratan mengenai Kuasa WP dalam PMK-229/2014 mengatur seseorang yang diperbolehkan menjadi Kuasa adalah Konsultan Pajak dan Karyawan WP dengan persyaratan tertentu. Namun demikian, dengan Putusan MK tersebut, secara substantif seseorang berhak menjadi Kuasa WP apabila ia telah memenuhi syarat umum atau syarat subtantif dalam UU KUP, yaitu memahami masalah perpajakan. Hak WP untuk menunjuk orang yang dinilainya memahami masalah perpajakan ini merefleksikan kebebasan dan kemandirian WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Putusan MK ini menjamin hak WP untuk memberikan kuasa kepada pihak lain yang dinilainya memahami masalah-masalah perpajakan dan memperjuangkan hak-hak maupun kepentingannya sebagai WP.
Hak WP untuk menunjuk seseorang yang dinilainya memahami masalah perpajakan sebagai Kuasa adalah termasuk dalam aturan substantif yang seharusnya tidak dibatasi oleh Peraturan Menteri. Dalam Putusan MK ini, persyaratan Kuasa dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan pendelegasian kewenangan untuk mengatur persyaratan Kuasa melalui aturan pelaksananya, yang (i) membatasi hak WP untuk menunjuk Kuasa dan (ii) hak seseorang untuk menerima kuasa adalah tidak mengikat secara hukum. Karena, bertentangan dengan materi aturan yang bersifat substantif dalam UU KUP yaitu setiap mereka yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi Kuasa. Artinya, hak WP untuk menunjuk seorang Kuasa tersebut tidak lagi dibatasi oleh aturan yang mensyaratkan penerima kuasa adalah seorang konsultan pajak atau karyawan perusahaan sebagaimana yang diatur dalam PMK-229/2014.
Jika dibandingkan dengan fakta-fakta dalam pertimbangan legal standing Pemohon dalam Putusan MK ini, setidaknya seorang yang memiliki sertifikat brevet perpajakan yang diselenggarakan oleh Lembaga pendidikan kursus brevet pajak dan izin kuasa hukum dari Pengadilan Pajak sudah cukup untuk memenuhi persyaratan substantif mengenai “memahami masalah perpajakan” dan, karena itu, berhak menjadi Kuasa WP.
Selain itu, ukuran yang umumnya diterima oleh publik mengenai seseorang yang dinilai “memahami masalah perpajakan” adalah orang tersebut telah menempuh pendidikan tinggi di bidang perpajakan. Seseorang yang memiliki keahlian pajak karena menempuh pendidikan tinggi di bidang perpajakan patut dianggap sudah mengikuti standar kompetensi di bidang pendidikan perpajakan dan telah melewati berbagai eksaminasi selama menempuh proses pendidikan di Perguruan Tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa Putusan MK ini berlaku secara umum dan mengikat, sehingga memberikan hak kepada siapa saja yang memiliki kemampuan memahami masalah perpajakan, termasuk mereka yang bukan merupakan anggota dari organisasi profesi tertentu untuk menjadi Kuasa WP. Memperkenankan lulusan Perguruan Tinggi jurusan pajak untuk dapat menjadi Kuasa WP tanpa harus mengikuti ujian sertifikasi lagi akan menjadi daya tarik orang untuk berprofesi dan menekuni bidang pajak. Dengan demikian, pajak sebagai suatu bidang keilmuan akan berkembang. Kondisi ini tentu akan menyebabkan terbentuknya masyarakat melek pajak (tax society). Dengan banyaknya masyarakat yang melek pajak, tentu akan membantu otoritas pajak melakukan sosialisasi pajak.
Untuk itu, perlu revisi PMK-229/2014 agar menyesuaikan dengan perintah Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya. Revisi PMK-229/2014 itu ditujukan kepada pengaturan hal-hal yang bersifat teknis administratif semata yang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban. Hal-hal yang bersifat teknis administratif tersebut, misalnya, dengan mensyaratkan penerima Kuasa untuk (i) menunjukkan atau menyerahkan salinan ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, (ii) sertifikat brevet pajak, (iii) izin konsultan pajak, atau (iv) izin kuasa hukum pajak, selama penerima Kuasa bertindak sebagai Kuasa WP.
Terakhir, organisasi profesi pajak kedepannya seharusnya hanya mengatur etika dan standar profesi untuk Kuasa WP melalui pendidikan berkelanjutan. Putusan MK ini membawa angin segar dan menjadi langkah awal untuk menarik minat masyarakat dan perguruan tinggi lebih mengenal dan mendalami permasalahan pajak. Semakin banyaknya masyarakat dan perguruan tinggi terlibat dalam masalah pajak, semakin cepat kita merealisasikan semboyan PAJAK ADALAH KITA.
*) Ganda Christian Tobing adalah Senior Manajer Tax Compliance and Litigation DDTC, lulusan S1 Administrasi Fiskal UI, S2 Hukum Pajak Internasional WU Austria, sebagai National Reporter dalam "Tax Treaty Arbitration" Rust Conference 2018 di Austria, serta memperoleh Sertifikat dalam bidang International Taxation dari Chartered Institute of Taxation UK.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.