JULI 1997, nilai tukar baht Thailand jatuh. Krisis tersebut kemudian menjalar ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Ekonomi Indonesia pada dasarnya dalam keadaan baik. Empat tahun sebelumnya, World Bank bahkan menobatkan Indonesia dan 7 negara Asia lainnya sebagai bagian dari ‘keajaiban Asia Timur’ atas kinerja pembangunannya yang mengagumkan.
Di balik itu semua, ada persoalan serius pada sektor perbankan karena tingginya nonperforming loan (NPL). Kelemahan ini kemudian berdampak pada sektor keuangan, nilai tukar, utang jangka pendek, dan pelarian modal (Aswicahyono dan Hill, 2002). Jangan lupa, aspek kepercayaan masyarakat akibat penutupan 16 bank nasional turut mendorong kepanikan dan membuat situasi memburuk.
Tahun 1998 menjadi catatan hitam dalam sejarah perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga -13,1%, tingkat inflasi mencapai 78%, nilai tukar rupiah melemah dan bergerak tak menentu, pengangguran dan kemiskinan meningkat. Jumlah utang pemerintah membengkak hingga Rp643 triliun akibat adanya kebijakan penjaminan bank, BLBI, serta rekapitalisasi bank (Boediono, 2009).
Pada saat yang bersamaan, krisis politik terjadi seiring dengan pergantian tampuk kepemimpinan nasional. Tidak dapat dipungkiri, dampak kedua krisis tersebut telah menghabiskan energi pemerintah, terutama dalam menciptakan stabilisasi.
Dari sisi fiskal, respons cepat dilakukan dengan mengendalikan utang jatuh tempo hingga mengendalikan risiko kesinambungan fiskal Indonesia. Program jaring pengaman sosial (social safety net), program beras miskin (raskin), hingga subsidi juga berperan untuk menjadi bantalan krisis.
Tidak hanya itu, big bang decentralization memberikan tanggung jawab baru bagi pemerintah, yakni mengalokasikan dana transfer kepada pemerintah daerah (Alm, Matinez-Vazquez, dan Indrawati, 2004). Singkatnya, pada kurun 1998-2004, kondisi fiskal Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tiga hal. Beban utang, alokasi subsidi, dan belanja ke daerah.
Selama periode tersebut terdapat tiga presiden yang menjabat, yakni Presiden Baharuddin Joesoef Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Presiden Megawati Soekarnoputi. Walau memiliki paradigma kebijakan yang berbeda, ketiganya praktis memiliki tujuan yang sama. Menahkodai Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Lantas bagaimanakah interaksi antara pajak dan pembangunan di Indonesia selama 1998-2004? Ada lima hal yang bisa jadi catatan.
Pertama dan yang terpenting, kepemimpinan ketiga Presiden tersebut berperan besar dalam mendesain demokratisasi dan tata kelola pemerintahan. Ini termasuk berbagai aspek yang berhubungan dengan keuangan negara.
Pada masa ini, format APBN mengalami perubahan dari berimbang-dinamis menjadi format yang mengikuti Government Financial Statistics IMF. Selain akan menjamin pelaporan keuangan negara yang komprehensif dan transparan, format baru tersebut tidak mencantumkan pinjaman luar negeri sebagai komponen pendapatan.
Pinjaman luar negeri diperlakukan sebagai pembiayaan dari adanya surplus/defisit anggaran. Sebagai akibatnya, format ini mendorong kemandirian fiskal dalam negeri terutama kinerja penerimaan perpajakan.
Selain itu, berbagai undang-undang yang menjadi rujukan tata kelola pemerintahan dan keuangan negara juga dirilis selama 1998-2004. Contohnya, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal di angka 3% dari PDB serta pembatasan utang maksimal sebesar 60% dari PDB.
Kita juga menyaksikan undang-undang mengenai otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, partai politik, pemilihan umum, pemberantasan tindak pidana korupsi, dan sebagainya. Walau belum sempurna – terutama karena disusun secara singkat –, berbagai produk hukum tersebut menjadi pijakan untuk pembenahan di periode selanjutnya. Secara tidak langsung, tatanan baru ini juga mendorong pengelolaan sektor pajak yang lebih baik.
Kedua, reformasi pajak. Semangat reformasi pajak pada periode ini lebih ditekankan pada reformasi administrasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan, sekaligus produktivitas aparat perpajakan (Purnomo, 2004).
Reformasi pajak juga merubah pola pelayanan pemungutan pajak yang tidak lagi berorientasi pada jenis pajak, namun lebih kepada fungsi dan karakteristik wajib pajak. Salah satunya dengan membentuk Large Taxpayer Office/LTO (Brondolo, et.al., 2008).
Kebijakan perpajakan di periode ini lebih berorientasi untuk meningkatkan penerimaan dan juga mengadopsi rekomendasi dari Letter of Intent dari IMF. Contohnya, batas tarif PPnBM ditingkatkan hingga 75%, perubahan skema tarif PPh orang pribadi, rezim pajak bagi merger dan akuisisi, penyesuaian pajak ekspor beberapa komoditas, kenaikan tarif cukai tembakau, dan sebagainya. Pada periode ini juga terdapat revisi paket UU di bidang pajak.
Ketiga, kondisi ekonomi dan penerimaan pajak. Krisis ekonomi 1998 telah menimbulkan dampak serius. Pengangguran yang kian meningkat, peralihan ke sektor informal, serta gejala deindustrialisasi akibat iklim usaha yang buruk sempat menggerus basis pajak Indonesia.
Pola tax ratio baru pulih dan kembali ke prekrisis pada 2001. Ini turut dikonfirmasi dengan laju pertumbuhan nominal penerimaan pajak dan perpajakan yang stabil sebesar lebih dari 20% pada periode 2000—2004.
Satu hal yang pasti, peran sektor perpajakan – pajak dan bea cukai – sebagai sumber utama pendapatan negara kian meningkat. Jika pada akhir era Presiden Soeharto, kontribusinya sekitar dua pertiga dari pendapatan dalam negeri, di era reformasi kontribusinya telah mencapai 71%.
Keempat, demokrasi dan sektor pajak. Dalam hal perumusan sistem pajak, partisipasi publik akan menjamin kepastian dan akseptabilitas. Pada saat yang bersamaan, fragmentasi politik justru membuat prosesnya semakin kompleks.
Demokrasi, tata kelola pemerintahan yang baik, serta aspek keadilan juga turut mendorong reformasi badan peradilan yang bertugas menyelesaikan sengketa pajak. Pembinaan teknis Pengadilan Pajak –yang menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) – kini dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur melalui UU Nomor 14 Tahun 2002.
Kelima, desentralisasi fiskal. Upaya mendorong kemandirian fiskal melalui delegasi revenue assignment kepada daerah pada dasarnya telah dimulai pada 1997 melalui UU Nomor18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Otonomi daerah yang dimulai sejak 1999 juga mengakibatkan adanya revisi atas UU PDRD tersebut pada 2000.
Menariknya, kedua rezim tersebut memperbolehkan pemerintah daerah untuk menambah jenis pungutan pajak daerah dengan prasyarat tertentu (open list). Hal ini justru berdampak bagi pajak berganda dan ketidakpastian usaha di daerah (KPPOD, 2014).
Sebagai informasi, artikel ini merupakan seri kelima dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa” yang dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya yang mengulas kondisi era kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1984-1997. Secara total, artikel analisis akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.