Expert Consultant DDTC Khisi Armaya Dhora dalam webinar yang digelar Institut STIAMI, Sabtu (27/11/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) nyatanya masih menjadi topik menarik yang banyak diulas. Tak luput di antaranya, bagaimana implementasi UU HPP nanti berimplikasi terhadap sektor UMKM.
Beleid yang belum lama diundangkan ini pun menjadi wadah komitmen pemerintah dalam mendukung keberlangsungan sektor yang menyerap lebih dari 90% tenaga kerja ini, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
Expert Consultant DDTC Khisi Armaya Dhora mengungkapkan ada 2 kebijakan dalam UU HPP yang mewakili bentuk dukungan pemerintah kepada pelaku UMKM. Pertama, pembebasan PPh bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta. Kedua, perlakuan PPN final bagi PKP UMKM.
“Ini isu yang masih baru sekali. Dari sini dapat dilihat adanya langkah-langkah pemerintah untuk mendukung UMKM dalam UU HPP,” ujar Khisi, dikutip Sabtu (27/11/2021).
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Program Vokasi Institut STIAMI tersebut, Khisi menyinggung penggunaan rezim presumptive tax pada UMKM. Rezim ini diberikan untuk UMKM sebagai langkah persiapan agar nantinya UMKM dapat bertransisi menuju rezim umum perpajakan.
Untuk langkah selanjutnya, Khisi mengingatkan akan hal yang perlu diantisipasi dan menjadi tantangan bagi UMKM dalam bertransisi menuju rezim pajak secara umum.
"Isu yang paling utama adalah terkait penyusunan laporan keuangan. Saat ini, pemerintah pun telah memberikan solusi seperti adanya SAK EMKM hingga business development strategy yang diluncurkan oleh DJP," tambahnya.
Pada webinar yang bertajuk 'Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing UMKM melalui Standardisasi dan Ekosistem Pasar Digital (PaDi) Pasca UU Cipta Kerja' tersebut Khisi menyebutkan adanya tantangan dalam proses transisi UMKM. Tantangan terkait dengan sosialisasi dan masih dibutuhkannya perlakuan pajak khusus bagi UMKM.
Jika melihat pada tren global, pemberian insentif pajak yang dilakukan Indonesia sudah sejalan dengan apa yang dilakukan negara lain. Adapun tren global tersebut terkait dengan pemberian insentif di bidang PPh, PPN, hingga simplifikasi administrasi.
"Pemberian fasilitas ini memang harus didesain secara khusus untuk UMKM. Namun, seluruh fasilitas ini bergantung pada beberapa hal. Salah satunya bergantung pada bagaimana pelaku UMKM menyikapi adanya pemberian fasilitas pajak yang diberikan," ujar Khisi.
Khisi menambahkan pada periode pandemi ini terdapat 3 posisi kebijakan perpajakan yang diusung pemerintah. Pertama, sistem pajak sebagai saluran solidaritas. Pandemi menunjukkan adanya komitmen pemerintah dan berbagai pihak untuk turut bahu-membahu menanggulangi efek pandemi dengan instrumen pajak.
Kedua, insentif pajak sebagai pelindung basis pajak. Perlu diingat kembali bahwa insentif pajak hadir bukan untuk menggerus penerimaan pajak. Namun, tujuannya untuk melindungi basis pajak secara permanen.
Ketiga, adanya hubungan take and give. Selama pandemi ini dapat dilihat adanya hubungan timbal balik antara negara dengan rakyatnya terkait dengan kontrak fiskal. Negara telah memberikan banyak kemudahan selama pandemi. Oleh karena itu sudah seharusnya wajib pajak meningkatkan kepatuhan pajaknya.
Dalam webinar tersebut juga menghadirkan beberapa narasumber lainnya. Diantaranya Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto, Wakil Rektor II Institut STIAMI Daryanto Hesti Wibowo, serta dosen sekaligus millennial influencer dan pengusaha Sherly Annavita Rahmi. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.