Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews—Ditjen Pajak (DJP) menilai Perpu No.1/2020 sebagai momentum untuk mulai memajaki transaksi yang dilakukan secara elektronik.
“Kesempatan dalam Perpu ini membuat kita bisa bergerak (memajaki ekonomi digital),” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama dalam konferensi video, Rabu (29/4/2020).
Hestu menjelaskan bahwa pungutan pajak terhadap entitas digital seperti Netflix, Google, Amazon dan lain sebagainya bisa dikenai dua jenis pajak yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).
Namun, ia menilai PPN merupakan yang paling realistis untuk segera diterapkan mengingat PPN dibebankan kepada wajib pajak dalam negeri. Selain itu, landasan hukum saat ini juga relatif siap untuk menerapkan PPN atas transaksi elektronik.
Menurut Hestu, otoritas hanya memerlukan aturan setingkat peraturan menteri keuangan guna mengatur tata cara penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dapat ditujuk sebagai pemungut dan penyetor PPN.
Di sisi lain, Hestu menilai pengenaan PPh atas ekonomi digital jauh lebih rumit ketimbang PPN. Pasalnya, pembagian hak pemajakan atas penghasilan perusahaan digital rawan berujung sengketa karena belum ada konsensus global yang mengatur hal itu.
Untuk menerapkan PPh, lanjut Hestu, tidak cukup dengan PMK. Otoritas fiskal memerlukan perangkat hukum setingkat peraturan pemerintah yang bisa menjadi landasan kebijakan perpajakan atas entitas ekonomi digital.
“Saat ini kita belum sampai pada keputusan harus menerapkan aksi unilateral, tetapi kita juga bersiap-siap dengan perpu yang sudah mengatur pajak transaksi elektronik,” tuturnya. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
pengenaan PPN atas transaksi konsumsi dalam negeri sbenarnya masih relevan dengan UU PPN yang berlaku saat ini. hanya memerlukan penegasan atas persamaan esensi perdagngan itu sendiri, baik dilakukan secara konvensional maupun secara elektronik. selama pemanfaatan barang/jasanya di dalam daerah pabean maka terutanglah PPN. hingga saat ini negara sudah bnyk kehilangn potensi PPN dari terlambatnya pengaturan lebih lanjut atas PPMSE.
Berdasarkan asas keadilan memang sudah sepantasnya transaksi elektronik dikenakan PPN sebagaimana transaksi konvensional, akan tetapi mungkin pemerintah harus mempersiapkan betul-betul mengenai proses dan pengawasan terhadap pengenaanya.
Sudah saatnya penyedia platform digital harus bayar pajak di Indonesia. Tapi kalau cuma PPN, balik lagi yg nanggung konsumen. Seharusnya pengenaan PPh perlu dikaji kembali
konsep PPN adalah pemungutan. Apabila ada transaksi elektronik yang memang lebih dan realistis untuk dipungut PPN, Pemerintah harus tegas untuk membuat mereka menjadi pemungut PPN. baru itu realistis :)