Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol dalam acara Dialogue KiTa bertajuk ‘Peningkatan Investasi melalui P3B’. Jumat (7/2/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty sejatinya juga diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Hal ini disampaikan Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol dalam acara Dialogue KiTa bertajuk ‘Peningkatan Investasi melalui P3B’. Menurutnya, kepastian menjadi salah satu aspek yang krusial ketika pelaku usaha ingin berinvestasi atau berusaha di suatu negara.
“P3B memberikan kepastian hukum bagi pengusaha. Jadi, ini ada hubungan timbal balik dan aspek kepastian ini adalah yang diinginkan oleh pengusaha ketika berinvestasi di negara lain,” katanya, Jumat (7/2/2020).
Salah satu contoh kepastian tersebut adalah terkait dengan penentuan wajib pajak menjadi residen suatu negara dan alat pengujinya melalui tie breaker rule. Hal ini menjadi salah satu aspek yang diatur dalam P3B sehingga tidak ada tax treaty abuse atau treaty shopping. Baca Kamus Pajak Memahami Arti 'Treaty Shopping'.
John mengatakan dalam aspek perpajakan, P3B harus dipahami sebagai perjanjian bilateral antara dua negara untuk membagi hak pemajakan atas penghasilan yang sama. Selain itu, P3B juga menjadi alat menangkal pengenaan pajak berganda dan penghindaran pajak.
Dalam aspekk perpajakan ini harus kita pahami bahwa P3B ini merupakan perjanjian bilateral antara dua negara untuk membagi hak pemajakan atas penghasilan yang sama. Dan juga sebagai alat menangkal pengenaan pajak berganda dan perangi penghindaran dan pengelakan pajak.
“Adapun tujuan lain dari P3B adalah untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan memberikan insentif kepada dunia usaha dalam bentuk cash flow saving,” imbuh John.
Terkait pembaruan P3B, John mengatakan jalur yang bisa ditempuh bisa memalui skema bilateral (konvensional) maupun multiltareal (melalui multilateral instrument on tax treaty/MLI). Renegosiasi dengan cara konvensional cakupannya lebih luas.
“Kalau dengan MLI, perubahan bisa dilakukan secara cepat tapi terbatas pada pasal-pasal tertentu, sedangkan renegosiasi secara biasa atau bilateral makan waktu lama. Indonesia dan Singapura itu [perundingannya] dari 2015 dengan lima tahap, tapi lebih luas cakupannya dan lebih bebas,” jelas John.
Sekadar informasi, ada tiga narasumber dalam Dialogue KiTa kali ini. Selain John Hutagaol, ada pula Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan dan Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.