Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mulai menyosialisasikan ketentuan penelitian atas dugaan pelanggaran cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 237/2022.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan sosialisasi penerapan prinsip ultimum remedium atas pelanggaran cukai tersebut diberikan, baik kepada pegawai di internal maupun pengusaha barang kena cukai.
"Dengan pemberlakuan ultimum remedium di bidang cukai, diharapkan membuat penerimaan negara meningkat," katanya, dikutip pada Jumat (10/2/2023).
Nirwala menuturkan UU HPP mengatur prinsip ultimum remedium di bidang cukai yang terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu pasal 40B tentang penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai dan pasal 64 tentang penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara.
Dia menjelaskan peraturan pelaksanaan ultimum remedium pada tahap penelitian dugaan pelanggaran dalam Pasal 40B ayat (6) UU Cukai memang telah berlaku sejak ditetapkan dan diundangkan pada 30 Desember 2022 melalui PMK 237/2022.
Sementara itu, peraturan pelaksanaan ultimum remedium pada tahap penyidikan tindak pidana di bidang cukai yang berupa peraturan pemerintah (PP) masih dalam proses penetapan oleh presiden.
Di sisi lain, PMK mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang menjadi turunan PP tersebut juga masih dalam proses penyusunan karena menunggu penetapan.
Nirwala menyebut terdapat beberapa upaya yang dilakukan DJBC guna mengantisipasi pemberlakuan ultimum remedium tersebut.
Pertama, melakukan internalisasi peraturan mengenai ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai kepada pegawai, khususnya yang bertugas di unit pengawasan dan unit layanan informasi.
Kedua, DJBC menyosialisasikan peraturan tersebut kepada pengusaha barang kena cukai, distributor, subdistributor, tempat penjualan eceran barang kena cukai, serta masyarakat umum dalam bentuk konten melalui media sosial maupun media lainnya.
Selain itu, DJBC juga melakukan asistensi kepada unit vertikal atas pelaksanaan ultimum remedium dan penataan sumber daya manusia (SDM).
UU HPP merevisi UU 39/2007 tentang Cukai dengan memperkenalkan prinsip ultimum remedium dalam menangani pelanggaran cukai. UU HPP juga mengatur penyesuaian sanksi administrasi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.
Dalam UU HPP, pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Jika hasil penelitian menemukan adanya pelanggaran administratif maka dapat diselesaikan dengan membayar sanksi.
Penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai hanya dibatasi pada 5 pasal yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai.
Kelima pasal tersebut terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Apabila hasil penelitian tidak berujung pada penyidikan maka pelaku atau pengusaha barang kena cukai wajib untuk membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Perubahan juga berlaku untuk Pasal 64 UU Cukai terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Pada UU Cukai yang berlaku, penghentian penyidikan mewajibkan pelaku membayar pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun, melalui UU HPP, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pelaku juga bisa terhindar dari pidana penjara saat perkara sudah masuk ke pengadilan dan sudah membayar sanksi administratif. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.