Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Tidak semua UMKM wajib memungut pajak pertambahan nilai (PPN) final yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (15/10/2021).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan sesuai dengan PMK 197/2013, pengusaha kecil adalah usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Pemungutan PPN yang dilakukan UMKM tetap bersifat opsional sesuai dengan Pasal 3A UU PPN.
“Sesuai Pasal 3A UU PPN, pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP (pengusaha kena pajak) ataupun tidak,” ujarnya.
Sesuai dengan UU HPP, pemungutan dan penyetoran PPN final dilakukan oleh pengusaha kena pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan tertentu, dan/atau melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu.
Ketentuan mengenai jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, serta besaran PPN final yang dipungut dan disetor akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
Selain mengenai PPN final, ada pula bahasan tentang aplikasi yang tengah disusun DJP untuk program pengungkapan sukarela wajib pajak. Kemudian, ada bahasan terkait dengan desain insentif fiskal ketika pajak minimum global diimplementasikan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan pengusaha kecil atau UMKM yang sudah dikukuhkan menjadi PKP menggunakan tarif PPN final yang akan diatur dengan PMK yang tentu tarifnya lebih rendah dibandingkan dengan PMK 74/2010.
Adapun PMK 74/2010 adalah ketentuan yang memungkinkan PKP dengan peredaran usahanya tidak lebih dari Rp1,8 miliar dalam 1 tahun untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan.
Bila menggunakan pedoman penghitungan tersebut, pajak masukan yang dapat dikreditkan atas penyerahan JKP sebesar 60% dari pajak keluaran dan penyerahan BKP sebesar 70% dari pajak keluaran.
Dengan demikian, dengan ketentuan tersebut, PKP hanya menyetorkan PPN sebesar 4% atas penyerahan JKP dan hanya sebesar 3% atas penyerahan BKP. Dengan PPN final, pemerintah menjanjikan tarif yang lebih rendah sekitar 1% hingga 3% dari peredaran usaha. Simak ‘Pemungutan PPN Final Mulai Tahun Depan, untuk UMKM dan Sektor Tertentu’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan aplikasi baru untuk program pengungkapan sukarela tengah dibuat. Rencananya, aplikasi tersebut rampung pada tahun ini sebelum efektif berfungsi pada awal 2022.
"Saat ini sedang dalam proses [pembuatan aplikasi]," katanya. Simak ‘Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak Bakal Pakai Skema Online’. (DDTCNews)
Analis Kebijakan Muda Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal Melani Dewi Astuti mengatakan ketentuan Pilar 2 akan membuat korporasi multinasional yang tidak dipajaki di Indonesia berkat insentif pajak, bakal dipajaki yurisdiksi domisili tempat perusahaan induk berada.
"Bila Indonesia memberikan tax holiday dan tarif pajak efektif korporasi menjadi 0% maka yurisdiksi domisili yang akan mengenakan pajak 15%," katanya.
Dengan demikian, lanjut Melani, pemberian fasilitas pajak seperti tax holiday tidak akan memberikan keuntungan bagi investor. Fasilitas itu justru akan memberikan tambahan penerimaan pajak bagi yurisdiksi domisili tempat perusahaan induk.
Meski terdapat ketentuan formulaic substance carve-out pada Pilar 2, ruang yang diberikan bagi negara berkembang untuk memberikan insentif tergolong minim. (DDTCNews)
DJP menyediakan laman khusus mengenai UU HPP. Bagi masyarakat yang ingin memahami sejumlah poin penting dalam UU HPP, dapat langsung membacanya pada https://pajak.go.id/ruu-hpp.
Dalam laman tersebut, DJP memberikan penjelasan mengenai beberapa substansi yang diatur dalam UU HPP. Ulasan mengenai UU HPP juga bisa dibaca pada laman berikut, kumpulan infografis seri UU HPP, atau Fokus Selamat Datang (Lagi) Rezim Baru Kebijakan Pajak. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah menyusun peta jalan terkait dengan tahapan pengenaan pajak karbon yang akan menyasar berbagai sektor.
“Untuk tahap pertama pajak karbon diterapkan terhadap PLTU batu bara. Perluasan nanti disesuaikan dengan roadmap yang akan disusun bersama kementerian/lembaga dan DPR,” ujarnya. Simak pula ‘84% Peserta Debat Setuju Pajak Karbon Diterapkan di Indonesia’. (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan perluasan basis PPN melalui pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN akan lebih mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Meski demikian, UU HPP mengatur barang dan jasa strategis yang dibutuhkan masyarakat luas tetap memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
"Reformasi PPN utamanya ingin mencapai 2 hal yaitu mampu mengantisipasi perubahan struktur ekonomi ke depan dan tetap menjaga distribusi beban pajak yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia," katanya. (DDTCNews)
Melalui PMK 135/2021, Kementerian Keuangan merevisi PMK yang mengatur tentang tarif dan tata cara pengenaan denda atas pelanggaran ketentuan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Aturan yang diubah adalah PMK 98/2019.
"Untuk meningkatkan kepastian hukum …, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pengawasan pemenuhan ketentuan DHE SDA," bunyi bagian pertimbangan dari PMK 98/2019 s.t.d.d PMK 135/2021. Simak ‘PMK Baru! Kemenkeu Revisi Aturan Denda Pelanggaran Devisa Hasil Ekspor’. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.