Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dan sejumlah narasumber lainnya dalam acara 14th International Tax Administration Conference. (tangkapan layar)
SYDNEY, DDTCNews - Digitalisasi sistem administrasi pajak menjadi sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan otoritas. Langkah ini harus ditempuh untuk merespons proses bisnis yang makin kompleks dan serbadigital.
Urgensi digitalisasi administrasi pajak ini juga disampaikan secara gamblang oleh Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dalam acara 14th International Tax Administration Conference yang digelar oleh University of New South Wales. Dalam paparannya, Denny mengungkapkan ada risiko yang bakal ditanggung otoritas pajak jika enggan mengadopsi teknologi digital.
"Ini bukan pilihan, ancaman yang timbul bagi sistem pajak bila otoritas tidak mengadopsi teknologi informasi sangat besar," ujar Denny dalam panel diskusi yang bertajuk Digital Disruption and Tax Administration Reform in the Digital Economy, Rabu (24/11/2021).
Kendati begitu, adopsi teknologi digital perlu perencanaan matang. Denny menambahkan, otoritas pajak perlu merancang secara jelas apa saja tujuan yang ingin dicapai melalui pemanfaatan teknologi digital dalam sistem perpajakan.
Menurutnya, goals besar yang dipatok akan menentukan apakah sistem yang diadopsi bisa diimplementasikan secara berkelanjutan dan diterima oleh seluruh segmen wajib pajak.
Tak cuma menyesuaikan perkembangan zaman semata, digitalisasi sistem perpajakan juga harus memberikan kepastian kepada wajib pajak. "Teknologi tidak boleh mendisrupsi terhadap keputusan bisnis wajib pajak, di sini kepastian pajak memiliki peran penting," ujar Denny.
Denny menekankan, adopsi teknologi informasi dan implementasinya di lapangan harus dibarengi dengan terwujudnya rasa aman bagi wajib pajak.
"Digitalisasi juga harus memberikan kenyamanan. Tidak hanya menyederhanakan prosedur, digitalisasi perlu menekan biaya kepatuhan yang selama ini ditanggung oleh wajib pajak baik biaya uang maupun waktu," kata Denny.
Ada 3 faktor yang menurut Denny memengaruhi proses digitalisasi sistem perpajakan oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketiganya adalah demografi, kesadaran wajib pajak, dan ketimpangan akses terhadap internet.
Menurut Denny, jumlah wajib pajak orang pribadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sesungguhnya sangat besar dan berpotensi untuk terus bertumbuh seiring dengan adanya bonus demografi.
Sayangnya, meski jumlah wajib pajak orang pribadi terus bertumbuh, pada faktanya kesadaran pajak dari wajib pajak orang pribadi masih cenderung rendah. Hal ini tercermin pada rendahnya setoran pajak dari wajib pajak orang pribadi relatif terhadap penerimaan pajak secara umum. Oleh karena itu, digitalisasi sistem pajak perlu memberikan platform dan pelayanan kepada wajib pajak orang pribadi.
Ketimpangan akses terhadap internet dan pelayanan digital secara umum juga perlu ditindaklanjuti, khususnya bagi negara berkembang dan memiliki wilayah yang luas.
Dia mengingatkan pemerintah kalau masih terdapat beberapa wilayah yang tertinggal dalam hal akses terhadap internet. Hal ini berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat di kawasan tertinggal tersebut terhadap digitalisasi.
Sebagai informasi, panel diskusi Digital Disruption and Tax Administration Reform in the Digital Economy dipimpin oleh Ekonom Senior Asian Development Bank Institute (ADBI) Nella Hendriyetty dan turut menghadirkan Profesor Jennie Granger dari School of Accounting, Auditing, and Taxation UNSW Business School.
Wakil direktur transformasi digital dari otoritas pajak Laos, Vaxeng Herr, juga membagikan pengalaman digitalisasi sistem perpajakan di negaranya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.