Dosen perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako. (Foto: DDTCNews)
AWAL tahun ini, seiring dengan momentum berlangsungnya program pengampunan pajak sejak Juli 2016, pemerintah meluncurkan program reformasi perpajakan. Reformasi ini menjadi agenda pokok dua direktorat di Kementerian Keuangan, yaitu Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
Selain tax amnesty, momentum lain yang juga datang tahun ini adalah mulai diaturnya kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI). Untuk menggali lebih dalam tentang berbagai momentum itu, DDTCNews mewawancarai Roni Bako, dosen perpajakan Universitas Pelita Harapan. Petikannya:
Bagaimana penilaian Anda tentang tax amnesty?
Secara kesuluruhan program tax amnesty sudah cukup bagus, karena dengan program itu pemerintah bisa mengetahui data wajib pajak mulai dari jenis, jumlah, dan lokasi penyimpanannya. Ini kan tujuan sebenarnya pengampunan pajak. Jadi, bukan hanya dari jumlah penerimaan yang diperoleh.
Bayangkan, lebih dari Rp4.000 triliun harta yang dideklarasi pada program itu kan data yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dengan pengampunan pajak, harta sebanyak itu bisa diketahui. Meskipun tentu saja belum semua wajib pajak memanfaatkan program tersebut.
Setelah tax amnesty, apa yang seharusnya diprioritaskan pemerintah?
Soal data. Data itu bagian pokok reformasi pajak. Data tax amnesty ini harus dimanfaatkan betul. Pemerintah harus konsisten memelihara data yang diperoleh, data dan harta wajib pajak kan sudah ada. Nah, semua itu dipantau, tidak hanya 3 tahun seperti di aturannya, tapi harus seterusnya.
Pemerintah bisa membuat tim pemantau yang bisa menjamin perpindahan wajib pajak dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena perpindahan itu nantinya akan ada perubahan data yang berarti dimungkinkan ada penambahan harta dan menjadi objek pajak.
Data ini juga harus bisa di-update, misalnya karena ada informasi baru di surat pemberitahuan pajak, atau karena ada transaksi lain yang baru diketahui. Jadi jangan data mati. Dan untuk memantaunya, data ini juga harus computerized, supaya mudah diakses petugas pemantau tadi.
Bagaimana dengan Perppu pertukaran informasi terkait perpajakan?
Ini juga menyangkut dengan basis data. Informasi dan data yang dipertukarkan itu kan data nasabah perbankan kepada otoritas pajak luar negeri yang ikut menyetujui komitmen global tersebut, dan ini terbatas untuk kepentingan perpajakan saja. Di luar itu tidak bisa.
Pokok yang perlu dipahami, pada saat nanti data nasabah perbankan bisa dibuka untuk kepentingan perpajakan, itu ya tentu enggak dibuka serampangan. Harus ada dugaan awal terlebih dulu, dan tidak semua orang di DJP yang bisa meminta dan melihat data tersebut. Ada prosedur yang harus ditaati.
Ada syarat formalnya. Termasuk jika ada transaksi yang tidak normal, ini tidak bisa DJP sendiri yang memutuskan. Harus ada keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Karena PPATK punya fungsi di situ. PPATK tentu juga punya prosedur sendiri. Jadi ini juga harus ada sinergi.
Untuk memaksimalkan pengelolaan data itu, apa masukan Anda?
Kalau yang paling 'ekstrim' ya DJP tidak di bawah Kementerian Keuangan. Tentu kita boleh berbeda pendapat. Untuk bisa mengelola dan memantau data pajak lebih baik, idealnya DJP menjadi seperti Internal Revenue Service di AS. Harusnya seperti itulah DJP, dia di bawah Presiden.
Jadi ia semacam lembaga atau badan yang bertugas mengumpulkan penerimaan pajak. Jika ia masih di bawah Kemenkeu, geraknya terbatas. Tetapi itu kan keputusan politik, yang mungkin saja berubah-ubah, tergantung kesepakatan, dan tentu saja mencapai kesepakatan itu juga tidak mudah. Ada tarik-menarik.
Selain data, apa catatan Anda soal agenda reformasi pajak?
Saya kira masalah integrasi program reformasi pajak antara DJP dan DJBC. Ini enggak bisa keduanya jalan sendiri-sendiri. Keduanya kan saling terkait. Ego sektoral harus diredam dahulu, tapi juga tanpa mengabaikan tugas pokok dan fungsi yang memang tidak sama.
Tapi keduanya kan sama punya fungsi mengumpulkan penerimaan. Nah, ini yang bisa diintegrasikan, sinergi. Fungsi lain seperti proteksi di DJBC tentu lain. Jadi berangkat dari persamaan kepentingan dulu, ya penerimaan ini. Data keduanya harus terkoneksi, dan harus terlembagakan.
Hal lainnya pengadilan pajak. Ada banyak isu di situ, mulai dari kelembagaan sampai UU-nya sendiri. Ini sebetulnya titik yang kadang tidak disadari pentingnya. Reformasi pengadilan pajak harus menjadi bagian dari reformasi pajak yang sekarang ini. Jangan sampai ia tidak tersentuh sama sekali. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.