PAJAK DIGITAL

Blueprint Pajak Digital OECD Bocor, Ini Isinya

Muhamad Wildan | Minggu, 16 Agustus 2020 | 06:01 WIB
Blueprint Pajak Digital OECD Bocor, Ini Isinya

Kantor pusat OECD di Paris, Prancis. (Fptp: oecd.org)

JAKARTA, DDTCNews - Draf cetak biru atau blueprint proposal pajak digital atau Pillar 1: Unified Approach bocor. Dokumen Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) itu seharusnya baru dipublikasikan Oktober 2020 untuk dibahas bersama oleh 137 negara anggota Inclusive Framework.

Dalam dokumen yang diperoleh TaxNotes International tersebut, OECD memerinci perkembangan pembahasan nexus dan alokasi laba usaha dari proposal Pillar 1. Di sisi lain, OECD juga mencatat beberapa masalah yang masih belum terpecahkan dalam skema pengenaan pajak atas ekonomi digital ini.

"Merujuk pada dokumen tersebut, aspek teknis dari Pillar 1 sudah sangat berkembang. Namun, Pillar 1 tidak bisa sepenuhnya selesai apabila tidak ada kesepakatan politik atas cakupan, formula realokasi laba, dan kepastian pajak dari Pillar 1 tersebut," tulis Tax Notes dalam pemberitaannya, dikutip Senin (10/8/2020).

Baca Juga:
Malaysia Sebut Pajak Minimum Global Berdampak Baik ke Keuangan Negara

Sama dengan dokumen proposal Pillar 1 pada 2019 lalu, Amount A dari proposal Pillar 1 masih mengusung nexus baru dimana perusahaan multinasional tercakup bisa dikenai pajak meski tidak memenuhi ketentuan permanent establishment.

Masih sama pula, laba residu (residual profit) dari grup perusahaan multinasional merupakan hak pemajakan yurisdiksi pasar, bukan domisili. Laba yang menjadi hak pemajakan negara domisili adalah laba rutin (routine profit).

Yang berbeda, OECD menuliskan alokasi laba ini dihitung berdasarkan persentase yang sudah ditentukan di awal, bukan berdasarkan pada residual profit-split method. OECD juga memperkenalkan konsep baru yakni 'marketing and distribution profits safe harbour' untuk meminimalisasi potensi sengketa dan pengenaan pajak berganda.

Baca Juga:
Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Meski pembahasan teknis sudah berkembang jauh, OECD mencatat terdapat beberapa negara anggota Inclusive Framework yang menginginkan agar sebagian dari laba rutin dialokasikan kepada yurisdiksi pasar apabila pemasaran dan distribusi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dilakukan sepenuhnya secara digital.

Dalam hal nexus dan cakupan, draf blueprint OECD menuliskan perlakuan pajak yang diusung pada proposal Pillar 1 ini berlaku pada usaha layanan digital otomatis (automated digital services/ADS) dan kegiatan usaha yang berorientasi konsumen (consumer-facing business/CFB).

ADS mencakup layanan periklanan digital, mesin pencari, platform sosial media, penjualan data pengguna, game online, dan jasa komputasi awan. CFB adalah usaha yang memperoleh penghasilan dari penjualan barang dan jasa langsung kepada konsumen untuk kepentingan pribadi, bukan komersial ataupun profesional.

Baca Juga:
Sederet Rekomendasi OECD untuk Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio

Dalam setiap aktivitas usaha yang tercakup, OECD telah memerinci ketentuan sourcing rules yang bisa mengidentifikasi lokasi fisik dari konsumen akhir yang mendapatkan barang dan jasa dari usaha-usaha yang tercakup ini.

Terkait dengan nexus, OECD mengusulkan nexus yang sepenuhnya berbasis pada pendapatan untuk ADS. Untuk CFB, nexus yang diusulkan adalah berbasis pada pendapatan yang ditambah dengan faktor penentu lainnya. Dengan ini, secara otomatis nexus yang ditetapkan atas CFB lebih tinggi dibandingkan dengan ADS.

Menurut OECD, CFB dan ADS perlu dibedakan karena kemampuan CFB untuk masuk ke dalam yurisdiksi pasar tanpa kehadiran fisik lebih kecil dibandingkan dengan ADS.

Baca Juga:
OECD Perkirakan Ekonomi Indonesia hingga 2026 Hanya Tumbuh 5 Persen

Kompleksitas dan biaya kepatuhan yang ditanggung CFB juga lebih tinggi dari ADS. Terakhir, margin keuntungan CFB cenderung lebih rendah dibandingkan ADS sehingga nexus bagi CFB harus lebih tinggi ketimbang ADS.

"Pembedaan ini diperlukan agar terdapat keseimbangan antara pajak yang diterima oleh yurisdiksi pasar dengan biaya kepatuhan dan administratif yang perlu ditanggung oleh CFB," tulis OECD dalam blueprint-nya. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 13 Desember 2024 | 11:30 WIB PAJAK INTERNASIONAL

Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Minggu, 08 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Rekomendasi OECD untuk Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio

Rabu, 04 Desember 2024 | 18:00 WIB KEBIJAKAN EKONOMI

OECD Perkirakan Ekonomi Indonesia hingga 2026 Hanya Tumbuh 5 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra