Ketua Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol dalam Tax Corner bertajuk Perkembangan Terkini Pemajakan Internasional atas Ekonomi Digital. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Blueprint pilar pertama dan kedua pemajakan ekonomi digital yang telah dipublikasikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dapat menjadi dasar kokoh untuk tercapainya konsensus global.
Ketua Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam OECD/G20 Inclusive framework on BEPS dan aktif terlibat dalam pembahasan kedua pilar pajak digital.
“Meskipun konsensus global belum tercapai, blueprint tersebut memberikan dasar yang kokoh mengenai kesepakatan di waktu ke depan untuk pemajakan ekonomi digital yang adil sederhana dan dapat diimplementasikan,” ungkap John, Jumat (30/10/2020).
John menjelaskan tantangan pajak digital muncul akibat perkembangan dari teknologi yang membuat bisnis dapat beroperasi tanpa kehadiran fisik. Hal ini memicu adanya kebutuhan akan nexus baru atau cara pembagian hak pemajakan serta alokasi laba yang adil atas keuntungan perusahaan digital.
Untuk itu, dibutuhkan konsensus global yang dapat menciptakan sistem pemajakan yang adil dan sederhana. Pilar pertama membahas tentang alokasi hak pemajakan antaryurisdiksi dan alokasi laba atau biasa disebut unified approach.
Pilar kedua berfokus pada pengenaan pajak minimum (global minimum tax) dan seperangkat aturan terkoordinasi untuk mengatasi risiko dari struktur perusahaan multinasional atau sering disebut dengan Global Anti-Base Erosion (GloBE).
Saat memberikan opening speech dalam acara hasil kerja sama IAI dan DJP tersebut, John mengatakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi digital yang telah diterapkan pemerintah akan memberikan tambahan penerimaan. Dia menyebut PPN atas transaksi digital tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pajak internasional.
Namun, penerapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE) masih dalam tahap pembahasan dan menunggu bagaimana konsensus global. Pasalnya, hal ini menyangkut bagaimana sistem pajak internasional yang sederhana tanpa menimbulkan hal-hal yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi digital.
“Indonesia sangat mendukung upaya menuju terwujudnya konsensus global atas ekonomi digital yang diharapkan bisa kita selesaikan tahun depan. Tentunya kami mengharapkan pertemuan online tax corner kali ini dapat memberikan pencerahan bagi kita mengenai perkembangan pajak digital,” pungkasnya.
Adapun acara ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meeting. Acara ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Partner Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dan Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional DJP Arnaldo Purba. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.