Vokalis Band GIGI Armand Maulana saat tampil dalam konser GIGINFINITY di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Berkolaborasi dengan sejumlah musisi seperti Ariel Noah, Krisdayanti, Afgan, HIVI, dan Mahalini, band GIGI menyanyikan sejumlah lagu populer di antaranya, Nakal, My Facebook, Andai, dan Perdamaian. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Setelah pandemi Covid-19 resmi berakhir pada Juni 2023 lalu, aktivitas masyarakat kembali bergulir secara optimal. Salah satunya, acara-acara pertunjukan yang makin sering dilakukan seperti konser musik.
Yang terbaru, penyanyi terkenal asal Amerika Serikat, Bruno Mars, yang menggelar konser 3 hari sekaligus di Jakarta International Stadium (JIS) pada awal September 2024. Tiket yang dijual pada konser tersebut pun mencapai jutaan rupiah. Ya, di dalam harga tiket tersebut termuat pemungutan pajak. Tapi jangan salah, pajak yang dikenakan adalah pajak daerah, bukan pajak pertambahan nilai (PPN) lho!
Sesuai dengan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), konser musik menjadi objek pajak daerah karena termasuk dalam pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).
“Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan dan/ atau minuman; tenaga listrik; jasa perhotelan; jasa parkir; dan jasa Kesenian dan hiburan,” bunyi Pasal 50 UU 1/2022, dikutip pada Sabtu (21/9/2024).
Menurut aturan tersebut, konser musik termasuk dalam pemungutan pajak daerah yaitu pajak hiburan, bukan pajak pusat. Artinya, besaran pajak konser dapat dikenakan dengan tarif berbeda-beda sesuai dengan ketetapan masing-masing pemerintah kota atau kabupaten setempat. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa harga tiket konser bisa lebih bervariasi dari daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Namun, Pasal 55 ayat (2) UU HKPD juga mengatur pengecualian pengenaan PBJT. Hal ini berlaku untuk kegiatan hiburan yang semata-mata untuk, pertama, promosi budaya tradisional tanpa pungutan biaya. Kedua, kegiatan layanan masyarakat yang tidak dipungut bayaran. Ketiga, bentuk kesenian dan hiburan lain yang diatur dengan peraturan daerah setempat.
Ketentuan mengenai konser musik bukan merupakan objek PPN juga diperkuat dengan hadirnya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini tercantum dalam Pasal 4A ayat (3), yakni jasa kesenian dan hiburan merupakan jenis jasa yang tidak terkena PPN.
Sebagai contoh, Provinsi DKI Jakarta menerapkan pajak hiburan sebesar 10% untuk konser musik yang diselenggarakan pada kawasan otonominya.
“Tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan, ditetapkan sebesar 10%,” bunyi Pasal 53 ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1/2024. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.