Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak luar negeri (WPLN) yang menjual harta di Indonesia bisa dikenakan PPh Pasal 26. PPh Pasal 26 atas penjualan harta tersebut menyasar WPLN selain bentuk usaha tetap (BUT).
Perincian ketentuan PPh Pasal 26 atas penjualan harta di Indonesia oleh WPLN diatur dalam PMK 82/2009. Berdasarkan beleid itu, PPh Pasal 26 atas penjualan harta tersebut dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
“Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, yang diterima atau diperoleh WPLN selain BUT, dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final,” bunyi Pasal 3 ayat (1) PMK 82/2009, dikutip pada Kamis (10/10/2024).
Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual. Artinya, tarif efektif PPh Pasal 26 atas penjualan harta oleh WPLN itu sebesar 5% dikalikan dengan harga jual. Tarif efektif 5% ini berasal dari perkalian antara tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan perkiraan penghasilan neto 25%.
Perlu diperhatikan, penjualan harta yang dimaksud adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Namun, tidak semua penjualan harta-harta tersebut oleh WPLN disasar PPh Pasal 26. Sebab, wajib pajak orang pribadi luar negeri yang menerima penghasilan dari penjualan harta yang tidak lebih dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PMK 82/2009, pemotongan pajak atas penghasilan dari penjualan harta itu dilakukan oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak. Atas pemotongan tersebut, WPLN selaku penjual diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
Untuk WPLN yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan jika hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia sesuai dengan P3B.
Terkait dengan P3B itu, WPLN yang ingin memperoleh manfaat P3B perlu memperhatikan ketentuan perihal tata cara penerapan P3B. Ketentuan itu di antaranya tercantum dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-25/PJ/2018.
Berdasarkan PER-25/PJ/2018, WPLN yang ingin dipotong pajak sesuai dengan ketentuan P3B harus menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN yang telah memenuhi persyaratan. SKD WPLN itu diserahkan kepada pemotong pajak.
Kemudian, pemotong pajak yang menerima SKD WPLN harus menyampaikan informasi dalam SKD WPLN tersebut kepada dirjen pajak.
Informasi dalam SKD WPLN itu disampaikan secara elektronik melalui laman milik DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak. Simak Apa Itu e-SKD? (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.