ROKOK telah lama dianggap sebagai produk hasil tembakau yang memiliki eksternalitas negatif. Pengenaan cukai ataupun pajak atas produk tersebut menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menekan konsumsi maupun peredarannya di masyarakat.
Pada 2018, negara-negara Asean yang memberlakukan sistem cukai spesifik (berdasarkan satuan atau jumlah tertentu) antara lain Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Singapura.
Sementara itu, negara-negara seperti Kamboja dan Vietnam memberlakukan sistem cukai ad-valorem (persentase dari harga dasar). Adapun Thailand dan Laos memberlakukan perpaduan sistem cukai spesifik dengan ad-valorem (mixed).
Tabel berikut memperlihatkan proporsi beban pajak atas rokok terhadap harga jual eceran (HJE) di masing-masing negara Asean. Informasi ini diperoleh dari rilis The Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2019. Jenis-jenis perpajakan yang diperhitungkan sebagai beban pajak mencakup cukai, PPN, bea masuk, serta pajak lainnya yang terkait.
Berdasarkan tabel di atas, Thailand, Singapura, dan Indonesia merupakan tiga negara dengan beban pajak rokok tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 70%, 67,50%, dan 62,71%. Di sisi lain, negara-negara yang memakai sistem cukai ad-valorem seperti Kamboja dan Vietnam memiliki beban pajak rokok terhadap HJE sebesar kurang dari 50%.
Rilis tersebut menyatakan beban pajak rokok di negara-negara Asean belum dalam taraf yang dapat secara substansial maupun berkelanjutan mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Selain itu, negara-negara Asean umumnya tidak memiliki kerangka kebijakan yang terencana menyangkut cukai dan pajak rokok.
Di antara negara-negara tersebut, hanya Indonesia, Laos, dan Filipina yang memiliki kebijakan jangka-panjang terkait struktur cukai ataupun pajak atas rokok dan melakukan fungsi pengawasan maupun penyesuaian secara reguler (SEATCA, 2019).
Menariknya, Indonesia dan Filipina termasuk dua negara Asean yang berada pada 10 besar pasar rokok dunia berdasarkan volume penjualan pada 2016 (SEATCA, 2018). Dalam informasi tersebut, Indonesia berada di peringkat kedua (setelah China), sedangkan Filipina berada di peringkat ke-10.
Hal ini secara tidak langsung menyiratkan kedua negara tersebut menyadari potensi penerimaan cukai ataupun pajak rokok yang cukup besar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perumusan kebijakan yang berimbang dan berkepastian sehingga dapat mengakomodasi berbagai pihak dan kepentingan.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melakukan fungsi pengendalian konsumsi dan peredaran dari adanya kebijakan yang dirasa cukup ideal terkait rokok.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.