KAMUS PAJAK

Apa itu Penerbitan NPWP Secara Jabatan?

Nora Galuh Candra Asmarani | Rabu, 10 Juni 2020 | 18:31 WIB
Apa itu Penerbitan NPWP Secara Jabatan?

MELALUI Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.05/2020 yang berlaku mulai 5 Juni 2020, pemerintah memberikan subsidi bunga/margin atas kredit/pembiayaan yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM).

Pemberian subsidi bunga/margin ini ditujukan untuk melindungi, mempertahankan, serta meningkatkan ekonomi debitur dalam menjalankan usahanya. Pemberian subsidi ini juga merupakan bagian dari upaya untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Adapun salah satu syarat agar dapat memperoleh subsidi ini adalah debitur harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau mendaftar untuk mendapatkan NPWP. Untuk debitur dengan plafon kredit/pembiayaan di atas Rp50 juta, pendaftaran NPWP dilakukan sesuai dengan ketentuan.

Baca Juga:
Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Sementara itu, bagi debitur dengan plafon kredit/pembiayaan sampai dengan Rp50 juta, pendaftaran NPWP dapat dilakukan secara jabatan oleh Dirjen Pajak. Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan penerbitan NPWP secara jabatan?

Definisi
PENERBITAN NPWP secara jabatan adalah penerbitan NPWP yang dilakukan terhadap wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya mendaftarkan diri. Penerbitan NPWP secara jabatan dilakukan Dirjen Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan atau data/informasi milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dasar hukum penerbitan NPWP secara jabatan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan Dirjen Pajak dapat menerbitkan NPWP secara jabatan apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Kewajiban yang dimaksud merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KUP yang mengharuskan setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk mendaftarkan diri.

Pendaftaran tersebut dilakukan pada kantor pelayanan pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. Wajib pajak yang mendaftarkan diri ini selanjutnya akan diberikan NPWP.

Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP dapat diketahui persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Ketentuan persyaratan subjektif ini diatur dalam Pasal 2, Pasal 2A, dan Pasal 3 UU PPh.

Baca Juga:
Ibu-Ibu Ramai Daftar NPWP, Ternyata Syarat Tender Makan Siang Gratis

Secara lebih terperinci, Pasal 2 UU PPh menjabarkan pihak yang menjadi subjek pajak. Selanjutnya, Pasal 2A UU PPh menjelaskan kapan dimulainya kewajiban subjektif. Terakhir, Pasal 3 UU PPh menjabarkan pihak-pihak yang tidak termasuk ke dalam subjek pajak.

Sementara itu, yang dimaksud dengan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima/memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan UU PPh. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 4 UU PPh.

Aturan Terperinci
KETENTUAN yang lebih terperinci terkait dengan penerbitan NPWP secara jabatan tertuang dalam PMK Nomor 147/2017. Salah satu contohnya adalah ketentuan terkait dengan wajib pajak orang pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Baca Juga:
Apa Itu Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar?

Merujuk Pasal 3 ayat (2) PMK 147/2017 terdapat dua wajib pajak orang pribadi yang diharuskan mendaftarkan diri pada KPP atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib pajak.

Pertama, wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kedua, wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Kewajiban ini juga berlaku pada perempuan yang sudah menikah tetapi dikenai pajak secara terpisah baik karena keputusan hakim, perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, ataupun memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dengan suami.

Baca Juga:
Update 2024, Apa Itu Pengembalian PPN untuk Turis Asing?

Jangka waktu pendaftaran NPWP wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas paling lama dilakukan pada akhir bulan berikutnya, setelah penghasilannya yang disetahunkan pada suatu bulan sama atau melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Sementara itu, wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib mendaftarkan diri paling lama 1 bulan setelah kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya mulai dilakukan.

Selanjutnya, Pasal 8 PMK 147/2017 menyatakan apabila terdapat wajib pajak yang diwajibkan mendaftarkan diri tetapi tidak melakukannya, maka Kepala KPP atau KP2KP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan.

Baca Juga:
Ajukan ‘Pemisahan NPWP’, WP Istri Ini Diimbau Tetap Gabung NPWP Suami

Selain tercantum dalam PMK 147/2017, ketentuan terkait dengan pendaftaran NPWP dan penerbitan NPWP secara jabatan juga dapat disimak dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 04/PJ/2020.

Sarana Ekstensifikasi
DIREKTUR Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama pada Selasa (9/6/2020) menyatakan penerbitan NPWP secara jabatan untuk debitur UMKM dengan plafon kredit hingga Rp50 juta dapat menjadi sarana DJP dalam melakukan ekstensifikasi pajak.

Debitur UMKM dengan plafon kredit hingga Rp50 juta menjadi sasaran penerbitan NPWP secara jabatan karena DJP menilai debitur UMKM dengan plafon kredit di atas Rp50 juta sudah memiliki kesadaran yang tinggi terkait kewajiban pajak sehingga telah memiliki NPWP.

Baca Juga:
Apa Itu PPh Pasal 29?

Adapun yang dimaksud dengan ekstensifikasi adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak terhadap wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP.

Ketentuan penerbitan NPWP dalam rangka ekstensifikasi tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2019. Selain itu, terdapat pula beleid yang mengatur tentang tata cara ekstensifikasi, yaitu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2019. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Kamis, 19 Desember 2024 | 19:30 WIB KPP PRATAMA TEGAL

Ibu-Ibu Ramai Daftar NPWP, Ternyata Syarat Tender Makan Siang Gratis

Rabu, 18 Desember 2024 | 18:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar?

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah