DIRJEN Pajak, sesuai dengan amanat Pasal 29 ayat (1) UU KUP, berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan/atau untuk tujuan lain guna melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ketentuan mengenai pemeriksaan tersebut tersebar dalam banyak regulasi di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 17/PMK.03/2013 s.t.d.d. PMK 184/PMK.03/2015 tentang tata cara pemeriksaan.
Dalam perkembangannya, SE Dirjen Pajak No.SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan dirilis guna menyempurnakan kebijakan pemeriksaan pajak. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan?
Definisi
MERUJUK Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP jo. Pasal 1 angka 2 PMK 17/PMK.03/2013 s.t.d.d. PMK 184/PMK.03/2015, definisi pemeriksaan adalah:
“Serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Mengacu pada definisi itu, berdasarkan tujuannya pemeriksaan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu untuk menguji kepatuhan dan untuk tujuan lain. Ketentuan dan penjelasannya antara lain tercantum dalam PMK 17/2013 s.t.d.d. PMK 184/2015 dan SE Dirjen Pajak No.SE-15/PJ/2018
Pertama, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan. Berdasarkan SE Dirjen Pajak No.SE-15/PJ/2018 ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi 2, yaitu untuk 1 jenis pajak/beberapa jenis pajak dan untuk seluruh jenis pajak.
Dalam hal SPT Tahunan PPh Badan atau orang pribadi diperiksa, ruang lingkup pemeriksaan mencakup seluruh jenis pajak. Secara lebih terperinci, Pasal 4 ayat (1) PMK 184/2015 menguraikan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dilakukan apabila memenuhi salah satu dari 9 kriteria.
Pertama, wajib pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP. Kedua, terdapat keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP.
Ketiga, wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Keempat, wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Kelima, wajib pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
Keenam, wajib pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-Iamanya. Ketujuh, wajib pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap.
Kedelapan, wajib pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. Kesembilan, wajib pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan berdasarkan analisis risiko.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan ini dapat dilakukan dengan 2 jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan lapangan atau pemeriksaan kantor. Namun, SE Dirjen Pajak No.SE-15/PJ/2018 menyatakan terdapat 2 kriteria yang menjadi alasan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan.
Dua kriteria itu adalah (i) pemeriksaan rutin yaitu pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak; dan (ii) pemeriksaan khusus, yang diklasifikasikan menjadi 2 cakupan.
Pertama, pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret (audit based on data), yaitu merupakan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang berdasarkan keterangan lain berupa data konkret menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Kedua, pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk-based audit), yaitu merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Kedua, pemeriksaan untuk tujuan lain. Merujuk pada PMK 184/2015 dan SE Dirjen Pajak No.SE-15/PJ/2018, ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan.
Secara lebih terperinci, pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan untuk 12 kriteria. Pertama, penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara jabatan. Kedua, penghapusan NPWP, baik atas permohonan wajib pajak maupun secara jabatan.
Ketiga, pencabutan pengukuhan PKP, baik atas permohonan WP maupun secara jabatan. Keempat, wajib pajak mengajukan keberatan. Kelima, pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN); Keenam, pencocokan data dan/atau alat keterangan;
Ketujuh, penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil. Kedelapan, penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN. Kesembilan, pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak. Kesepuluh, penentuan saat produksi dimulai;
Kesebelas, penentuan perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan. Keduabelas, memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Simpulan
INTINYA pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan.
Berdasarkan tujuannya, pemeriksaan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.