PERILAKU kepatuhan wajib pajak mencakup spektrum yang lebih luas dan tidak dapat digolongkan hanya menjadi wajib pajak patuh dan wajib pajak tidak patuh. Untuk itu, otoritas pajak membuat segmentasi kepatuhan menjadi lebih beragam guna memberikan perlakuan yang lebih tepat.
Namun, karakteristik untuk menggolongkan wajib pajak bersifat abstrak dan sangat tergantung pada ketersediaan informasi. Apabila otoritas tidak mampu menggolongkan secara akurat, perbedaan perlakuan ini justru berpotensi merusak hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Berangkat dari refleksi adanya kelemahan otoritas untuk memetakan perilaku kepatuhan dalam spektrum yang lebih luas, paradigma kepatuhan kooperatif hadir. Paradigma ini juga lahir sebagai konsekuensi perkembangan nilai-nilai di masyarakat diantaranya keinginan atas penghormatan hak-hak wajib pajak.
Lantas, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kepatuhan kooperatif?
Tidak ada definisi universal yang mendeskripsikan pengertian dari kepatuhan kooperatif. Pasalnya, setiap negara yang mengaplikasikan paradigma kepatuhan ini memiliki format dan implementasi yang berbeda-beda.
Kendati demikian, merujuk pada definisi dari OECD, kepatuhan kooperatif adalah hubungan yang didasari oleh kerja sama dan asas saling percaya antara otoritas dan wajib pajak. Poin utama paradigma ini adalah adanya pemahaman satu sama lain berdasarkan kebutuhan dan aspirasi, baik dari otoritas pajak maupun wajib pajak.
Konsep ini sejatinya bukan hal yang baru. Pada awalnya, OECD menggunakan istilah enhanced relationship. Akan tetapi, definisi yang dibentuk dari istilah enhanced relationship ini dianggap terlalu luas dan memiliki konotasi yang sedikit negatif
Oleh karena itu, OECD kemudian mengganti istilah tersebut menjadi cooperative compliance yang dianggap lebih sesuai (Bronzewska, 2016). OECD juga memberikan definisi tambahan, yaitu bentuk pendekatan kepatuhan yang mempertukarkan transparansi untuk memperoleh kepastian (OECD, 2013).
Sementara itu, definisi kepatuhan kooperatif menurut International Fiscal Association (IFA) dalam Key Issue Report (2012) adalah hubungan sukarela antara otoritas pajak dan wajib pajak untuk saling terbuka dan percaya serta saling menghargai antara hak otoritas pajak dan hak wajib pajak dengan cara yang lebih efisien terkait keterbukaan informasi.
OECD, dalam Study into the Role of Tax Intermediaries (2008), menyebut kepatuhan kooperatif adalah sebuah hubungan yang mendukung kolaborasi dan bukan konfrontasi serta lebih berdasarkan pada rasa saling percaya daripada kewajiban yang dipaksakan.
Berdasarkan definisi yang telah dijabarkan, kepatuhan kooperatif dapat diartikan sebagai paradigma yang dilakukan secara sukarela berdasarkan asas saling percaya dan terbuka antara otoritas pajak dengan wajib pajak terkait informasi-informasi yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
Adanya hubungan yang terjalin berdasarkan kepercayaan dan keterbukaan ini diharapkan dapat memberi efek timbal balik yang saling menguntungkan, baik dari sisi efisiensi biaya, waktu, dan keterbukaan informasi.
Adapun ulasan ini menyadur tulisan salah satu bab dalam buku ‘Era Baru Hubungan Otoritas Pajak dengan Wajib Pajak’ yang ditulis oleh Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji dan Denny Vissaro. Anda dapat mengunduh versi e-book secara gratis di sini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.