INDONESIA selaku Presidensi G-20 menerima paket kebijakan dan komunike dari Civil-20 (C-20). Paket kebijakan dan komunike C-20 memuat beragam usulan kebijakan dari perwakilan organisasi masyarakat sipil (civil society) dari negara-negara anggota G-20.
Usulan tersebut di antaranya adalah penerapan pajak karbon yang efektif, transparan, dan akuntabel. Pemerintah harus memastikan pajak karbon ditanggung secara adil baik oleh produsen maupun oleh konsumen.
Secara umum, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Pajak karbon ini merupakan salah satu bentuk instrumen dari carbon pricing. Lantas, apa itu carbon pricing?
Definisi
MERUJUK laman World Bank, carbon pricing adalah instrumen yang menangkap biaya eksternal dari emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengikatnya ke sumber GRK melalui pemberian harga yang biasanya dalam bentuk harga karbon dioksida (CO2) yang dipancarkan.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan carbon pricing sebagai instrumen yang membatasi emisi GRK dengan mengenakan biaya untuk emisi dan/atau menawarkan insentif untuk mengurangi emisi.
Sementara itu, Carbon Pricing Leadership Coalition (CPLC) mengartikan carbon pricing sebagai suatu pendekatan untuk mengurangi emisi karbon (disebut juga sebagai emisi GRK) dengan menggunakan mekanisme pasar untuk membebankan biaya emisi ke penghasil emisi.
Carbon pricing dalam Bahasa Indonesia disebut juga sebagai nilai ekonomi karbon (NEK). Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden No.98/2021. NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi GRK yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
GRK adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Sementara itu, emisi GRK berarti lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Menurut laman World Bank, carbon Pricing atau NEK ini dapat diterapkan dalam beragam bentuk, di antaranya pajak karbon, emission trading system (ETS), crediting mechanism, results-based climate finance (RBCF), dan internal carbon pricing.
Sementara itu, mengacu laman Badan Kebijakan Fiskal (BKF) carbon pricing terdiri atas dua mekanisme, yaitu instrumen perdagangan dan instrumen nonperdagangan.
Instrumen perdagangan terdiri atas perdagangan izin emisi serta offset emisi, sedangkan instrumen nonperdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja (Result Based Payment/RBP). Berikut perincian definisi dari setiap mekanisme carbon pricing atau NEK.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.