Kepala Kanwil DJP Jabar III Catur Rini Widosari saat paparan dalam webinar bertajuk 'Babak Baru Pajak Digital' Rabu (22/7/2020)
JAKARTA, DDTCNews—Universitas Gunadarma menggandeng Ditjen Pajak (DJP) dan DDTC untuk membahas topik seputar penerapan pajak digital yang saat ini sedang hangat diperbincangkan publik.
Sejumlah narasumber kompeten mengisi acara ini antara lain, Kepala Kanwil DJP Jabar III Catur Rini Widosari, Managing Partner DDTC Darussalam dan CEO PT Zahir Internasional Muhamad Ismail.
"Banyaknya peserta menunjukan antusias mahasiswa terkait perkembangan terkini dari kebijakan pajak ekonomi yang dilakukan pemerintah dengan aturan barunya," kata Rektor Universitas Gunadarma E.S. Margianti dalam sambutannya pada webinar bertajuk 'Babak Baru Pajak Digital' Rabu (22/7/2020).
Pada kesempatan pertama, Kepala Kanwil DJP Jabar III Catur Rini Widosari menjelaskan tantangan dan respons kebijakan yang dilakukan otoritas dengan berkembangnya ekonomi digital.
Menurutnya, pandemi Covid-19 membuat DJP melakukan akselerasi perubahan proses bisnis ke arah digitalisasi termasuk dalam urusan kebijakan. Hal ini ditandai dengan terbitnya PMK No.48/2020 yang menjadi alat untuk mulai memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Catur Rini menyebutkan kebijakan ini bersifat dinamis dan terbuka ruang untuk menambah jumlah pemungut PPN PMSE yang saat ini baru sebanyak 6 pelaku usaha PMSE dari luar negeri.
“Sifat dari aturan PPN PMSE ini dinamis dan saat pertama baru 6 yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Ini bisa ditambah ke depannya,” paparnya.
Sementara itu, Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan geliat ekonomi digital di Indonesia sangat potensial untuk terus berkembang, termasuk penerimaan pajak dari ekonomi digital.
Meski begitu, regulasi pajak yang menyasar sektor ekonomi digital perlu disusun secara cermat. Pasalnya, pelaku ekonomi digital secara prinsip bukan sektor yang terpisah dari kegiatan ekonomi pada umumnya.
Banyak pelaku usaha konvensional yang sebenarnya hanya mengalihkan proses bisnisnya ke ranah daring. Oleh karena itu, fenomena digitalisasi bisnis ini sejatinya tidak membutuhkan perlakuan pajak yang berbeda atau khusus.
"Agar tidak menimbulkan diskriminasi antarmodel bisnis maka pengaturan pajak digital ini harus menjamin level playing field atau kesetaraan," tuturnya.
Terdapat tiga poin penting yang harus dilakukan regulator dalam menyusun kebijakan pajak bagi ekonomi digital. Pertama, memahami model bisnis digital karena beragamnya pelaku ekonomi digital dalam menjalankan usaha atau layanan.
Kedua, identifikasi regulasi yang berlaku saat ini apakah sudah efektif mengakomodasi potensi pajak dari ekonomi. Ketiga, secara hati-hati memilih solusi penerapan pajak digital lewat terobosan kebijakan, hukum, atau cukup dilakukan dengan pembenahan administrasi.
"Pengaturan kebijakan khusus baik itu subjek, objek dan tarif baru bisa diambil ketika terobosan dalam aspek administrasi tidak dimungkinkan," kata Darussalam.
Narasumber terakhir datang dari pelaku usaha yaitu CEO PT Zahir Internasional Muhamad Ismail. Dia sependapat bila perlakuan pajak ekonomi digital sejatinya tidak berbeda dengan pelaku usaha konvensional.
Apalagi dengan kondisi pandemi Covid-19. Menurut Ismail, seluruh proses bisnis mulai dari level mikro hingga besar dipaksa untuk bertransformasi ke arah digital. Hal ini juga bertujuan bisnis tetap relevan dengan perkembangan zaman.
"Jadi saya sepakat tidak ada dikotomi antara pelaku usaha digital dengan konvensional, karena semua dipaksa proses bisnisnya beralih ke digital. Poin penting dalam aspek pajak ekonomi digital adalah bagaimana konektivitas antar sistem agar memudahkan pelaku usaha melaksanakan kewajiban pajak," tuturnya. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.