SEPERTI disampaikan laporan ‘Tax Morale: What Drives People and Businesses to Pay Tax?’ (OECD, 2019), kepastian sistem pajak suatu negara menjadi pondasi awal untuk memengaruhi moral warga dalam membayar pajak, termasuk dalam hal ini kepastian hukum atas penyelesaian sengketa pajak.
Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2018, jumlah permohonan sengketa pajak yakni keberatan, pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan mencapai 152.494. Angka itu naik 52,37% bila dibandingkan dengan jumlah penyelesaian sengketa tahun sebelumnya.
Adapun persentase banding yang dimenangkan DJP di Pengadilan Pajak mencapai 40,26% dari 4.540 amar putusan. Selain itu, persentase gugatan yang dimenangkan DJP mencapai 53,55% dari 1.494 amar putusan. Peningkatan jumlah permohonan sengketa pajak itu dapat disebabkan beberapa hal.
Pertama, perbedaan pemahaman antara wajib pajak dan petugas pajak dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Perbedaan penafsiran ini berpengaruh terhadap perhitungan dan pelaporan pajak yang dilaporkan wajib pajak.
Pada saat pemeriksaan, dengan interpretasinya petugas pajak akan dengan mudah menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip perpajakan. Namun, ketika surat ketetapan terbit, wajib pajak merasa interpretasi itu tidak tepat, dan akhirnya mengajukan sengketa pajak.
Kedua, penerbitan kualitas produk hukum yang lemah. Apabila produk hukum yang diterbitkan lemah dan tidak memiliki bukti konkret, wajib pajak akan terdorong mengajukan keberatan, banding atau gugatan yang menyebabkan jumlah permohonan sengketa pajak semakin meningkat.
Pencegahan Sengketa
SENGKETA pajak mustahil tak terjadi lagi. Meningkatnya database wajib pajak dan berkembangnya proses bisnis wajib pajak rentan menimbulkan sengketa pajak. Entah karena perbedaan memahami aturan atau minimnya pengetahuan wajib pajak karena misalnya tergolong wajib pajak baru.
Hal ini menuntut DJP untuk menyesuaikan kembali peraturan perpajakan dan melakukan penyuluhan kepada wajib pajak secara berkala. Untuk meminimalisir terjadinya sengketa pajak itu, ada beberapa upaya internal yang dapat dilakukan DJP.
Pertama, melakukan pembaruan terhadap undang-undang atau peraturan perpajakan yang dianggap membingungkan. Kewajiban DJP adalah membuat aturan yang sifatnya tidak grey area, sehingga tidak multitafsir dan berdampak pada munculnya sengketa pajak.
DJP dapat melakukan sinergi antarinstansi, misalnya dengan Pengadilan Pajak untuk menerbitkan aturan. Hasil evaluasi banding harus ditransformasikan ke peraturan jika memang belum diatur, sehingga ketika terjadi sengketa pajak yang sama, penyelesaiannya cukup pada tahap keberatan.
Kedua, meningkatkan kualitas produk hukum, sejalan dengan kualitas pemeriksaan oleh pemeriksa pajak atau penelitian oleh penelaah keberatan. Ketika DJP menerbitkan ketetapan yang didukung bukti dan prosedur yang sesuai, sangat mungkin sengketa pajak dapat diminimalisasi.
Petugas pajak harus cermat dan memiliki pemahaman yang kuat sebelum menerbitkan produk hukum. Ego untuk mengejar target kuantitas penerbitan produk hukum harus dikesampingkan agar tetap pada fokus utamanya menerbitkan kualitas produk hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, meningkatkan kemampuan sumber daya aparat DJP. Peningkatan ini berkaitan dengan produk hukum yang diterbitkan. Perlu ada diklat khusus rutin ke pemeriksa dan penelaah keberatan atau forum diskusi terkait dengan isu-isu terkini atau mengenai proses bisnis yang mungkin multitafsir.
Keempat, menyelaraskan tafsir antara petugas pajak dan hakim di Pengadilan Pajak. Keseragaman penafsiran ini akan meminimalisasi sengketa pajak. Secara berkala, DJP dapat mengadakan diskusi tentang hal-hal yang disengketakan untuk menemukan solusi atas perbedaan penafsiran tersebut.
Kelima, gencar sosialisasi kepada wajib pajak. DJP harus mengadakan penyuluhan secara kontinu, sebagai ajang memberikan pemahaman menyeluruh tentang perpajakan. Tujuannya agar wajib pajak patuh dan meminimalisasi perbedaan penafsiran, sehingga sengketa pajak dapat dihindari.
Penyelesaian Sengketa
DALAM menyelesaikan sengketa pajak, DJP harus mempuyai dasar hukum yang kuat dan tidak multitafsir. Sebelum meneliti materi permohonan sengketa, penelaah keberatan akan melakukan proses penelitian formal atas permohonan tersebut.
Penelitian formal sangat penting karena berkaitan dengan prosedur atau tata cara. Apabila penelitian formal tidak dilakukan dengan benar, wajib pajak bisa men-challenge-nya di Pengadilan Pajak. Setelah dianggap memenuhi syarat formal, permohonan sengketa atau keberatan baru akan diuji materilnya.
Dalam membuat suatu keputusan atas sengketa, tentunya penelaah keberatan memiliki alasan yang kuat didukung dengan bukti yang diterima dari wajib pajak. Penyelesaian sengketa pajak diupayakan menghasilkan keputusan yang tepat agar keadilan dapat dirasakan wajib pajak.
Aturan punya andil besar untuk menegakkan keadilan. Ia juga sekaligus mencegah dan menyelesaikan sengketa. Aturan itu menjadi mediator wajib pajak dan DJP apabila didukung petugas yang memahami kasus, menafsirkan aturan, dan menerbitkan produk hukum yang berkualitas sesuai dengan prosedur.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
mantul