Fajarizki G.S. Yunus
, Lumajang, Jawa TimurDATA Pubmatic mengenai tren digital ads atau digital advertising global 2019 menyebut penggunaan digital ads di Indonesia berkembang paling pesat dengan kenaikan 89%. Angka itu mengalahkan India, Brazil, dan Hong Kong dengan persentase kenaikan masing-masing 47%, 45%, dan 40%.
Kondisi itu tidak dimungkiri mengingat Indonesia memiliki keunggulan demografi dan konsumsi masyarakat yang tinggi. Namun, ketiadaan regulasi mengenai ketentuan pemajakan atas digital ads di Indonesia menyebabkan proses bisnis tersebut lepas dari pengenaan pajak.
Berdasarkan riset Aslam (2017), mayoritas pemasang iklan tidak lagi menggunakan TV, surat kabar, dan radio dalam memasarkan produk. Kecepatan dan ketepatan menjangkau target pasar merupakan alasan utama berbagai perusahaan meninggalkan iklan konvensional.
Menurut Gordon (2020), sistem pengukuran respons konsumen menjadi kunci utama yang menjamin digital ads mampu menjangkau pasar secara presisif. Digital ads sendiri adalah promosi penyampaian informasi suatu produk yang dilakukan melalui media jaringan komputasi. (McStay, 2016)
Dengan definisi tersebut, digital ads diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu search advertising, display advertising, dan classified advertising. Proses bisnis yang berlangsung pada tiap jenis digital ads tentu berbeda.
Pada search advertising penghasilan diukur menurut frekuensi pencarian pada mesin pencari seperti google adsense dan google adwords. Untuk display advertising dan classified advertising penghasilan diukur berdasarkan ‘klik’ pada laman iklan dipasang seperti web dan aplikasi.
Tiga Strategi
DITJEN Pajak harus cepat beradaptasi dengan digitalisasi ekonomi ini. Pesatnya perkembangan digital ads seharusnya menjadi peluang pemajakan. Berdasarkan data KPMG, Indonesia tertinggal jauh dari Austria, Belgia, dan Perancis yang telah lebih dulu memberlakukan pajak atas digital ads.
Potensi penghasilan perusahaan penyedia lapak digital ads merupakan variabel utama yang wajib dikenakan pajak. Penghasilan digital ads memiliki potensi pengenaan PPN impor/penyerahan jasa kena pajak seperti diatur Pasal 4 UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Fuchs (2018) menyatakan dasar pengenaan pajak digital ads bukan berdasarkan lokasi perusahaan penyedia lapak digital ads didirikan, melainkan lokasi digital ads itu ditayangkan atau diakses agar Ditjen Pajak memiliki hak pemajakan. Ini tentu tidak melanggar prinsip destination rule dalam PPN.
Ada paling tidak 3 strategi yang dapat dilakukan Ditjen Pajak untuk memberlakukan pajak pada digital ads. Pertama, Ditjen Pajak perlu membuat kebijakan pengenaan pajak atas proses bisnis digital ads dan penunjukan pelaku usaha digital ads sebagai pemungut pajak.
Keadilan dan kepastian hukum dalam pemajakan digital ads sangat penting mengingat proses bisnis periklanan konvensional telah lama dipajaki. Hal ini untuk mencegah upaya ketidakpatuhan pajak yang dilakukan pelaku usaha jasa periklanan konvensional dengan beralih ke digital ads.
Kedua, penguatan pengawasan atas pemajakan digital ads melalui kerja sama pertukaran data dan informasi dengan beberapa pihak, seperti Kemenkominfo dan berbagai media elektronik sebagai penyedia lapak periklanan digital.
Selain itu, penguatan sumber daya manusia pada Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi juga diperlukan agar manajemen pengelolaan data untuk keperluan pengawasan atas pemajakan digital ads menjadi optimal.
Ketiga, penguatan sinergi kedua direktorat itu dalam rangka penggunaan teknologi transactional processing system pada proses pemungutan pajak atas digital ads. Transaction processing system merupakan sistem yang digunakan untuk pengolahan dan penjejakan transaksi.
Penggunaan sistem tersebut memungkinkan terjadinya pemisahan pembayaran pajak dan pembayaran atas komisi digital ads secara otomatis sehingga simplifikasi administrasi pajak dapat tercapai.
Penerbitan kebijakan pemajakan atas proses bisnis digital ads yang diimbangi dengan penguatan manajemen pengelolaan data serta pengawasan berbasis IT merupakan bentuk adaptasi Ditjen Pajak terhadap perkembangan proses bisnis masyarakat yang serba digital.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Idenya sangat menarik. Harusnya cakupan PPN PMSE tidak hanya sebatas pemanfaatan atas produk film, musik dari luar pabean ke dalam daerah pabean, tetapi juga memuat tentang pengenaan PPN atas digital ads.
👏👏👍
gabutnya orang pinter memang beda ya
wihii keren bgt tulisannya