MEMBAYAR pajak merupakan kewajiban setiap warga negara yang dikategorikan sebagai wajib pajak dan negara memiliki kekuasaan untuk memungutnya. Kekuasaan negara ini dijamin konstitusi sebagai hukum tertinggi sebagaimana yang diatur Pasal 23A UUD 1945.
Ketentuan tersebut menjelaskan pemungutan pajak oleh negara bersifat memaksa yang dibutuhkan untuk keperluan negara. Salah-satu jenis pajak tersebut adalah pajak penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008.
Namun sayangnya, setidaknya 3 tahun belakangan ini penerimaan PPh sangat miris. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, dari 2017 hingga 2019, penerimaan PPh tidak memenuhi target APBN. Bahkan, penerimaan PPh nyaris tidak mengalami kemajuan.
Tidak optimalnya penerimaan PPh menandakan lemahnya sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia, yaitu self assessment, yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban pajak mereka. Sistem ini menggantikan official assessment.
Kelemahan self assessment adalah ketergantungan pada kejujuran wajib pajak yang sering mengecewakan dan bahkan disalahgunakan (Kusumawati, 2006). Dengan demikian, meski Indonesia telah menjalankan aturan pajak dengan baik (Hook, 2011), setoran PPh cenderung tidak maksimal.
Stagnasi Kepatuhan
KEPATUHAN wajib pajak (tax compliance) merupakan masalah klasik karena ketidaktaatan wajib pajak yang menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal. Kebanyakan wajib pajak yang tidak taat berasal dari wajib pajak badan dan orang pribadi (OP) nonkaryawan.
Kondisi ini dijelaskan dalam data Laporan Kinerja Ditjen Pajak (DJP) pada 2017 dan 2018. Pada 2017, persentase tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan OP nonkaryawan hanya 62,96%. Pada 2018, presentase tingkat kepatuhan turun menjadi 59,89%.
Untuk tingkat kepatuhan pada 2019, sampai dengan Juli 2019, presentase tingkat kepatuhan pajak badan hanya 57,28% dan OP nonkaryawan 42,75%. Kesimpulan dari data-data tersebut adalah tingkat kepatuhan wajib pajak setiap tahunnya cenderung stagnan.
Stagnasi tingkat kepatuhan wajib pajak ini memicu rasa penasaran para paktisi maupun akademisi di bidang perpajakan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya intensitas penelitian ataupun seminar yang dilakukan berbagai kalangan sehingga alasan-alasan tersebut akhirnya ditemukan.
Salah satu alasan yang menarik adalah wajib pajak tidak merasakan manfaat dari pembayaran pajak. Pada dasarnya, manfaat pajak memang tidak dapat dirasakan secara langsung. Namun, masyarakat tetap saja mempertanyakan untuk apa saja pajak itu digunakan.
Pertanyaan ini adalah keniscayaan karena faktanya pembangunan di Indonesia tidak mengalami kemajuan signifikan. Maraknya korupsi di Indonesia semakin meyakinkan pandangan untuk tidak membayar pajak karena pajak dianggap sebagai ‘lahan basah yang tak akan pernah kering’.
Hypothecated Tax
SALAH satu solusi yang perlu untuk dipertimbangkan untuk situasi tersebut adalah penerapan hypothecated tax. Berdasarkan Cambridge Dictionary, hypothecated tax adalah suatu pajak yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu.
Jika biasanya seluruh pajak langsung dibayarkan ke negara dalam hal ini DJP, maka hypothecated tax berasal dari sejumlah persen pajak yang diserahkan kepada negara yang akan digunakan wajib pajak untuk suatu tujuan tertentu. Dalam praktiknya, hypothecated tax ini bersumber dari PPh.
Hypothecated tax telah diterapkan di berbagai negara. Spanyol memungkinkan wajib pajak mengalokasikan 0,7% dari PPh ke gereja katolik atau untuk organisasi amal. Di Jepang, wajib pajaknya dapat mengalokasikan sebagian PPh mereka ke pedesaan pilihan mereka (The Economist, 2015).
Adapun desain hypothecated tax yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah adalah pengalokasian beberapa persen dari PPh wajib pajak untuk keperluan pembangunan desa, nagari, atau nama lainnya seperti halnya di Jepang.
Hal ini sangat penting dengan mengingat pembangunan di Indonesia hari ini tidak merata. Dengan diterapkannya hypothecated tax ini, wajib pajak akan secara bersama-sama membangun tempat asal atau tempat kediamannya, sehingga terciptanya pemerataan pembangunan.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
semua orang diwajibkan dalam membayar pajak, semua orang didenda jika tidak bayar pajak, lantas kemana perginya pajak yang telah semua bayar? dan kapan semua orang bisa merasakan nya!!!!!!!
Dan salah satu alasan wajib pajak tidak mau membayar pajak atau lalai dalam membayar pajak adalah, krena kemanfaaatan dari pajak tersebut tidak dirasakan langsung.
jika memahami hypothecated lebih lanjut, masalah utama penerapannya adalah pengawasan karena adanya keterlibatan banyak instansi untuk mengumpulkan pajak dimaksud. hal ini berpotensi besar terjadinya pelanggaran hukum. namun kondisi tersebut sebenarnya dapat dihindari dengan meningkatkan sinergitas antarinstansi untuk saling mengawasi. solusi lainnya adalah menetapkan persentase hypothecated tax terhadap PPh dengan angka yang kecil dan dapat ditingkatkan secara berkala. makna yang harus dipahami dari gagasan hypothecated ini adalah pemerintah seharusnya menjawab segala bentuk keluhan wajib pajak yang tidak mau bayar pajak sepanjang sistem yang digagas sesuai dengan sistem pajak yang digunakan dan tentunya memiliki manfaat. #maribicara #untuksistempajakyanglebihbaik
kemudian dengan Hypothecarated Tax berbasis skala sektor prioritas pengalokasian pajak juga dapat mendorong masyarakat wajib pajak untuk patuh membayar pajak. karena sektor yg menjadi prioritas pengalokasian pajak diketahui oleh wajib pajak. sehingaa kemanfaatan dari keberadaan pajak dapat dirasakan. ketika sektor prioritas A telah terkumpul dan dilaksanakan pembangunan maka akan lanjut ke sektor prioritas selanjutnya. #MariBicara #HypothecatedTaxBerbasisSkalaSektorPrioritasPengalokasianPajak
Gagasan Hypothecated Tax bagus, namun alangkah lebih bagus lagi di iringin dengan dibentuknya skala sektor prioritas pengalokasian pajak. wajib pajak dapat membangung bersama sektor tsb dari pengalokasian pajak. misal sektor pembangunan akses jalan antar desa di daerah-daerah pulau terluar Indonesia menjadi prioritas pembangunan dari pengalokasian pajak, stelah terkumpul beralih ke sektor prioritas slnjutya. jika pengalokasian pajak berdasarkan pilihan wjb pajak akan tetap terjadi ketimpangan. karena masing-masing daerah memiliki jumlah penduduk yg wajib pajak yg berbeda.