LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Menegakkan Kedaulatan Pajak Digital

Redaksi DDTCNews | Senin, 12 Oktober 2020 | 14:20 WIB
Menegakkan Kedaulatan Pajak Digital

Indrajaya Burnama, Semarang, Jawa Tengah

PENERBITAN PMK No.48/PMK.03/2020 tentang Pengenaan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang notabene turunan UU No.2 Tahun 2020 menjadi sebuah kado perpajakan yang indah di perayaan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-75.

PMK itu menjadi tonggak penting penegakan kedaulatan pajak (sovereignity tax) atas mayoritas perusahaan digital dunia di Indonesia. Dengan PMK tersebut, Ditjen Pajak dapat menunjuk pemungut PPN PMSE yang selama ini belum melakukan kewajiban PPN meski bertransaksi di Indonesia.

Sampai saat ini, Ditjen Pajak telah melakukan tiga kali penunjukan Pemungut PPN PMSE terhadap dua puluh delapan perusahaan digital. Beberapa diantaranya adalah Amazon, Google, Netflix, Spotivy, Facebook, Tiktok, Skype, JD.ID, Shopee, dan Zoom (DJP, 2020).

Rentetan perusahaan digital luar dan dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE sepertinya terus bertambah lantaran meningkatnya aktivitas digital di tengah pandemi. Platform bisnis digital menjadi salah satu juara saat pandemi dan memiliki potensi pajak sangat tinggi.

Kajian Kementerian Keuangan menyatakan ada potensi PPN Rp10,4 triliun dari pengenaan pajak digital. Jika dipersempit lagi, ada potensi PPN Rp1,7 triliun diraup dari perusahaan digital yang menjadi pemungut PPN PMSE.

Dengan catatan, jumlah potensi tersebut masih terbatas menggambarkan potensi PPN dari beberapa perusahaan digital, belum termasuk pajak penghasilan (PPh). Padahal, sebenarnya potensi PPh jauh lebih besar dari pada PPN.

Belajar dari negara lain yang menggunakan digital sevice tax, ada potensi pajak digital di Perancis £360 juta atau Rp60 triliun pada 2019 dari 30 perusahaan digital (BBC, 2019). Di Inggris, menurut riset National Union of Journalists ada potensi pajak digital di Inggris £280 juta pada 2020.

Lalu bagaimana PPh perusahaan digital di Indonesia? Menurut Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv, Google memiliki utang Rp5 triliun, terdiri atas pokok Rp1 triliun dan denda Rp4 triliun sejak 2011-2014. (Kompas, 2016). Google menyelesaikan kewajibannya saat amnesti pajak.

Dari contoh di atas dapat disimpulkan secara kasar potensi PPh perusahaan digital nasional. Satu perusahaan digital saja memiliki kewajiban PPh triliunan. Lantas bagaimana dengan 6, 16, 28, atau mungkin ratusan perusahaan digital?

Apalagi jika dihitung sejak 2015 sampai sekarang. Pajak digital ibarat oase di tengah padang Covid-19 yang sangat dibutuhkan pemerintah saat kehausan karena lesunya kegiatan perekonomian dan bayang-bayang resesi.

Namun, penegakan kedaulatan pajak digital tidak semudah membalik telapak tangan. Prancis telah merasakan rumitnya pengenaan pajak ini. Mereka menerima ancaman dari Amerika Serikat (AS) yang menjadi domisili mayoritas perusahaan digital. Prancis akhirnya menunda Gafa Tax sampai 2021.

Indonesia termasuk 10 negara yang diinvestigasi AS karena menerapkan pajak digital. Pemerintah merespons dan menyatakan mempertimbangkan konsensus global sebagai perwujudan doktrin pertahanan Indonesia yang cinta damai dengan komitmen hidup berdampingan bersama negara lain.

Akan tetapi, kita memiliki hak memajaki tanpa tekanan sesuai dengan prinsip pajak internasional. PMK 48/2020 menjadi bukti penegakan setengah kedaulatan pajak digital di Indonesia karena telah sesuai dengan prinsip netralitas dan pajak internasional (Darussalam, 2020).

PPh atau PTE
MELIHAT kondisi terkini, usaha OECD dan AS membuat kesepakatan global tentang PPh perusahaan digital sepertinya tidak akan tercapai pada akhir 2020 seperti target yang ditentukan sebelumnya. Minimal ada 3 alasan kuat yang mendasari tanda-tanda kegagalan tersebut.

Pertama, batalnya pertemuan Inclusive Framework OECD sebagai salah satu kunci pematangan konsensus pajak digital di awal Juli lalu lantaran pandemi yang merebak di Eropa (Pascal, 2020). Kedua, Amerika menarik diri dari pembicaraan kesepakatan global (Kompas, 2020).

Ketiga, bertambahnya negara besar yang melibatkan diri dalam proses konsensus seperti Rusia dan Tiongkok yang memiliki agenda sendiri-sendiri. Akibatnya diperkirakan tiap negara akan menerapkan aturan pajak digital yang beragam tetapi dengan fitur yang cenderung mirip (IMF, 2019).

Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemerintah sebenarnya sudah berusaha menarik pajak perusahaan raksasa digital dunia melalui PMK No.35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) per 1 April 2019.

Namun, redefinisi itu belum signikan karena aturan BUT internasional masih berlandaskan pada physical presence, bukan economic presence. Karena itu, upaya pemerintah mempersiapkan PPh digital dilapisi pajak transaksi elektronik (PTE) pada Pasal 6 ayat (1) UU No.2/2020 sangat tepat.

Hanya, daftar panjang sengketa pajak internasional karena pengenaan pajak digital sudah menunggu di hadapan kita (Kristiaji, 2019). Belum lagi dengan adanya potensi ancaman perang dagang seperti yang dialami Prancis.

Menurut Kimberly Clausing (2020), isu pengenaan pajak digital menyebabkan naiknya ketegangan politik dan ekonomi negara-negara maju yang bisa merembet ke dunia internasional. Akan tetapi itu adalah konsekuensi logis dari sebuah pilihan di antara dua pilihan sulit yang harus diambil saat ini.

Dengan kata lain, kita dapat menjadikan investigasi pajak digital oleh United States Trade Representative sebagai momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk merapatkan barisan dan bersiap dengan segala kemungkinan jika PPh atau PTE diberlakukan tahun depan.

Penegakan kedaulatan pajak digital dengan semangat bela negara mutlak dilakukan di tengah ketidakpastian ekonomi demi kepentingan bangsa. Pemungutan PPN digital sudah berjalan. Kini saatnya mengenakan PPh atau PTE untuk menyempurnakan penegakan kedaulatan pajak.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

15 Oktober 2020 | 07:53 WIB

mantull

14 Oktober 2020 | 09:29 WIB

Mencerahkan

14 Oktober 2020 | 08:58 WIB

Sangat inspiratif dan menambah wawasan.. semoga Indonesia mampu menegakan kedaulatan pajak digital

14 Oktober 2020 | 08:54 WIB

jangan kau kejar hebat, lalu melupakan berdaulat ... (Cak Nun : 2017) mantap kang Indra

14 Oktober 2020 | 08:43 WIB

Saya sependapat pak Indrajaya. Indonesia adalah pasar yang begitu menguntungkan dari berbagai perusahaan digital asing, maka sudah selayaknya kita tegakkan kedaulatan Indonesia di ranah digital, salah satunya melalui pajak digital.

14 Oktober 2020 | 08:41 WIB

Artikel yang sangat bagus, semoga bisa menjadi masukan yang bagus buat Institusi DJP

14 Oktober 2020 | 08:40 WIB

mantap... tulisannya tentang isu - isu pajak termutakhir

14 Oktober 2020 | 07:30 WIB

Sangat inspiratif dan solutif. Semoga bisa terealisasi dengan baik

14 Oktober 2020 | 05:56 WIB

Luar biasa, tulisan yang mencerahkan, semoga bs menjadi pendorong, sbgmn yg disampaikan Penulis, ke arah upaya penyempurnaan kedaulatan pajak, yg dilandasi semangat bela negara, sbg salahsatu langkah solutif, ditengah ketidakpastian ekonomi, demi kepentingan bangsa, Sukses Pak Indra.

13 Oktober 2020 | 20:11 WIB

👍 ulasan yang sangat menarik

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Selasa, 19 November 2024 | 18:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Sudah Kumpulkan Pajak Sektor Digital Hingga Rp29,97 Triliun

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Senin, 07 Oktober 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Hingga September, Setoran Pajak Sektor Digital Tembus Rp28,91 Triliun

BERITA PILIHAN